Nura
Tangan kekar itu memutar saluran radio di dalam mobil, tak ada saluran yang kami minati. Semuanya mendendangkan musik, putar kanan putar kiri semuanya musik. Hanya membuat sakit kepala saja. Akhirnya, Mas Hasbi menyalakan murotal. Itu lebih baik daripada harus mendengarkan musik.
Bukan tanpa sebab kami tidak ingin mendengarkan musik, sudah jelas bahwa musik dan nyanyian itu haram hukumnya.
Bahwa Allah tidak pernah mengajarkan syair atau nyanyian kepada Nabi Muhammad ataupun kepada manusia yang lain. Dan Al Quran menjadi Kitab yang jelas mengajarkan kepada manusia seluruh alam mengenai perkara yang halal dan yang haram, baik dan buruk.
Sudah jelas bahwa musik itu haram seperti halnya zina, sutera bagi laki-laki dan minuman keras. Bahkan dikatakan oleh Imam As Syafi'i:
"Nyanyian adalah kesia-siaan yang dibenci, bahkan menyerupai perkara batil. Barang siapa memperbanyak nyanyian maka dia adalah orang dungu, syahadat (kesaksiannya) tidak dapat di terima."
Namun, melihat kenyataan di hari ini sungguh miris. Nyanyian bagaikan napas, yang terlantunkan setiap tarikan dan embusan dari padanya. Bahkan, nama Islam menjadi tedeng aling-aling dijualnya musik di pasaran. Lagu-lagu bertemakan Islam semakin menjerat pendengarnya dan menyugesti mereka bahwa musik halal dan diperbolehkan selama bernapaskan islami. Masjid-masjid tak ubahnya seperti gereja yang saling sahut menyahut dengan nyanyian kerasnya. Ironis.
Kemudian dampak buruk dari mendengarkan dan bernyanyi adalah, akan melalaikan diri, menghalangi hati untuk memahami Al Quran dan mengamalkannya. Al Quran dan nyanyian itu tidak akan bertemu secara bersamaan dalam hati, akan dominan salah satunya. Tergantung diri kita ingin condong kepada Al Quran atau nyanyian. Nyanyian dan minuman keras itu seperti saudara kembar, saling mendukung dan menopang. Coba lihat diskotek, meminum minuman keras pasti ditemani nyanyian.
Aku geleng-geleng kepala merasa ngeri membayangkannya. Lebih baik mengalihkan pikiran ke pemandangan jalanan.
"Kenapa, sih?" tanya Mas Hasbi. Pasti dia melihaku yang geleng-geleng kepala.
"Enggak apa-apa," kataku. "Berapa lama lagi kita sampek?" tanyaku.
"Sebentar lagi," singkatnya.
Aku tersenyum semringah. Mas Hasbi setuju dengan dua destinasi wisata yang kuminta. Pertama, aku ingin naik bianglala. Kedua, karena dia waktu itu batal mengajakku menonton teater di Taman Ismail Marzuki. Jadi, sekarang aku menagihnya dengan menonton teater di Candi Prambanan. Yakin, deh, ini akan lebih menakjubkan.
Setelah menempuh perjalanan kurang dari setengah jam, kini kami sudah sampai di Sindu Kusuma Edupark.
Aku melongo melihat bianglala itu berputar pelan. Kapsul berputar itu dinamakan Cakra Manggilingan, entah apa artinya. Mas Hasbi setengah berlari menghampiriku, ia membawa dua tiket. Aku menyambutnya dengan cengiran.
"Enggak takut, kan?"
Itu bukan pertanyaan. Aku yakin dia mengejekku, terlihat dari seringaiannya.
"Enggak." Aku masih memasang cengiran di bibir. Untuk menutupi kengerian melihat tingginya bianglala.
Dia menarik tanganku untuk menaiki kapsul berputar itu. Kakiku sudah gemetar sejak menatap bianglala setinggi 48 meter dan kini getaran kakiku semakin menjadi. Aku menyesal sudah sombong berkata bahwa tidak takut. Pada kenyataannya aku sangat-sangat takut. Ibu! Sekarang jantungku yang bergetar ketakutan.
Aku menunduk berdoa saat bianglala mulai bergerak, tidak berani melihat ke sekeliling. Aku membayangkan jika kapsul ini terlepas dan jatuh, aku akan jatuh ke kolam tepat di bawah Cakra Manggilingan.
"Katanya enggak takut," cibir Mas Hasbi.
"Kalau lihat pemandangan itu dari kaca samping bukan dari bawah, enggak bakal keliatan," imbuhnya.
Dia kini sedang tertawa. "Tuh lihat." Dia menarik daguku agar kepalaku terangkat. Aku semakin mengeratkan kelopak mataku. Apa pun pemandangannya, aku tak berani melihat.
"Buka matanya, Ra." Ia mencolek-colek hidungku.
Tidak mempan.
"Sunset, Ra," ujarnya di samping telingaku.
Aku sedikit membuka mata. Masya Allah, indah banget.
Tepat di atas ketinggian 48 meter dari tanah Jogja aku bisa menikmati matahari terbenam yang menawan. Mataku terbuka selebar-lebarnya. Tidak salah Mas Hasbi mengajakku ke taman rekreasi ini sore-sore, padahal aku dari pagi sudah ngedumel karena Mas Hasbi mengajak jalan sore hari karena menurutku akan sedikit waktu yang kami nikmati. Namun, ternyata, sedikit waktu untuk menikmati sunset saja sudah luar biasa.
Cup.
"Makasih udah ngajak Nura ke sini." Hanya kecupan di pipinya. Aku mengalihkan wajah ke pemandangan sekitar. Rasa takutku hilang, tapi grogiku muncul.
Tiba-tiba ia menarik daguku tepat di depan wajahnya. Apa yang akan dia lakukan? Jarak wajah kami begitu dekat sampai deru napasnya terasa di kulit wajah. Aku menelan saliva dan menutup mata.
"Ekhem."
Kami berdua menoleh. Kapsul sudah berhenti dan petugas sudah bersiap membuka pintu kapsul. Aku dan Mas Hasbi salah tingkah.
"Sudah habis waktunya, Mas, Mbak. Silakan bisa dilanjutkan di tempat lain," kata Mas petugas. "Naik wahananya," imbuhnya penuh penekanan.
Ingin rasanya aku menjatuhkan diri ke laut, masuk ke palung terdalam di samudra Pasifik. Bersembunyi di balik karang purba sampai ikan Pseudoliparis swirei sebagai hewan penunggu palung tak bisa melihatku. Ini sungguh memalukan.
Aku memutuskan keluar terlebih dahulu. Bahkan, berjalan meninggalkan suami cabulku itu.
"Hei ... tungguin!" serunya.
Tidak peduli. "Aku peluk dari belakang nih."
Aku menghentikan langkah dan menoleh. "Malu tau." Aku mengerucutkan bibir.
Dia malah cengengesan. "Ayo kita naik wahana lain sesuai saran petugas tadi." Dia mendekap bahuku dari samping.
~~~•~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Mencintaimu ✓
SpiritualHanya dengan mencintai Tuhanku. Aku ikhlas menerimamu, ikhlas mencintaimu, dan ikhlas kehilanganmu. Namun bukankah ikhlas itu amatlah sulit untuk diraih? Sesulit menangkap buih di dalam lautan. Begitupun dengan keikhlasan cinta. Karena satu-satunya...