31. Belenggu Pilihan ✓

68 8 0
                                    

"Kesabaran itu ada dua macam: sabar atas sesuatu yang tidak kau ingin dan sabar menahan diri dari sesuatu yang kau ingini."

(Ali bin Abi Tholib)

~~~•~~~

Di belahan bumi yang lain.

Mata sayu itu masih termenung. Netra indahnya masih memandang jalanan dengan tatapan kosong dari bangku yang ia duduki. Langit seakan tahu ungkapan isi hatinya dengan menampakkan guratan mendung. Lalu lalang kendaraan ataupun bis yang berhenti semuanya tidak menarik perhatiannya. Dina terus larut dalam lamunan panjang.

Dia tidak bisa melupakan apa yang didapati setengah jam yang lalu. Lembar penagihan biaya kuliah, harus membayar. Jika tidak segera dibayar, risikonya Dina tidak bisa mengikuti Ujian Akhir Semester. Kemungkinan terburuknya adalah dia akan dikeluarkan dari kampus. Sedangkan, mengingat kondisi keluarganya saat ini, sangatlah tidak memungkinkan untuk membayar uang kuliah. Yang biasanya uang kuliah mudah ia bayar, kini hampir membuatnya tak bisa bernapas lega. Sesak.

Perusahaan bapaknya bangkrut karena kena tipu rekan kerjanya sendiri. Ibunya sudah meninggal dua tahun lalu akibat penyakit diabetes yang diderita. Dia masih memiliki dua adik laki-laki yang masih SMA dan SD. Ini adalah pilihan yang begitu sulit untuknya. Dia ingin menjadi seorang perawat, dan sebenarnya untuk kuliah tinggal beberapa semester lagi. Namun, di sisi lain, kedua adiknya jauh lebih membutuhkan pendidikan, setidaknya hingga lulus sekolah.

Menjadi perempuan satu-satunya di rumah membuatnya harus mengurusi banyak hal. Dirinya sendiri, kuliah, tiga laki-laki berbeda usia, dan urusan rumah. Benar-benar perempuan mandiri.

Dina menghela napas panjang, rumahnya kini disita Bank. Mereka sekeluarga mau tidak mau harus pindah. Rumah yang sekarang mereka tempati jauh lebih sederhana dibandingkan dahulu. Yang biasa hidup berkecukupan sekarang ambruk bagai puing-puing bangunan.

Hal yang lebih mengagetkan baginya adalah kedatangan ibu Panji ke rumahnya. Bapaknya ternyata bersahabat dengan bapaknya Panji. Ia takut ibu Panji menceritakan keadaan keluarganya kepada pria penerima suratnya itu. Jujur, baginya itu sangat memalukan. Apalagi keluarganya harus meminjam uang kepada keluarga Panji.

"Kalaupun kondisiku sampai ke telinga Panji apa urusannya untuk dia. Aku bukan siapa-siapa bukan? Apa aku mengharapkan dia iba dengan kemalanganku? Bukannya selalu ada kebetulan yang Allah kehendaki?" batin Dina. Dia tersenyum miris.

"Assalamualaikum, Kak Dina. Ke tempat latihan panah, yuk," kata seorang perempuan sebayanya.

Dina bergeming.

Merasa tidak didengar, perempuan itu menepuk bahu Dina. Gadis pelamun itu terlonjak kaget.

"Hah?" Kesadarannya belum sepenuhnya pulih.

"Kok ngalamun, sih, Kak. Ke tempat panahan yuk," ulangnya.

"Du–duluan aja," kata Dina sambil senyum kikuk.

"Oh, ya udah duluan, ya, Kak. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," gumamnya.

Dina menghela napas panjang lagi dan lagi untuk memasukkan pasokan udara ke otak agar lamunannya enyah. Dia bertekad untuk menanggalkan semua keinginannya. Cita-cita utama bukan hanya harapan yang harus terwujud, tapi keberanian tekad saat harapan itu tak mampu diwujudkan.

Tekadnya kali ini adalah bekerja. Apa pun pekerjaan yang diperolehnya akan ia jalani. Tiga laki-lakinya jauh lebih penting ketimbang mimpi semunya. Ia yakin, Allah memberikan ujian beserta solusinya. Banyak solusi yang Allah ajukan, tinggal manusianya sendiri yang memilih manakah yang akan diambilnya. Yang biasa saja, yang lebih baik atau yang paling baik.

Laptop pink ia keluarkan dari tas, lalu membuka situs lowongan pekerjaan. Meneliti lowongan-lowongan yang tersedia yang sekiranya sesuai dengannya dan pendidikannya. Untuk sekarang status pendidikannya hanya SMA, karena kuliahnya belum selesai. Dia memilih beberapa rekomendasi pekerjaan.

Dina mengucapkan basmalah. Instansi pilihannya akan dia datangi besok.

~~~•~~~

 
Dikit emen, sih, Sar.

Emang. Tenang, lanjutannya masih banyak. 😉
 

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang