Nura
Seminggu sudah ia meninggalkanku. Seseorang yang menjadi penjagaku setelah Ayah tiada, sekarang sudah tak di sampingku lagi. Kini aku tidak memiliki penjaga lagi selain Robb-ku.
"Ngelamun lagi, Ra?"
Sofa yang kududuki bergoyang. Ibu mengambil duduk di sampingku, wajahnya masih terlihat basah karena air wudu, dia baru saja selesai salat Ashar, sedangkan aku sudah salat duluan.
"Enggak, Bu," tampikku.
Tahlilan sudah selesai. Rumah sudah ditata seperti sedia kala, seakan rumah ini tak pernah terpasang bendera kuning. Aktivitas pun kembali seperti biasa, seakan tak berkurang seorang anggota keluarga. Aku harus belajar dari mereka bahwa keikhlasan atas sebuah kematian akan menjadi terangnya cahaya baginya di surga. Senyum keikhlasan akan menjadi senyumnya. Lantas sebaliknya, kesedihan akan menjadi kesedihannya pula di alam sana.
"Ibu, sebelum kita ke Jakarta, Nura mau ke makam Mas Hasbi dulu, ya," pintaku.
Besok pagi aku dan Ibu akan kembali ke Jakarta. Sebenarnya Eyang dan Bude Endah menahanku, mereka ingin agar aku sedikit lebih lama di sini. Namun, rasanya ingin pulang, aku kepikiran dengan bunga matahariku. Sepertinya bunga matahari Ayah sudah layu dan bijinya harus ditanam ulang. Eyang sendiri akan tinggal di sini beberapa waktu. Alasanku untuk pulang memang terdengar konyol, tapi bagiku bunga itu berharga.
"Ibu temenin, ya," tawarnya.
"Enggak usah, Nura sendiri aja. Nura hafal jalannya, kok," tolakku.
"Beneran?" Gurat khawatir tampak jelas di wajahnya. Aku pun mengangguk dan menyunggingkan senyum termanis untuk meyakinkannya.
“Ya udah, hati-hati, ya. Pulangnya jangan kesorean," titahnya. Ia membelai kepalaku. Aku masuk ke kamar dan mengambil tas selempang dan kembali lagi ke ruang tamu untuk pamit kepada Ibu.
"Nura mau ke mana?" tanya Bude Endah. Dia baru saja dari ruang yang difungsikan sebagai musala.
"Mau ke makam, Bude," jawabku.
"Sendiri?" tanyanya lagi. Ia menautkan alisnya.
Aku mengangguk sambil menyunggingkan senyum.
"Bawa payung, ya. Di luar mendung, kayanya mau hujan." Bude Endah dengan cekatan mengambil payung yang menggantung di tembok.
~~~•~~~
Angin sore bertiup kencang. Langit berwajah mendung dan tampaknya hujan akan turun. Pohon kemboja menari-nari tertiup angin, daun keringnya berguguran, bahkan bunga segarnya pun ikut menjatuhkan diri. Satu bunga kemboja menjatuhi gundukan tanah yang masih basah dan penuh dengan bunga tepat di depanku. Seakan bunga itu ingin ikut menemani sang ahli kubur.
Aku memandang nanar tiga makam di depanku itu. Satu keluarga yang sudah berkumpul di surga. Kuhirup napas sedalam-dalamnya.
"Assalamualaikum, Mas Hasbi, Abi, Umi," sapaku lirih.
Kupaksakan senyum ini mengembang walau bibir ini mulai gemetar. "Gimana kabar kalian?" Aku mendekat dan berjongkok dekat pusara Mas Hasbi. Hingga kini, aku seakan belum percaya bahwa dia sudah menempati tanah yang beberapa minggu lalu masih datar saat kami datangi. Dia terlalu cepat menepati ucapannya.
"Pasti kalian udah bahagia bisa kumpul lagi, ya? Sekarang kalian udah bersama di surga," lanjutku.
"Mas." Aku menatap pusaranya. "Mas Hasbi lupa, ya ... hari ini Nura udah bertambah umur, loh. Bukan, bukan, Nura semakin berkurang umurnya. Semakin sebentar juga waktu Nura di dunia." Aku menyeka setetes air mata yang berani-beraninya mengotori pipi. "Nura enggak minta kado atau kejutan, kok, dari Mas Hasbi. Nura cuma minta doanya biar Nura bisa jaga dan rawat calon anak kita." Aku tidak bisa menahan isak tangis. "Sendiri," imbuhku dengan susah payah mengucapkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Mencintaimu ✓
SpiritualHanya dengan mencintai Tuhanku. Aku ikhlas menerimamu, ikhlas mencintaimu, dan ikhlas kehilanganmu. Namun bukankah ikhlas itu amatlah sulit untuk diraih? Sesulit menangkap buih di dalam lautan. Begitupun dengan keikhlasan cinta. Karena satu-satunya...