Nura
Terdengar desahan keras dari perempuan di sampingku. "Gue mau ke kamar dulu, mau wudu. Biar pikiran adem." Ratih bangkit dari sofa dengan meninggalkan tasnya. Sedangkan aku ... masih bergelut dengan pikiran sendiri. Setiap pergantian tahun baik Hijriyah maupun Masehi, selalu kupanjatkan doa untuk sebuah perubahan yang lebih baik. Permohonan lainnya adalah melupakan semua hal buruk yang terjadi di tahun sebelumnya, begitu pun yang kupanjatkan di pergantian tahun Masehi beberapa hari lalu. Kebaikan selalu kuharapkan menyertai hidupku. Ah, sudah hampir Magrib, lebih baik aku juga mengambil wudu dan bersiap untuk salat.
Saat masuk kamar, Ratih sudah memakai mukena dan menggelar dua sajadah. Setiap kali melihat kamar ini, bayangan Ayahlah yang selalu kuingat. Salat berjamaah berdua dengannya, ngobrol berdua, dan mengingat tidur nyenyaknya. Sudah tiga hari aku dan Ratih menempati kamar tamu supaya aku tidak lelah naik turun tangga selama hamil, sekaligus agar tidak terus mengingat Mas Hasbi. Mungkin bayangan Mas Hasbi sedikit memudar dari pikiran, tetapi kini kenangan tentang Ayah yang mencuat dari otak. Aku harus segera wudu untuk membersihkan hati melalui muka, perilaku dengan membasuh tangan, pikiran kotor menggunakan sapuan tangan ke kepala, serta langkah buruk yaitu kaki, setelah itu salat dengan khusyuk.
"Masih kesel?" tanya Ratih sambil menjabat tanganku, aku tidak menanggapinya dan lebih memilih kembali membalikkan badan lalu memegang tasbih. Kami baru saja selesai salat berjamaah dengan aku sebagai imamnya. Alasan posisiku sebagai pemimpin salat bukan karena aku merupakan tuan rumah sehingga harus menjadi imam, tetapi karena aku sudah pernah menikah jadi kata Ratih ... agamaku sudah sempurna. Separuh agama diperoleh dari menikah, separuhnya lagi dari habluminallah dan habluminannas. Jadi, lebih pantas menjadi imam salat, katanya.
"Padahal hari ini gue lagi bahagia, loh. Gue juga mau nunjukin sesuatu mumpung lagi enggak ujan," ujarnya. "Gue minta maaf, Ra. Gue yakin kalo cuma diem doang masalah ini enggak akan kelar. Masalah ini butuh solusi, bukan sekedar maaf memaafkan."
Aku membalikkan badan. "Nura enggak marah, kok. Kan semuanya udah skenario Allah." Aku hanya sedikit meratapi skenario Allah yang berjalan lancar hari ini.
Wajah tenangnya muncul kembali. Sepertinya harus kuhilangkan ketidaktentraman hati dengan sifat tenangnya. Akhirnya, aku menceritakan semua yang terjadi hari ini. Kali ini ungkapan dan pengaduanku tanpa diiringi air mata, sudah bosan menangis terus.
"Berarti tadi gue dateng pas lagi momen seru-serunya, ya," kata Ratih.
"Menurut Ratih, apa alasan Mbak Dina ngelakuin itu?" tanyaku. Posisi duduk kami saling berhadapan dengan menyilangkan kaki, membuatku leluasa melihat mata sayu dan wajah tenangnya.
Dia terlihat berpikir. "Enggak tau. Makan, yuk. Gue laper."
Bukan itu jawaban yang ingin kudengar.
~~~•~~~
"Apa itu, Tih. Teleskop?" tanyaku sembari menghampiri Ratih di ujung balkon. Dia baru saja selesai memasang teleskop ke penyangga sambil mengatur arah tangkapnya.
Ratih mengarahkan teleskop lurus ke arah selatan, dia pun merundukkan badan dan memicingkan mata untuk mengamati objek. "Liat deh, Ra," katanya.
Aku mengikuti apa yang diarahkan Ratih. "Bagus banget, Tih,"
"Bintang yang warnanya putih kebiruan namanya rigel. Terus yang warna putih terang itu namanya bintang sirius, Ra. Nah, bulan Januari itu jadi waktu terbaik buat liat bintang sirius itu ... keliatan terang banget. Geser sedikit ke kiri di situ ada bintang yang warnanya oranye kemerahan namanya aldebaran, letaknya pas di kepala banteng rasi bintang taurus. Aldebaran itu berasal dari bahasa Arab yang artinya pengikut. Soalnya dia terbit setelah bintang pleiades." Ratih berhenti berbicara kemudian menarik napas. Fenomena langka yang jarang terjadi, dia berbicara panjang lebar tanpa terpotong-potong oleh helaan napas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Mencintaimu ✓
SpirituellesHanya dengan mencintai Tuhanku. Aku ikhlas menerimamu, ikhlas mencintaimu, dan ikhlas kehilanganmu. Namun bukankah ikhlas itu amatlah sulit untuk diraih? Sesulit menangkap buih di dalam lautan. Begitupun dengan keikhlasan cinta. Karena satu-satunya...