52. Logika Cermin ✓

34 6 0
                                    


Panji

Aku berdiri termenung di balkon kamarku. Ah, sudah bukan hanya menjadi kamarku, sekarang ruangan ini harus terbagi dengan orang lain. Aku menghela napas panjang. Semilir angin sedikit menambah pasokan oksigen dalam paru, meski harus berebut dengan pepohonan yang juga menyerap oksigen di malam hari. Jangan coba-coba berdiam diri di bawah pohon terlalu lama saat malam, dipastikan pasokan oksigen di sekitaran akan minim karena sudah dihisap pohon. Malah yang ada pernapasan akan terganggu disebabkan karbon dioksida yang melimpah—hasil pembuangan dari stomata pada daun.

Udara malah sekaligus menghilangkan rasa lemas pada tubuh. Penat rasanya seharian harus mengukir senyum dan berdiri menyambut tamu. Pernikahan ini jauh dari ekspetasiku yang menginginkan pernikahan hikmat, hanya dengan ijab kabul dan dihadiri kerabat terdekat saja. Tanpa resepsi dan tanpa adanya pesta-pestaan. Bundaku terlalu bawel kalau keinginan itu aku utarakan. Belum apa-apa saja dia sudah menyewa WO, yang tak lain suami Nura yang menjadi ownernya. Ngomong-ngomong, Nura tadi menghadiri pernikahanku tanpa ditemani suaminya. Sedang apa aku ini, kutepis pikiranku yang mulai melayang kepadanya.

"K–kak Panji. A–aku udah selesai pake kamar mandinya."

Aku menoleh.

Kenapa aku sekaget ini. Tentu, pemandangan pas di depan muka membuatku sulit untuk berpikir jernih. "I–iya." Aku merutuki kekonyolanku yang lebih gugup dibanding dia.

Bagaimana tidak terkejut. Wanita yang beberapa jam lalu aku persunting muncul di depanku tanpa menggunakan penutup kepala yang kalau dia sedang gugup akan memilin ujung jilbabnya. Sekarang dia bingung akan melampiaskan kegugupannya. Akhirnya, ia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.

Mataku masih terpaku.

"Kenapa ngliatin aku kaya gitu, Kak? Keliatan aneh, ya?" ujarnya ragu.

"Ehm ... enggak, enggak, kok." Aku yang malah jadi salah tingkah sendiri sekarang.

Apa yang lo lakuin Panji!

"K–kak Panji mau mandi atau ...."

"Mandi," selorohku. Aku juga ingin mengalihkan kegugupan dan mandi dengan air hangat sepertinya akan merelakskan tubuh dari ketegangan dan kecanggungan.

Beberapa menit mengguyur tubuh dengan air hangat membuat sedikit tenang. Jujur, aku jarang bersinggungan apalagi dekat dengan perempuan. Sialnya lagi-lagi harus kuakui, aku hanya pernah dekat dengan Nura saja seumur hidup. Untuk saat ini hanya bersinggungan dengan Jessica, itu saja sekadarnya saat di tempat kerja.

Seperti ada secercah sinar. Ya benar, aku bisa berkonsultasi dengan Jessica bagaimana cara menjalin komunikasi dengan perempuan. Bukankah dia seorang psikolog? Pasti dia bisa membantu.

Saat aku keluar dari kamar mandi, Dina sedang mengeluarkan buku-bukunya dari kardus. Sore tadi memang kami sengaja ke rumahnya sebentar untuk mengambil pakaian dan segala keperluan kuliahnya. Untuk sementara waktu kami akan tinggal di rumah orang tuaku, sebelum tinggal sendiri.

Bunda menangis saat aku memiliki niat untuk tinggal sendiri. Aku dibilang jahat, tega, tidak kasihan, tidak sayang sama orang tua, dan hanya kubalas bahwa aku sudah bosan tinggal dengannya. Bunda langsung memukuliku. Aku dibilang anak tak tahu diri, padahal sebenarnya aku hanya menjailinya, iseng saja ingin melihat reaksinya.

"Kamu ngambil libur kuliah berapa hari, Din?" tanyaku sambil mengeringkan rambut dengan handuk.

Buku di tangannya jatuh. "Astagfirullah hal'azim, kaget."

Dia mengambil kembali buku yang terjatuh. Untung buku itu tidak menjatuhi kakinya. Kalau sampai itu terjadi, bisa bengkak kaki putihnya. Buku yang jatuh itu semacam ensiklopedia yang tebalnya mungkin sekitar dua puluh senti.

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang