NuraJarum jam sepertinya lama sekali berputar. Kenapa azan Isya lama sekali. Sekarang jadi bingung mau melakukan apa. Tadi setelah masuk kamar, aku hanya duduk di meja rias. Sepertinya aku salah tingkah ada lelaki di kamarku. Ah, tanganku sampai berkeringat.
Mas Hasbi sedang memainkan handphone-nya sambil menyandarkan punggung ke kepala ranjang. Atau tepatnya hanya scrole layar saja. Karena dia terlihat tidak fokus ke layar pipih itu. Daripada bingung, lebih baik membaca novel buatan Ratih. Membacanya untuk mengusir rasa aneh ini, tapi malah tidak bisa konsentrasi membaca. Selembar saja tidak selesai-selesai. Terlihat pantulan wajahku yang masih berkerudung. Aku masih malu membuka jilbab. Masa tiba-tiba buka jilbab di depan pria. Risi.
"Ehm ... Nura jarang ngobrol sama laki-laki," ucapku. Jujur aku canggung. Lebih baik diungkapkan daripada gelisah dan tersiksa dengan suasana penuh kecanggungan.
Mas Hasbi menghentikan kegiatannya dari layar ponsel. "Jadi, ceritanya sekarang kamu lagi canggung?" tanyanya.
Aku mengangguk. Sebenarnya malu mengungkapkan itu, tapi setidaknya lega sudah mengatakannya. Dia meletakkan handphone-nya sembarang lalu duduk di pinggir ranjang. Sekarang posisinya lebih dekat denganku. Tiba-tiba dia mengulurkan tangan.
Aku mengerutkan kening.
"Ayo kita perkenalan dulu. Kita, kan, belum PDKT sebelum nikah. Jadi, sekarang aja," ujar Mas Hasbi.
Dengan ragu aku menerima uluran tangannya. Kami saling berjabatan. Ya Allah, groginya semakin sekarang.
"Nama aku Hasbi Ainul Yaqin. Laki-laki, dan sudah punya istri namanya Nuril Anwar Mardiyah," katanya. Dia tersenyum. Ternyata senyumnya manis sekali.
Aku tersenyum.
Giliran aku memperkenalkan diri. "Nama aku Nuril Anwar Mardiyah. Perempuan, dan punya suami namanya Hasbi Ainul Yaqin." Kami berdua tertawa.
"Nama kamu, kok, kedengeran kaya nama cowok, ya," ungkapnya.
Mas Hasbi menjadi orang ke sekian juta yang heran dengan namaku. Aku mendengkus. "Nama itu Ayah yang kasih. Ayah kreatif, kan? Saking kreatifnya, Nura sering dikira cowok sama orang-orang." Aku tertawa jengah. Dia malah tertawa geli.
Aku sudah tidak heran mengenai namaku yang kesannya seperti nama laki-laki. Dari jaman sekolah, ketika diabsen, aku selalu disangka laki-laki karena nama itu. Hingga pernah suatu waktu, saat aku belum lama duduk di bangku SMA, namaku masuk daftar piket pengambil alat olahraga, padahal piket itu hanya ditujukan untuk murid laki-laki. Penyebabnya, ya, karena nama ajaib itu. Untungnya ada Ratih yang langsung protes ke guru dan mengatakan murid atas nama Nuril Anwar Mardiyah adalah seorang perempuan. Ayahku terlalu kreatif memberikanku nama.
"Lanjut, hobi aku makan-makanan khas Indonesia. Hobi kamu apa?"
Aku berpikir sejenak, "Hobi Nura ... hobi Nura apa, ya? Ngobrol sama bunga matahari setiap pagi."
Dia tertawa. Pasti dia melihat wajah bingungku. Ya, bagaimana lagi, aku bingung kalau ditanyai soal hobi. "Kok ketawa, sih," heranku.
"Itu hobi kamu?" tanyanya. Jelaslah dia tidak akan percaya dengan hobiku. Panji saja bilang kalau aku ini aneh. Sukanya berbincang dengan bunga matahari daripada sama orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Mencintaimu ✓
SpiritualHanya dengan mencintai Tuhanku. Aku ikhlas menerimamu, ikhlas mencintaimu, dan ikhlas kehilanganmu. Namun bukankah ikhlas itu amatlah sulit untuk diraih? Sesulit menangkap buih di dalam lautan. Begitupun dengan keikhlasan cinta. Karena satu-satunya...