Aku sudah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia
(Ali Bin Abi Tholib)
~~~•~~~
Panji
Bola basket di tanganku berhasil dirampas. Dipantulkan lalu dengan gaya akrobatik dimasukkannya ke dalam ring. Dia bersorak angkuh. Menyebalkan sekali, dia selalu memamerkan kemampuannya di hadapanku. Hanya di hadapanku, camkan itu, di depan orang dia tidak akan berani.
"Payah lo, Nji," umpat Aji.
Tak berhenti sampai di situ, dia melemparkan bola basket itu ke arahku. Untung tertangkap. Jika telat sedetik saja, bisa-bisa dadaku bonyok dan berujung menjadi pasien UGD.
"Itu tandanya emang lo enggak berjodoh sama dia," kata pria yang biasa berkacamata itu.
Dari posisi yang jauh, aku melemparkan bola ke dalam ring dan masuk. Aji memungut bolanya. Aku tidak suka dengan anggapannya itu. Kenapa sesulit ini perkara mengenai jodoh. Mungkin itu hanya untukku. Buktinya, itu terasa mudah oleh pria yang dengan gagah berani mengetuk pintu rumah Nura dan mengetuk hatinya.
Astagfirullah, apa yang terlintas di pikirkan ini? Seakan-akan aku menyalahkan Tuhan. Dalam perkara ini, jelas akulah yang salah. Salah karena telah menaruh harap kepada selain Allah. Dan benar adanya, berharap kepada manusia itu sangat pahit.
"Bukan menghilangkan, tapi merelakan. Mungkin rasa itu akan hilang, tapi kata rela enggak akan pernah nyata. Maka relakanlah, Nji."
Aku terperanjat dengan lontaran kalimatnya. Aku sudah tidak berminat dengan bola basket. Tidak peduli dengan teriakannya. Bangku di pinggir lapangan menjadi arah tujuanku.
Aku sadar aku salah, jangankan merelakan, menghilangkan rasa ini saja tidak bisa. Tak bisa semudah itu melepaskan rasa yang tumbuh sejak lama. Bagaikan pohon yang sudah menjulang tinggi lagi besar, saat di tebang akan jatuh lebih keras dan sakit.
Teguk demi teguk air mineral dalam genggamanku tandas tak tersisa. Tenggorokan seperti gurun yang harus disirami air.
Masih tercetak jelas dalam ingatan saat Nura mengatakan bahwa aku sahabatnya. Ya, hanya sahabat. Kata sahabat itu membayangi. Istimewa? Jelas aku istimewa di hidupnya, dia anggapku sebagai penjaga hidupnya setelah Pak Kutbi. Kemudian sekarang tugas penjaga itu sudah barang pasti beralih ke suaminya sekarang. Dan aku, kini hanya sebagai penonton hidupnya yang sudah happy ending.
"Move on, Nji. Muka lo enggak jelek-jelek amat. Pasti banyak ukhti-ukhti yang suka sama lo." Aji mengambil duduk di sampingku.
Tidak ada gunanya menggubris apa pun yang Aji katakan. Apakah aku sombong, ya mungkin begitu. Aku tidak ingin mengikuti apa pun yang orang lain sarankan kepadaku. Aku akan melakukan apa yang diri ini mau dan mengambil keputusan sesuai hati. Hatiku hanya aku dan Allah yang tahu, mereka hanya mengira-ngira dan mencoba mencarikan solusi, padahal sesungguhnya mereka tak mengerti masalahku.
"Kubur cinta lo sono. Biar dimakan belatung," tukas Aji. Dia mulai geram karena tidak direspons.
Berada di sini lebih lama hanya akan membuat kepala semakin pening. Sidang skripsiku besok lusa, tapi aku belum mempersiapkannya dengan matang. Mengenai sidang skripsi, Aji kalah start dariku. Dia baru bertekad untuk mengejarnya. Katanya, agar kami bisa wisuda bersama. Namun, aku sudah tidak berminat dengan wisuda. Impian bisa bersanding dengannya saat wisuda nanti sebagai pendamping hidup, agar kami bersanding bersama merasakan wisuda, gagal sudah.
Kusambar tas dan bergegas pergi. Daripada terus mendengarkan cerocosan Aji sang pujangga, lebih baik enyah dari hadapannya.
"Batu," ketusnya. Samar-samar aku masih mendengar umpatan-umpatannya.
~~~•~~~
"Dari mana lagi, Nji? Jam segini baru pulang."
Bagaikan maling yang tertangkap basah. Langkahku tertahan dengan pertanyaan yang menjurus kepada intimidasi. Bunda pasti sangat tidak suka dengan kelakuanku belakangan ini. Tapi dia sudah tahu betul alasanku. Apalagi kalau bukan karena pohon cintaku kini telah patah dan tumbang. Aku lebay? Ya, silakan umpat aku.
Sepertinya aku akan mendapatkan ceramah yang kedua hari ini. Setelah tadi sore kalimat-kalimat ala motivator dari Aji yang malah membuat kepala pening, sekarang saatnya Bunda bercuit. Akhir-akhir ini kosakata Bunda keluar lebih banyak dari biasanya. Hari-hari biasa saja dia sudah banyak bicara, apalagi sekarang. Semakin pusing saja kepalaku.
"Sampai kapan kamu kaya gini terus, Nji. Keluyuran sampe larut malem. Inget ... lusa kamu sidang, kan?" ketusnya, tapi suaranya masih lembut. "Apa kamu pikir dengan kaya gini, Nura bakal simpati sama kamu terus ninggalin suaminya buat kamu. Dia udah punya kehidupannya sendiri. Sedangkan kamu ... cobalah cari kehidupanmu sendiri. Yang po-si-tif!" Bunda menekankan kata terakhirnya. Dia berkata tanpa menatap atau menoleh ke arahku. Dia masih duduk tenang di sofa ruang tamu.
Bukan berarti apa yang aku lakukan sekarang negatif, yang ketika frustrasi akan lari ke alkohol, wanita atau dunia malam lainnya. Tidak. Aku hanya merokok semalaman suntuk di mobil. Hanya itu. Namun, bagi Bunda itu adalah kenakalanku yang tidak bisa ditoleransi. Mengingat aku bukan perokok dan dia tidak suka aku ataupun Ayah merokok.
"Dan cobalah berdamai dengan keadaan, Nji." Suaranya sarat dengan kepasrahan. Bunda bangkit dari sofa dan beranjak ke kamarnya.
Aku tahu Bunda sangat letih. Mengurus rumah sendiri dan sering di rumah sendirian. Ayahku seorang nakhoda kapal antar pulau dan jarang sekali pulang karena tugasnya. Sedangkan Jihan setelah menikah pindah ke Australia.
Guyuran air sepertinya akan sedikit menyegarkan tubuh dan otak. Bau tembakau menguasai tubuhku. Seperti akar parasit yang mencengkeram badan inangnya.
Dari kamar Bunda, aku mendengar kucuran air dari keran. Kuperkirakan Bunda tidak akan pergi untuk tidur. Dia pasti akan menjalankan ritual sepertiga malam terakhir, mengingat sekarang sudah jam setengah tiga pagi. Aku bergegas naik tangga menuju kamar.
Selepas mandi dan menunaikan ibadah malam, aku membaringkan diri di kasur. Ternyata lelah hati membuat tubuh ikut lelah. Namun, mata ini tidak mau terpejam.
Setiap orang tua tidak ingin melihat anaknya mengalami kemunduran. Begitu pun dengan Bunda. Ada harap darinya untuk pencapaianku dalam meraih sukses. Sukses dunia dan akhirat katanya. Aku tidak boleh egois. Karena aku yakin wanita nomor satuku itu lebih sakit dariku. Mendengar aku gagal dalam urusan hati dan kalau nanti juga gagal dalam urusan pendidikan, pasti dia akan kecewa.
Baik. Untuk saat ini aku akan fokus untuk sidang skripsi. Dorongan semangat dari diri sendiri itu motivasi yang paling ampuh, kan? Seperti sebutir telur yang pecah karena dorongan dari dalam. Akan melahirkan kehidupan. Jadi, akan aku lakukan sekarang.
Akan kukibarkan bendera perjuangan, untuk menandakan bahwa aku tidak kalah. Iya. Aku tidak kalah oleh dunia dan nafsuku. Akan aku lenyapkan ego ini.
~~~•~~~
Fiuhhhh agak deg-degan nulisnya.
Vote dan komen, ya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Mencintaimu ✓
EspiritualHanya dengan mencintai Tuhanku. Aku ikhlas menerimamu, ikhlas mencintaimu, dan ikhlas kehilanganmu. Namun bukankah ikhlas itu amatlah sulit untuk diraih? Sesulit menangkap buih di dalam lautan. Begitupun dengan keikhlasan cinta. Karena satu-satunya...