Nura
Seperti menggambar sebuah pola rancangan gaun, kita hanya bisa menjaring ide dan menggoreskannya pada kertas. Untuk kesesuaian realisasi dan hasil akhirnya, klienlah atau pemilik gaun itu yang menentukan. Begitu pun dengan hidup, kita berencana dan menargetkannya, tapi Tuhan yang menggerakkan perwujudan serta akhir kisahnya. Eh, tapi jangan menyamakan Tuhan dengan makhluk, ya, itu hanya perumpamaan.
Ya, setidaknya itu yang aku pelajari dan mampu tertangkap otak dengan kecerdasan rata-rata bawah ini. Semua yang dilakukan erat kaitannya pada nilai hidup beragama. Akidah dan akhlak akan hidup berbaur pada kegiatan sehari-hari. Perilaku baik yang dilakukan berulang-ulang akan menciptakan kebiasaan yang baik.
Mengenai bakat, sekarang pun aku mulai paham. Selama kita berusaha akan suatu hal dan terus melakukannya, itu akan menjadi keahlian. Beberapa tahun menekuni dunia desain pakaian dan jahit-menjahit, membuatku sedikit mahir. Meski tanpa adanya bakat pada awalnya, yang terpenting, berusaha untuk bisa.
Sepertinya julukanku perlu diganti dari Timun Emas menjadi Fatmawati si penjahit bendera. Memang berbeda, tapi, kan, judulnya menjahit-menjahit juga.
Goresan terakhir untuk menambah kesan gradasi pada satu lekuk gaun. Hasil rancanganku. Pun sedikit sentuhan pada kerudung bermodel pashmina. Sekarang, gambar rancanganku disertai wajah dan kerudung penunjang. Serta sedikit berletuk dengan adanya arsiran.
Tidak sebentar untuk bisa menggambar itu semua. Butuh waktu tiga tahun kursus menggambar pada Ibu. Alhamdulillah juga, sekarang sudah tidak terhitung hasil rancanganku dipesan orang. Bahkan, ada yang khusus meminta langsung hasil karya sekaligus jahitanku sendiri.
“Ate Ula, Ate Ula!”
Mataku menyisir segala penjuru butik. Perasaan ada suara anak kecil memanggilku.
Bukan satu atau dua anak yang mengenalku dan memanggil dengan suara khas cadelnya. Banyak. Anaknya Mbak Nara, Mbak Laila, anak kedua Mbak Herra, anaknya Ratih juga. Namun, di mana sosok yang memanggilku?
Ah, mungkin itu suara Trengganu—anak Mbak Laila—yang memanggilku dari ruang jahit.
Kali ini panggilan disertai gedoran pada kaca. Seketika pandanganku beralih pada pintu masuk. Ada seorang anak perempuan berusia dua tahunan sedang berusaha mendorong pintu disertai erangan optimis plus memanggilku seakan meminta tolong.
Ya Allah, itu anaknya Panji!
Ya, Panji sudah memiliki putri kecil. Sama seperti Mbak Laila, Panji dan Mbak Dina tidak langsung diberi amanah anak selama sekitar dua tahun pernikahan. Selain proses penyembuhan dan pemulihan rahim dari mioma, Mbak Dina juga ingin memantapkan diri untuk memiliki anak di tengah kondisi fisiknya. Setelah itu, barulah lahir anak mungil bernama Sabila yang kini berusia dua tahun.
“Kok, sendirian, maminya mana?” tanyaku saat sudah membukakan pintu.
Anak itu malah nyengir dengan muka dimanis-maniskan seperti ada maunya. Aku selalu suka melihat penampilannya. Berkerudung mungil dengan poni menyembul keluar. Jadi, seperti anak berkerudung ungu dari serial kartun asal Rusia. Menggemaskan. Apalagi dengan suaranya yang cempreng dan banyak bicara. Makin tambah menggemaskan.
Dari pintu masuk muncul Mbak Dina dengan langkah tertatih plus kerepotan. Dompetnya ia genggam dengan kondisi tas masih terbuka. Belum lagi di bahu satunya menggendong tas khusus keperluan Sabila.
“Subhanallah, Sayang. Kenapa lari-lari? Bunda, kan, capek jadinya.” Mbak Dina kembali memasukkan dompet, lalu merapikan gamisnya.
“Tuh, Mami capek.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Mencintaimu ✓
SpiritualHanya dengan mencintai Tuhanku. Aku ikhlas menerimamu, ikhlas mencintaimu, dan ikhlas kehilanganmu. Namun bukankah ikhlas itu amatlah sulit untuk diraih? Sesulit menangkap buih di dalam lautan. Begitupun dengan keikhlasan cinta. Karena satu-satunya...