Nura
Sepi, yang bisa kulihat hanya tetes demi tetes air infus yang seirama dengan detak jarum jam. Ruangan ini begitu hening. Sunyi. Sebenarnya tak ada bedanya dengan di rumah. Sama-sama sepi karena hanya ada aku dan Ibu. Namun, tetap saja ada yang beda. Tidak ada keleluasaan, aku tidak bisa melakukan apa pun. Kerjaanku hanya berbaring, duduk, dan jalan ke toilet. Sudah, itu-itu saja. Keluhan bertambah dari yang hanya nyeri perut dalam masa pemulihan pasca operasi dan kini menderita bosan akut.
Aku menengok seseorang yang selalu aku repotkan. Namun, dia tidak pernah mengeluh baik dengan ucapan ataupun ekspresi muka. Wanita luar biasa yang surga berada di telapak kakinya. Lalu keseringan, kaki sucinya itu sering lelah dan terluka akibat anaknya yang bukan apa-apa ini.
Aku tidak bisa membayangkan tertatihnya Ibu saat harus bergerak tergesa-gesa membawaku ke rumah sakit. Tak memiliki anggota keluarga pria kadang membuat kami kerepotan sekaligus kuat. Kerepotan, karena ada beban-beban yang tak mampu kami pikul. Kuat, mental, berani, serta tangguh pada akhirnya tercipta dari kondisi terdesak. Sebagai wanita kadang lupa bahwa kita tercipta dari tulang rusuk rapuh, yang perlu dilindungi. Namun, perlu kita tahu, rusuk yang bengkok ini pun mampu melindungi jantung, sang organ vital. Itulah mengapa wanita begitu istimewa.
Dari tadi Ibu sering mengerjap, seolah harus terjaga sepanjang waktu untuk menjagaku. Namun, kantuknya tidak bisa dipungkiri. Ibu adalah orang yang tidak bisa tidur dalam kondisi duduk. Jadi, dia memilih merebahkan tubuhnya di sofa, tetapi sering bangun untuk menengokku.
Selain bunyi detak jarum jam, akhirnya aku mendengar suara lain, yaitu derap pintu yang terbuka. Rupanya seorang suster masuk untuk melakukan piket kontrol ruang. Aku terenyak, selarut ini perawat itu masih menjalankan tugas, padahal mungkin saja, banyak dari wanita sebayanya lebih memilih menjadi ibu rumah tangga dan membaringkan badan mengingat waktu sudah sangat larut begini.
"Ibu Anda terlihat lelah sekali," kata suster, yang sebelumnya menyapa dan menanyakan keadaanku. Dia kini sedang memeriksa infus. Aku tidak menampik bahwa Ibu memang lelah. Namun, aku yakin perkataan suster itu hanya basa-basi, karena dirinya pun sepertinya mengalami kelelahan pula. Harus berjaga malam menjadikan kantung matanya menghitam. Terlihat pula dari senyum ramah yang ia paksakan.
"Air infusnya mau habis, biar saya ganti. Sebentar, ya, Mbak." Suster itu keluar, lalu tak lama setelahnya ia kembali membawa satu kantung air infus. Dengan telaten dia menggantikan infus yang hampir habis dengan yang baru. Kemudian mengatur kecepatan turunnya air infus pada alat seperti roda kecil di selang infus yang aku sendiri tidak tahu namanya.
"Suster enggak istirahat?" tanyaku. Mencoba membuka suara karena dari tadi aku hanya mengangguk saat dimintai izin memeriksa, berkata "baik" saat ditanya keadaan, dan menggeleng saat ditanyai keluhan.
Sebelum menjawab, perawat yang kuperkirakan berusia tiga puluhan tahun itu menghela napas dalam, "Setelah ini saya istirahat. Sebenarnya saya kurang bisa begadang. Kalau sift malam hawanya ngantuk terus. Tapi ya mau gimana lagi. Tugas harus terus dijalanin. Gara-gara sift malam juga pernah bikin saya keguguran. Pola tidur enggak teratur, bikin badan saya benar-benar ngerasa capek banget." Yang tadinya berbicara menggunakan bahasa formal, lama kelamaan suster itu berbahasa santai juga akhirnya. Suaranya sengaja dia dikecilkan, mungkin agar tidak membuat Ibu bangun. Dia pun duduk di bangku tepat di samping ranjang. Lantas akibat curhatannya, membuat harapan tidurku sirna, tergantikan rasa penasaran.
"Apalagi saat itu saya hamil anak pertama. Lagi bahagia-bahagianya pengin punya anak. Eh ... taunya Allah punya kehendak lain."
"Waktu itu, gimana perasaan, Suster?" tanyaku.
"Kecewa, pasti. Tiga tahun saya nunggu-nunggu buat hamil. Terus pas hamil ternyata keguguran. Tapi untungnya suami saya terus nguatin. Kata dia, Allah ngasih kami tabungan akhirat lewat calon anak kami yang meninggal. Supaya kami bisa masuk surga bersama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Mencintaimu ✓
EspiritualHanya dengan mencintai Tuhanku. Aku ikhlas menerimamu, ikhlas mencintaimu, dan ikhlas kehilanganmu. Namun bukankah ikhlas itu amatlah sulit untuk diraih? Sesulit menangkap buih di dalam lautan. Begitupun dengan keikhlasan cinta. Karena satu-satunya...