67. Duka Berlipat ✓

39 5 0
                                    


P

anji

Aku takut akibat benturan trotoar membuat saraf mataku bermasalah. Memang tidak terasa sakit kepala atau berdenyut di sekitar mata. Namun, mungkin saja mataku mengalami lemah kemampuan dalam melihat tulisan atau aku tiba-tiba mengidap minus, plus, atau silinder dadakan. Sehingga tulisan tampak tak jelas saat kubaca. Setiap huruf menjadi bentuk tak beraturan.

Aish, kenapa aku malah menduga-duga dan berprasangka buruk pada tubuh sendiri. Dalam kondisi begini sempat-sempatnya memikirkan hal yang tak seharusnya menjadi prioritas.

Tunggu-tunggu. Mengenai prioritas, sudahkah aku benar-benar memikirkan yang seharusnya menjadi prioritas? Allah contohnya, yang paling harus diprioritaskan, yang seharusnya ada di pikiran kala bahagia dan nestapa melanda. Di kala gemah ripah dan paceklik. Saat lapang maupun sempit.

Kenapa keseringan dari kita mengingat-Nya saat nestapa saja? Di kala paceklik terasa mencekik saja? Atau saat kita dilanda kebimbangan di persimpangan hati yang sempit saja? Padahal Allah mengatakan, bila kita mengingat-Nya, Allah pun akan mengingat kita. Maafkan aku Ya Allah yang masih jarang sekali mengingat-Mu dan berzikir kepada-Mu.

Map hijau menarik perhatianku lagi. Apa aku tidak salah baca? Amputasi kaki kanan? Separah apa kaki Dina sampai harus dilakukan tindakan itu? Lalu apa lagi ini? Operasi pengangkatan ovarium? Memang seharusnya dokter langsung yang menemuiku. Banyak pertanyaan yang membuncah di kepalaku.

Rasanya aku memerlukan banyak suplai oksigen. Syukur alhamdulillah Allah memberikan fasilitas udara melimpah secara gratis bersyarat—syaratnya tunduk dan patuh  pada hukum aturan Islam—kalau tidak, aku mungkin juga akan berbaring di ranjang pesakitan seperti Dina untuk mendapatkan perawatan udara buatan entah berapa tabung oksigen yang akan kuhabiskan.

Mataku pedas membaca tulisan semengerikan itu. Hingga beberapa kali mengerjap dan mengucek mata. Tetapi tulisannya tetap sama.

Lagi-lagi menghela napas berat. Ke mana saja aku selama ini sampai tidak tahu menahu mengenai penyakit Dina. Suami macam apa aku? Kini apa yang harus kulakukan? Otakku hilang fokus. Bodohnya lagi aku malah menghunjami diri dengan pertanyaan yang tak akan mampu kujawab sendiri.

"Sepertinya Anda perlu pertimbangan." Perawat perempuan itu bersiap melangkahkan kaki untuk keluar ruangan. Aku mengerti dia memiliki banyak pekerjaan selain menunggui aku yang mematung dengan selembar kertas bermap.  Namun, tidak bisakah dia memberikanku sedikit penjelasan untuk sekadar memantapkan hatiku untuk mengambil keputusan? Kenapa aku jadi kesal kepadanya yang tak bersalah?

Sepertinya hormon adrenalin, norepinephrine, serta kortisol, muncul dan bekerja secara bersamaan. Hormon adrenalin yang menstimulasi jantung untuk berdetak lebih cepat, dan hormon norepinephrine dengan kortisol yang berfungsi berlainan. Yang satu meningkatkan fokus terhadap permasalahan, satunya lagi menghilangkan konsentrasi serta membuat badan lemas. Sehingga ranculah tubuhku.

Jantungku berpacu tak terkendali. Cemasku menjadi-jadi dan konsentrasi buyar, sejalan dengan buranya mata. Hormon pemicu stres hampir benar-benar menguasaiku.

Aku berdeham, konyol kalau terus menerus bergelut dengan diri sendiri di saat perlunya tindakan cepat. Aku harus menanggalkan ego. Sekali lagi kubaca surat persetujuan tindakan penanganan. "Lakukan tindakan terbaik untuk istri saya." Kalimat itu yang secara mantap keluar dari pita suaraku setelah kalimat basmalah kugumamkan.

Dalam hitungan detik, tanganku sudah menandatangani lembar kertas bertinta hitam itu. Aku tak bisa menyembunyikan kegugupan dalam diri. Terbukti dari gemetarnya tanganku saat menyerahkan map yang tak terpikirkan olehku untuk menutupnya.

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang