9. Momen Impian ✓

43 8 0
                                    


Panji

Selepas salat Magrib di masjid kompleks, aku tidak langsung pulang. Bu Ane, ibunya Nura melarangku untuk meninggalkan rumahnya. Dia menyuruhku makan malam dulu.

Makan malam kali ini meriah sekali. Kebetulan hari ini Mbak Herra dan Nara sedang berkunjung. Biasalah, perempuan kalau sudah berkeluarga, mereka pasti mengikuti suami dan tinggal di rumahnya masing-masing. Sama seperti Jihan, kakakku, yang ngintil suami sampai ke Australia.

Bu Ane memasak banyak menu makanan dengan dibantu ketiga anak perempuannya. Bisa dibayangkan seperti apa ramainya dapur.

"Ardan, kok, belum sampai, Na?" tanya Bu Ane kepada Nara. Dia mendapati ketidaklengkapan menantunya. Mas Damar sedang menggendong jagoannya. Dan dia belum melihat Mas Ardan—suaminya Nara.

"Mas Ardan lagi di jalan, Bu. Sebentar lagi juga nyampe. Ada mata kuliah tambahan katanya buat mahasiswa semester akhir," terang Nara. Piring berisi ayam kecap ia letakkan di meja makan.

"Kasihan suamimu. Pasti lelah bekerja dari pagi sampai larut," iba Bu Ane. "Nura ... tolong gelasnya bawa ke sini!" Dia sedikit berteriak agar Nura yang sedang di dapur mendengar.

"Oh iya, kamu udah USG belum, Na?" tanya Mbak Herra. Dia menata piring di meja.

"Udah, Mbak, minggu lalu. Entar USG lagi pas enam bulan," jawabnya.

Nura dengan hati-hati membawa nampan gelas ke meja makan mengikuti perintah ibunya.

"Lagi hamil jangan galak lagi, Mbak. Kasihan dedeknya entar ikut galak," cibir Nura.

"Biarin. Galaknya cuma ke kamu ini," bela Nara.

"Iya galaknya cuma ke Nura. Tapi juteknya ke semua penduduk dunia." Nura meledek.

Nara malah cengengesan. "Itu mah udah bakat," katanya.

Sontak wanita-wanita itu tertawa. Aku masih melihat dan mendengar percakapan mereka dari ruang keluarga. Kebetulan ruang makan dan ruang keluarga tidak ada sekat. Senang sekali melihat keseruan ibu dengan anak-anaknya itu. Aku jadi ingat Bunda. Dia pasti kesepian sendirian di rumah. Tapi Bunda sudah terbiasa hidup sendirian sejak menikah. Mempunyai seorang suami yang bekerja di pelayaran membuatnya harus siap jika harus sering ditinggal bekerja dalam jangka waktu lama.

Tak lama berselang, orang yang dibicarakan para wanita itu muncul dan mengucap salam. Aku dan Pak Kutbi yang sedang menunggu waktu makan sambil menonton televisi lantas berdiri dan menjawab salam.

Dia mencium tangan Pak Kutbi. Mertuanya itu tersenyum dan menepuk bahunya.

"Ayah, udah enakkan badannya?" tanya suami Nara itu.

"Alhamdulillah. Ayah jauh lebih sehat dari sebelumnya. Allah kasih stamina yang lebih kayanya buat Ayah," ujar pria yang usianya sudah setengah abad itu.

"Oh, ada Panji juga. Gimana kabar kamu, Nji?" tanya Mas Ardan sambil menyalamiku.

"Alhamdulillah, baik, Mas. Wah ... calon ayah tambah semringah aja, ya, mukanya," candaku.

"Bisa aja, kamu. Kalo udah nikah itu tingkat kegantengan pria meningkat, Nji," katanya cekikikan.

Ternyata stigma bahwa semua dosen itu tegas dan galak hanya prasangka tak berdasar. Bisa saja kegalakannya hanya mereka tempatkan di tempat kerjanya saja karena prinsip disiplin dan profesional kerja. tapi jika di rumah, ya, sesuai karakter asli masing-masing. Seperti Mas Ardan contohnya.

Bu Ane muncul dari dapur. "Oh, Ardan udah pulang toh. Udah salat Magrib?" tanyanya.

"Udah, Bu. Tadi aku Magriban di jalan," kata Mas Ardan sambil mencium tangan Bu Ane.

"Ya udah ayo ke ruang makan. Makanannya udah siap," kata Bu Ane menginstruksi.

Aku mengambil duduk di kursi paling ujung karena memang kursi itulah yang masih tersisa. Seakan menyesuaikan penghuni besar, meja makan ini didesain pas berkursi delapan. Untuk dua orang tua, tiga anak serta tiga menantu. Eits ... di sini aku tidak termasuk menantu. Tapi berharapnya begitu.

"Panji, mau tumis kangkung?" tawar Bu Ane.

"Boleh, Bu," jawabku.

"Nura tolong kasihkan ke Panji." Bu Ane menyodorkan piring berisi tumis kangkung ke Nura. Karena posisi Nura yang paling dekat duduknya denganku, makanya ibunya itu menyuruh gadis yang kini rambutnya terbalut hijab itu untuk melayani suaminya ini ... eh, menyendokkan tumis kangkung ke piringku.

"Panji mau seberapa? Segini cukup?" tanyanya sambil menyendokkan tumis kangkung ke piringku.

"Udah," jawabku. Aku tidak terlalu suka sayur. Menerima tawaran kangkung ini juga sebenarnya karena menghormati Bu Ane.

"Tapi kayanya Panji harus makan sayur yang banyak, deh. Biar sehat, kan, Panji banyak kegiatan," kata Nura sambil menyendokkan kangkung itu lebih banyak. Yakin banget dia sengaja. Dia tahu betul aku tidak suka sayur, dan tahu aku tidak akan enak hati untuk tidak memakannya. Setidaknya untuk menghargai tuan rumah.

Nura menahan tawa. Pasti dia puas sekarang bisa mengerjaiku. Awas saja kamu, tunggu pembalasan dariku.

"Terasa udah lengkap, ya, Bu. Tiga anak sama tiga menantu," ucap Nara sambil melirikku.

"Iya, ya, lengkap," timpal Bu Ane. Dia tersenyum jail.

"Tinggal nunggu resminya, Bu." Sekarang Mbak Herra ikut bersuara.

Ah, aku malu sekali. Ini namanya ge-er tingkat tinggi. Sesuatu yang aku impikan. Bisa makan bersama seperti ini dengan ikatan  bukan hanya tamu yang kebetulan mampir. Hitung-hitung lagi geladi bersih calon menantu.

"Yeee ... kan Nura sama panji belum nikah," protes Nura tak terima.

"Ya udah kapan nikahnya?" serang Nara.

Nura malah memasukkan nasi ke dalam mulut sampai penuh. Membuat pipi tirusnya menggembung bulat. Dia menatap Nara sebal.

"Makannya pelan-pelan, Ra," kata Bu Ane, menasihati.

"Biar cepet selesai makan malemnya, Bu. Keburu Isya," tukasnya.

Aku seperti penonton, yang hanya bisa menyaksikan setiap adegan para pemain. Tidak bersuara dan tidak merespons apa pun. Lagian bingung juga mau melakukan apa. Jadi, aku hanya berusaha menghabiskan makananku yang kebanyakan sayur.

"Kalau beneran mau dihalalin juga enggak apa-apa, kok." Itu suara dari bibir Pak Kutbi. Sontak membuatku dan Nura menoleh sekaligus membelalakkan mata.

Ini, sih, benar-benar momen impian!

~~~•~~~

 

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang