Nura
"Aku kira kamu enggak terima lamaran tadi," kata Mbak Nara sambil duduk menyilangkan kaki di ranjangku. Malam ini dia dan suaminya menginap di rumah.
Setelah rombongan tamu Ayah yang membuatku kaget itu pulang, aku masih mendapat tugas negara menjadi pelayan. Karena masih dalam grogi tingkat tinggi, saat membawa baki berisi gelas, aku menyenggol pintu ruang keluarga. Jatuhlah satu gelas. Akhirnya, pekerjaan diambil alih Ibu dan aku disuruh istirahat. Ibu baik sekali, kan? Tau saja tanganku masih terserang tremor akibat acara tadi.
"Kenapa?" tanyaku tidak paham.
"Ya, kirain kamu pengin nikahnya sama Panji."
Omong-omong soal Panji, tadi kami belum sempat tegur sapa. Dia ikut pamit ketika tamu pulang. Aku juga mengalami lupa ingatan dadakan untuk menanyai banyak hal mengenai acara khitbahnya. Ini gara-gara bius euforia di ruang tamu tadi.
"Kok Mbak Nara mikirnya ke Panji, sih?" tanyaku masih belum paham. Aku memiringkan posisi tidurku dan menjadikan satu tangan sebagai penyangga kepala. Menelusuri dari sepak terjang pertemanan kami, dia sepertinya tidak ada minat-minatnya menjadikanku istri. Lagi pula ... ah, terasa aneh.
"Ya, kan secara kamu udah sahabatan sama Panji dari kecil. Kirain kamu cinta dan pengin nikahnya sama Panji," terangnya.
Ada begitu hubungannya sahabat dari sama pernikahan? Karena aku dan Panji sahabatan dati kecil, menikahnya juga harus sama dia? Cinta? Aku juga tidak mencintai pria yang tadi melamar. Kata Ibu, kan, cinta itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Tinggal kedua pasangan saling menurunkan ego dan menerima keadaan pasangan.
"Mbak Nara kenapa nikahnya enggak sama Panji?" Aku membalikkan pertanyaan itu kepadanya.
Dia, kan, dulu juga main sama Panji terus. Main balapan sepeda, aku tidak diajak. Pernah dulu, mereka pergi ke butik dan meninggalkanku hanya karena siang bolong dan berat bila harus memboncengi orang.
"Kan aku udah nikah. Gimana, sih," ketusnya.
"Kan, Mbak Nara juga temenan sama Panji dari kecil. Kirain cintanya sama Panji terus pengin nikahnya sama Panji. Eh ... malah nikahnya sama Mas Ardan."
"Orang aku jodohnya sama Mas Ardan," kelitnya.
"Nura juga jodohnya sama Mas Hasbi," kataku enteng.
Dia menghembuskan napas kasar.
~~~•~~~
Panji
Ingatanku masih tercetak jelas. Tragedi itu masih terbayang di benak. Saat seorang pria secara lantang melamar Nura. Dengan suara lembut, Nura penuh kepastian menerimanya. Kenapa dia semudah itu mengiakan pinangan itu, bahkan kepada orang yang tidak dikenal?
Aku yakin Nura tidak mengenal pria itu. Dia tidak memiliki banyak teman, apalagi laki-laki. Dia selalu menceritakan segala hal kepadaku. Mengenai kebingungannya ketika ditanya masjid dekat butiknya oleh lelaki saja cerita, apalagi hal-hal yang sifatnya penting.
Bunda mendapatimu tergeletak di sofa. Dia pasti heran dengan penampilanku. Rambut acak-acakan, kemeja sudah kusut, dan mukaku yang entah seperti apa ekspresinya sekarang. Aku kali ini tidak peduli akan hal itu. Bodo amatlah.
"Kok kusut gitu? Gimana tadi ke rumahnya Nura? Harusnya, kan, Bunda ikut, Nji. Masa mau ngelamar sendirian," kata Bunda sembari duduk di sampingku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Mencintaimu ✓
SpiritualHanya dengan mencintai Tuhanku. Aku ikhlas menerimamu, ikhlas mencintaimu, dan ikhlas kehilanganmu. Namun bukankah ikhlas itu amatlah sulit untuk diraih? Sesulit menangkap buih di dalam lautan. Begitupun dengan keikhlasan cinta. Karena satu-satunya...