39. Ujian Tahan Kantuk ✓

60 7 0
                                    

Beberapa menit lagi kereta akan diberangkatkan. Kursi empuk dari kereta api kelas eksekutif terasa nyaman diduduki. Perempuan berkerudung marun itu asyik memandang tugu Monas yang terlihat dekat dari tempatnya duduk. Dia memilih duduk di dekat jendela agar bisa leluasa menikmati pemandangan.

Di pangkuannya ada beberapa makanan dan air mineral. Sengaja dia siapkan untuk camilan selama di perjalanan. Bukan karena dia takut kelaparan, tapi untuk mengusir rasa kantuknya yang selalu menyerang. Nura niat sekali untuk tidak banyak tidur di kereta. Ini adalah perjalanan jauh pertama sepanjang hidupnya, wilayah terjauh yang pernah ia sambangi hanya kota Bandung, rumah neneknya Panji. Itu pun dulu saat ia masih kecil, tidak jalan-jalan pula. Karena posisinya nenek Panji sedang sakit. Panji dan Nura hanya diperbolehkan bermain di kebun teh dekat rumah.

"Mas," panggilnya pada pria di sampingnya.

"Hm." Hasbi mengalihkan perhatiannya dari ponsel kepada wanitanya itu.

"Kenapa, sih, Monas itu tinggi banget?"

Terdengar seperti pertanyaan anak SD. Hasbi pernah diberi pertanyaan oleh ponakannya di Jogja yang berumur lima tahun. Mengenai tubuh kuda penarik delman yang bertubuh besar. Lalu dia dengan mudah menjawab bahwa kuda itu sudah tumbuh dewasa, jadi badannya pun besar. Sedangkan Monas yang tinggi ... bagaimana harus menjelaskannya. Haruskah ia jawab karena Monas mengalami pertumbuhan jadi badannya tinggi? Lucu.

"Pertanyaan macam apa itu? Pertanyaan enggak berkualitas," batin Hasbi.

"Ehm." Hasbi bingung merangkai kata. "Karena, tinggi Monas itu melambangkan semangat perjuangan bangsa Indonesia yang membumbung tinggi. Lidah api di puncak itu melambangkan semangat yang berkobar-kobar. Teropong di puncaknya juga berfungsi buat melihat kalau di Jakarta yang luasnya enggak seluas daerah-daerah yang lain di Jawa, tapi di Jakarta lengkap dengan berbagai suku yang menyatu. Itulah Bhineka Tunggal Ika," terangnya sambil menunjuk puncak Monas. Penjelasannya banyak yang ia tambah-tambahi. Terdengar seperti tour gaet gadungan.

"Apa yang buat kamu terkesan pas naik ke puncaknya?" Kini Hasbi yang bertanya.

Ada senyum aneh yang tersuguh dari wajah cantik Nura. "Ehm ...." Gantian dia yang bingung merangkai kata, atau bahkan bingung mau berkata apa.

"Nura belum pernah naik ke puncak," ungkapnya. Dia meringis sambil menggigit bibir bawahnya menahan malu.

"Astagfirullah, Ra. Dua puluh tahun tinggal di Jakarta. Naik Monas aja belum pernah?" Bagaimana Hasbi tidak heran, tempat wisata se-ikonik Monas saja belum perempuan itu sambangi. Bukan belum pernah di sambangi, tapi belum pernah naik ke puncaknya.

Sudah ada pemberitahuan dari announcer stasiun bahwa kereta akan segera diberangkatkan. Semua pintu-pintu kereta sudah ditutup dan perlahan kereta mulai bergerak. Sampai jumpa lagi Jakarta.

"Nura sering ke Monas, ya ... cuma emang belum pernah naik sampe ke puncak," katanya menegaskan.

"Dulu, pas Nura kecil pernah ke Monas bareng Panji. Bunda Jannah yang ngajak Nura sama dua Mbak jalan-jalan ke sana. Dia ngajak naik ke puncak, tapi Nura enggak mau. Panji itu orangnya suka maksa. Nura terus ... dipaksa. Sampe Nura berani bentak dia. Akhirnya, dia naik ke puncak sama Mbak Nara dan Mbak Herra. Nura cuma nunggu sambil duduk di depan teks proklamasi ditemenin Bunda. Cuma ngeliatin orang-orang foto di depan pintu kayunya. Ngeliatin punggung orang-orang yang nunggu pintu kayu itu kebuka terus keluar suara Bapak Soekarno."

"Kamu takut ketinggian?" tanya Hasbi.

"Enggak."

"Enggak ngaku," timpal Hasbi.

"Nura enggak takut ketinggian. Cuma ngeri aja liatnya, tapi enggak takut, kok," kelitnya.

"Alibi," ejek Hasbi.

"Sekarang Nura berani. Entar juga Nura mau coba naik bianglala pas di Jogja," kata Nura membela diri.

"Emang aku mau ngajak kamu jalan-jalan? Kita mau honeymoon," ujar Hasbi.

"Emang honeymoon di kamar doang enggak jalan-jalan?"

Tiba-tiba Hasbi membekap mulut Nura. Suaranya sedikit keras, membuat beberapa penumpang menoleh ke arah mereka. Nura yang menyadari kebodohannya hanya bisa meringis menahan malu.

~~~•~~~

Kereta berjalan cepat menyusuri rel-rel perlintasan sesuai rute. Tidak pantang dengan jalan yang berkelok atau sedikit naik turun. Seperti seekor ular yang terus merayap cepat seakan melihat mangsa dan siap menerkam.

Selama perjalanan Nura sudah menghabiskan beberapa kantung keripik, brownies, dan beberapa permen penangkal kantuk. Tidak hanya itu, ia juga banyak bicara agar kantuknya teralihkan. Mulai dari daerah-daerah yang dilewati, ungkapan takjub pada pemandangan yang disaksikannya sepanjang mata memandang. Sampai ia menanyakan kepada Hasbi atas rasa penasarannya mengenai perasaan seorang masinis kalau tiba-tiba di jalan menabrak orang. Adakah rasa takut atau perasaan bersalah. Tidak seperti kendaraan di jalan raya yang apabila kecelakaan bisa berhenti dan saling menolong. Ini kereta api yang akan terus berjalan meski seekor sapi terlindas sekali pun. Hasbi sebagai seorang pria yang tidak memiliki jumlah kata sebanyak wanita suka malas menanggapi ocehan Nura. Pria memang kodratnya hanya berbicara seperlunya.

Kini Nura bingung mau melakukan apa lagi, dia sudah menyerah dengan makanan. Apalagi harus minum berbotol-botol, itu akan membuatnya bolak-balik ke toilet. Dia paling malas ke toilet umum.

Matanya mulai lengket, ingin sekali terpejam. Saking inginnya terjaga, saat kepalannya sudah oleng ke depan atau ke samping dia paksakan untuk bangun. Namun, seperti itu terus sampai Hasbi menarik kepala Nura agar bersandar ke lengan kokohnya. Dia sampai tersenyum melihat cara tidur Nura yang terlihat lucu. Bagaimana tidak, dari tadi Nura tidak nyaman dalam berbagai posisi. Saat kepalanya disandarkan ke lengan Hasbi, ajaib, Nura langsung nyaman dan tertidur pulas. Hasbi pun sebenarnya mengantuk, tapi melihat Nura yang dari tadi semangat, dia urungkan untuk tidur dan memilih mendengarkan ocehan Nura. Walaupun hanya beberapa ucapan saja yang ditangkap. Pria itu merelakskan posisi duduknya dan menyilangkan tangannya agar lebih nyaman.

~~~•~~~

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang