Panji
"Panji!" teriak Bunda sambil menepuk pundakku.
Hampir saja mengumpat, untung masih bisa mengendalikan diri. Huh, dia mengagetkanku saja.
"Ah, Bunda ... pelan-pelan aja manggilnya. Kuping aku panas," protesku sambil mengusap-usap telinga.
Tiba-tiba Bunda malah menyentil telingaku. "Wah ... ini tindak penganiayaan. Kata Kak Seto enggak boleh nyentil anak. Entar bisa ditangkap Komnas Anak, Bun," cerocosku.
"Kalo dari tadi kamu denger juga Bunda enggak bakal teriak," katanya, dia mau menyentilku lagi, tapi dengan sigap, aku menghindar.
Bundaku bukan seorang pemarah atau ringan tangan. Dia hanya memarahi jika aku tidak memedulikan panggilannya. Bukan tidak memedulikan, tapi aku memang sering tidak mendengarnya. Bukan karena budek, Cuma ya ... tidak terdengar saja. Apalagi saat aku sedang fokus mengerjakan sesuatu.
Berbeda dari perempuan yang mampu melakukan beberapa pekerjaan dalam satu waktu, pria tidak bisa seperti itu. Otak laki-laki dirancang hanya fokus pada satu aktivitas namun maksimal. Tidak bisa pikiran lelaki bercabang-cabang, karena itu akan menurunkan daya fokusnya. Lain lagi dengan perempuan, mereka bisa melakukan satu kegiatan nyambi mengerjakan aktivitas yang lain. Makanya, kalau pas lagi fokus, mau ada kucing tetangga lahiran pun, aku tidak peduli.
Jurus jitu menanggapi Bunda adalah dengan nyengir kuda. "Lagian ada apa, sih, Bun. Aku lagi bikin tugas, nih," kataku.
"Bunda bikin asinan mangga. Tolong kamu anterin ke rumah Nura. Si Nara katanya lagi hamil, terus dia pengin asinan buatan Bunda. Kebetulan dia lagi di sana. Anterin, gih."
Aku menengadahkan tangan. "Upah."
Bunda sudah ancang-ancang melayangkan tangannya ke kepalaku. Aku bergegas bangkit dan menyambar jaket yang menggantung. Kabur sebelum mengalami hantaman tangan petir.
Baru dadar, aku disuruh ke rumah Nura dengan maksud dan tujuan. Kenapa sekarang hanya tunggang langgang dengan tangan kosong. Aku berbalik, menuju dapur dan mencari objek yang menjadi instruksi nyonya besar.
"Nyari apa kamu? Makanya nanya. Jangan sok tahu," tanya Bunda sambil menuruni tangga.
"Asinannya lah, Bun. Makanya Bunda kalo ngasih instruksi itu yang lengkap, naruhnya di mana barangnya. Jadi, aku enggak perlu nyari-nyari."
"Makanya kalo ada intuksi itu dengerin baik-baik, lihat baik-baik. Jangan kabur duluan. Nih, orang bingkisannya Bunda tenteng. Dasar," kata bunda. Aku nyengir kuda, lagi. Bunda hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah kekanakanku. Tapi aku senang membuatnya sebal. Lucu dilihatnya.
"Jangan ngomel-ngomel mulu Bunda tercinta. Tuh, kerutan nambah banyak," godaku sambil mencolek dagunya.
Sontak Bunda langsung menangkupkan tangan montoknya ke pipi. "Masa? Kamu, sih, kerjaannya bikin Bunda kesel mulu. Udah sana buruan anterin. Nanti keburu Magrib."
"Bunda, sih ... gemesin. Bikin aku pengin cium tiap hari."
Bunda terlonjak dan refleks memukul lenganku setelah dicium pipinya. "Dasar mesum. Enggak usah gombalin Bunda. Bunda bakal tetep cintanya sama Ayah," kata Bunda.
"Ya udah, ah. Aku pergi dulu Assalamualaikum." Kucium tangannya yang masih ada bau cabainya.
"Hati-hati bawa motornya. Enggak usah ngebut-ngebut. Utamakan keselamatan. Inget Bunda di rumah.” Kebiasaan. Setiap pergi, pasti itu pesannya. Dia akan selalu berpetuah saat aku akan naik motor. Katanya dia itu ngeri melihat orang naik motor, apalagi kalau kebut-kebutan, hawanya ingin mengumpat untuk pengendaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Mencintaimu ✓
SpiritualHanya dengan mencintai Tuhanku. Aku ikhlas menerimamu, ikhlas mencintaimu, dan ikhlas kehilanganmu. Namun bukankah ikhlas itu amatlah sulit untuk diraih? Sesulit menangkap buih di dalam lautan. Begitupun dengan keikhlasan cinta. Karena satu-satunya...