Nura
Seminggu sudah aku tinggal bersama lelaki yang menyandang status sebagai suamiku. Rumah ini seperti dipenuhi gulali dan marshmellow, yang manisnya bisa dinikmati kapan pun aku mau. Berlebihan sekali. Tetap saja bila rumahnya tidak dibersihkan akan tetap kotor, dan rentan menimbulkan penyakit.
Pintu kamar mandi terbuka. Muncul Mas Hasbi dengan tubuh yang masih dibalut handuk, dia baru selesai mandi.
Kepalaku refleks menunduk. Entah kenapa aku masih malu dengan sesuatu yang terbuka. Meski aku sudah melihatnya tanpa ....
Aaah! Malu. Aku tidak mau membayangkan itu lagi.
"Mas, tolong pakenya di kamar mandi, ya." Aku memberikan pakaian agar dia mengenakannya di kamar mandi.
Aku tidak suka dia memakai pakaian di dalam kamar. Alasannya, karena dia akan meletakkan handuknya di atas kasur. Membuat kasur basah dan lama kelamaan menjadi bau. Kata Ibu, itu memang kebiasaan laki-laki. Aku memakluminya, tapi kebiasaan seperti itu sedikit demi sedikit harus diubah, agar kami sama-sama nyaman.
Mas Hasbi menerima pakaian dan beranjak masuk lagi ke kamar mandi.
"Jangan lupa handuknya digantungin, ya, Mas." Aku sedikit mengeraskan suara agar dia mendengar.
"Iya, Sayang," teriaknya juga.
Aku tertawa kecil, rasa-rasanya, kok, aku sedikit cerewet. Tepatnya sudah berani cerewet. Mungkin karena sudah dekat dan tidak canggung lagi dengan Mas Hasbi. Omong-omong, orang yang paling puas aku baweli adalah Panji. Dia selalu menjadi sasaran 7200 kata yang harus keluar dari mulut wanita. Kalau sama orang lain, aku diam.
Dia sudah keluar.
"Sarapan, yuk. Tadi Nura udah masak," ajakku.
Agar tidak bolak-balik ke kamar, aku membawa tas kerjanya. Mas Hasbi tidak pernah memakai dasi. Jadi, aku bisa bernapas lega. Seperti di sinetron-sinetron yang sering Mbak Nara tonton, seorang istri akan memasangkan dasi untuk suaminya. Sedangkan aku tidak bisa, dan suami tidak memakai. Maka dari itu, berbahagialah.
"Eyang mana?" tanya Mas Hasbi setelah kami di ruang makan.
"Kayanya lagi siap-siap," tebakku.
Umur panjang. Eyang keluar dari kamarnya dengan penampilan rapi.
"Eyang rapi banget. Mau ke mana?" tanya Mas Hasbi mengambil duduk di bangku paling ujung. Sambil mendengarkan mereka bicara, aku menyiapkan piring dan menungkan nasi serta telur dadar.
"Mau ke Rumah Kanker," jawab Eyang.
Eyang memang rutin ke sebuah yayasan yang di dalamnya menangani pasien kanker. Hampir semua pasien kanker di sana adalah anak kecil. Eyang merupakan salah satu donatur untuk yayasan kanker yang diberi nama "Rumah Kanker" itu.
"Tumben. Biasanya ke sana hari Sabtu?" tanyanya lagi di samping kegiatan makannya. Jelas saja Mas Hasbi heran, ini baru hari Rabu.
"Hari ini lagi ada acara. Tadinya Eyang ingin ke sana sama Nura, tapi Ayah Nura, kan, mau ke sini, ya?" sesal Eyang.
Tadi malam memang Eyang mengajakku untuk ikut dengannya, tapi Ayah sebelumnya menelepon, katanya mau main ke sini. Seminggu tidak melihatku apa Ayah sudah rindu denganku? Aku juga sebenarnya sudah merindukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Mencintaimu ✓
SpiritualHanya dengan mencintai Tuhanku. Aku ikhlas menerimamu, ikhlas mencintaimu, dan ikhlas kehilanganmu. Namun bukankah ikhlas itu amatlah sulit untuk diraih? Sesulit menangkap buih di dalam lautan. Begitupun dengan keikhlasan cinta. Karena satu-satunya...