22. Amplop yang Terbengkalai ✓

43 7 0
                                    

Panji

Beberapa jam lagi aku akan mendapat gelar sarjana ekonomi. Setelah sekian hari sekian minggu juga akhirnya dapat pekerjaan. Lumayanlah agar tidak lama menganggur. Aku mendapatkan pekerjaan di kantor akuntan publik yang cukup bonafid. Tergolong perusahaan big four dengan kualitas audit berkualitas dan keseringan menangani keuangan klien-klien besar. Perusahaan jasa itu adalah salah satu rekomendasi dari tempat magangku dulu.

Untuk sahabatku Aji, dia juga akhirnya bisa satu baris berdiri bersamaku untuk wisuda nanti. Mengenakan toga dan melemparkannya bersama. Dia sangat bekerja keras untuk sidangnya. Tidak mau kalah dan tertinggal dariku. Ledekan-ledekanku menjadi penggenap pacuan semangatnya. Setidaknya aku berperan atas kesuksesan proses menuju wisuda yang terbilang singkat.

Untuk acara formal sekelas wisuda, seharusnya memakai sepatu pantofel, tapi kayanya lebih enak pakai sepatu kets. Tidak perlu terlalu formal, yang penting nyaman dipakai. Aku mengambil sepatu kets hitam dari bawah meja belajar. Bukan hanya sepatu yang ketarik, tapi juga sebuah amplop putih berdebu dan kotor. Sepertinya sudah lama jatuh.

Aku sedikit tertarik dengan amplop lusuh itu. Diingat-ingat sepertinya ini amplop yang dikasih perempuan di tempat latihan panahan. Kira-kira apa isinya. Daripada penasaran amplopnya langsung kusobek. Ternyata isinya secarik kertas.

Surat cinta?

Ini surat yang ke berapa setelah dilahirkan menjadi manusia, ya? Aku merasa tidak seganteng Al Ghazali untuk mendapat surat cinta dari perempuan-perempuan penggemar. Tulisannya bagus, seperti menandakan kalau si penulis adalah tipe orang super rapi dan bersih, pintar masak, bisa mengurus rumah ... malah melantur.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarrokatuh.

Untuk kamu yang aku kagumi dari jauh.

Rasa cinta itu fitrah dari Allah untuk setiap hambanya. Begitu pun rasa cinta yang Allah titipkan kepadaku. Aku ingin mengakui, aku menyukaimu sejak lama. Namun, aku tidak mau cinta yang suci itu ternodai karena kamu belum halal bagiku.

Sebenarnya malu rasanya mengungkapkan ini semua. Tapi aku yakin, hatiku akan menjadi lebih lega kalau aku berani menyampaikan perasaan ini.

Kamu yang tak berani kutegur.

Aku sangat senang mengetahui ternyata kita mengikuti kegiatan yang sama. Pendapat-pendapatmu yang diplomatis dalam Lembaga Dakwah Kampus selalu membuatku kagum. Sungguh, itu sebuah kebetulan yang Allah kehendaki. Namun, setelah aku mulai ikut klub memanah dan ternyata  kamu  salah  satu  anggotanya, aku tak sekali pun berani menegurmu.

Kamu yang tak berani kutatap.

Gugup rasanya kalau ada kamu. Kepalaku selalu refleks untuk menunduk. Aku hanya berani memandang punggungmu ketika menarik busur panah. Hanya sampai situ keberanianku. Cukup sekali melihat wajahmu, Aku tidak mau melihat wajahmu untuk ke sekian kalinya, karena aku takut panah jerat setan menghunusku jika aku masih berani melihat wajahmu.

Aku takut menjadi jahat karena ambisiku mendapatkanmu. Aku tau kamu dekat dengan seorang perempuan yang aku kira akan menjadi makmummu. Tapi ternyata Allah memberikan secercah harapan untukku. Makanya aku seberani ini menulis surat untukmu.

Dari seorang yang tak pernah menyapa.

Dina.

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang