70. Berdamai dengan Waktu ✓

21 3 0
                                    

Nura

Merasakan tepukan di bahu, membuatku terlonjak dan hampir berdiri.

“Kok, malah bengong, sih.” Ibu menatapku lewat cermin di depan.

Bukannya menjawab, aku malah terbengong lagi. Sejak kapan muka ini terhias? Wajah pucatku berbalut perona pipi dan sedikit sapuan lipstik di bibir. Jilbab putih panjang menjuntai, senada dengan gamisnya. Kapan aku memakainya?

Apa yang sedang terjadi?

Mataku masih mengerjap-kerjap dan mulut setengah menganga, hidung serasa menyempit lubangnya hingga udara tak mampu masuk. Pernapasanku beralih lewat mulut. Apa aku mau menghadiri undangan? Atau ... atau ....

“Fokus, Ra. Sebentar lagi Panji akan mengucap kabul,” kata Ibu, dia mengusap lembut pundakku.

Kabul?

“Kok, kaget gitu. Biasanya orang, kan, senyum-senyum malu ala pengantin yang nunggu akad lancar.” Ibu heran saat aku memutar kepala dengan raut mempertanyakan yang kentara sekali. Namun, aku lebih dari heran.

Apa maksud Ibu? Siapa pengantinnya? Siapa yang harus senyum-senyum malu, sedangkan semua ucapannya terdengar ambigu.

Suara lelaki dengan pengeras suara terdengar dari lantai bawah, menanyakan kesiapan seseorang, entah siapa orangnya. Dilanjut suara sakral yang terakhir kudengar saat pernikahan Panji dan Mbak Dina, tetapi kali ini diperuntukkan kepada perempuan bernama Nuril Anwar Mardiyah. Itu namaku!

Ketika kata sah menggelegar di ruangan, Ibu menyuruhku berdiri dan sedikit merapikan jilbabku. “Sekarang, Nura sudah jadi istri. Selamat, Sayang.” Dia memeluk tubuhku yang berdiri kaku. Tak ada air mata yang menetes, yang ada hanya kebingungan.

Aku masih belum percaya kalau sekarang sudah menikah lagi. Balutan gamis putih polos ini bahkan tak terasa kapan memakainya. Apa hatiku terlalu gamang? Sehingga kenyataan saja seperti mimpi?

Persekongkolan macam apa ini? Kalau Panji menginginkan aku menjadi istrinya dan Mbak Dina mengizinkan, tapi aku, kan, tidak setuju. Tidak akan berlangsung sebuah pernikahan kalau pihak perempuan menolaknya. Namun, apa ini? Prosesi ijab kabul terjadi. Itu artinya ... aku menerima?

Ah, kepalaku terasa mau pecah.

Lelaki itu menoleh, menungguku yang sedang menuruni tangga bersama Ibu. Genggaman tangan kupererat, agar memberi tahu Ibu bahwa aku ... gugup? Entahlah, aku bingung dengan perasaan sendiri.

Saat sudah berdiri di depan Panji, aku bukan menatapnya, malah mengedarkan pandangan. Di mana Mbak Dina?

Ini sebenarnya sungguhan atau permainan? Tak jauh darinya hanya ada Bunda yang tersenyum begitu hangat. Seakan mengisyaratkan penerimaan penuh atas diriku. Namun, apakah Mbak Dina setuju dengan pernikahan ini? Memang, dia waktu itu merelakan Panji untuk menikahiku, tetapi kenapa kini dia tidak datang?

Tak ada Mbak Herra dan suaminya, Mbak Nara juga tidak hadir. Acara pernikahan ini terasa sepi dan ... hambar.

“Aku bakal nepatin janji aku, Ra.” Panji maju lebih mendekat yang membuatku menatapnya dengan pupil membesar dan jantung berdebar-debar.

Kali ini mataku mengerjap-ngerjap dengan ritme jantung yang sama. Lihat, apa yang terjadi, aku berbaring di lantai beralaskan sajadah dengan masih mengenakan mukena. Terburu duduk lantas mengingat-ingat kejadian dalam mimpi yang membuatku senam jantung pagi-pagi. Lagi dan lagi, aku mengalami mimpi buruk. Benar kata Ibu, aku terlalu banyak pikiran dan berakibat terbawa ke alam mimpi.

Kapan aku bisa berdamai dengan masalah? Aku juga ingin berdamai dengan waktu. Mencari aman dan tidak bersitegang dengan takdir.

Kuhela napas dalam-dalam. Setidaknya napasku harus terus teratur.

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang