Entah mengapa, akhir-akhir ini, jantungku sering berdetak berlebihan, darah berdesir seperti aliran sungai yang bermuara di danau yang sejuk udaranya. Menciptakan sensasi yang berlebihan pula di dalam hati.
Tanpa sengaja melihat sebuah cincin putih di jari manis ini pun, jantungku langsung meletup, sampai membuat kedua pipiku menghangat. Ditambah bunga matahari di sudut ruang itu semakin memanjakan mata dan lukisan yang tak berkurang keindahannya meski sering dipandang.
Dulu, aku menginginkan duduk di meja sudut ruang ini agar bisa leluasa melihat jalanan ditemani bunga di samping bangku. Namun, sekarang, aku lebih suka menghadap tembok berhias lukisan dua tangan mungil menggenggam setangkai mawar merah.
“Mbak.”
Perhatianku pada cincin, bunga matahari, dan lukisan teralihkan pada suara berat seorang lelaki.
“Bukan mau ngusir, kan, Bang?” tanyaku dibuat-buat, sedikit menahan senyum. Mataku melirik lelaki lain di belakangnya. Rayyan Trianjasdinata.
“Usir aja, Bang, kalau enggak mau bayar lebih buat nyewa meja,” kata Ray. Dia menekankan panggilan 'bang' pada Bang Bara.
Aku tahu, itu bentuk protes secara tidak langsung. Ray sebal bila aku memanggil rekan-rekan kerjanya dengan embel-embel panggilan seperti: Kakak, Bang, atau Mas. Sedangkan memanggilnya, hanya nama saja.
“Nunggu yang punya kafe ternyata lebih lama dibanding nunggu janjian sama Panji.”
Tadi aku datang ke sini sendirian. Ray sudah ke kafe pagi-pagi sekali karena mengurus keperluan sekaligus melakukan rapat internal dengan manajer kafe. Kebetulan juga hari ini aku ada janji bertemu dengan Panji.
Ini kali kedua melakukan pertemuan dengan Panji di kafe langganan. Yang pertama sudah beberapa tahun silam ketika kami masih suka mendatangi masjid-masjid seputaran Jakarta. Pertemuan kali ini sebenarnya yang mengajak Panji, tapi orangnya lama datang. Dia memanfaatkan momen akhir pekan dan menjadikan statusku yang masih pengantin baru untuk mentraktir mereka. Namun, tak masalah, untuk menjaga silaturahim. Jadi, aku turuti.
“Mana? Panji aja belum dateng.”
“Tuh.” Panjang umur. Orang baru disebutkan namanya sedang membuka pintu kafe.
Panji tak datang sendiri. Selain bersama keluarga kecilnya, hadir pula Kak Aji dan istrinya. Sebentar lagi juga Ratih, Bang Melky dan pasukan kecilnya datang.
Beberapa menit kemudian, Ratih datang, tapi hanya bersama suaminya.
“Biasa aja mukanya. Kayak bertanya-tanya banget gitu. Anak-anakku lagi diajak kakeknya ke panti asuhannya Eyang Endang,” kata Ratih sambil salaman dan cipika-cipiki denganku.
Hm, dia selalu dengan mudah menebak raut mukaku.
Di satu meja paling ujung, kami saling bercengkerama. Mendengarkan kisah-kisah pertemuan mereka dengan pasangan. Dan aku paling tertarik dengan cerita Kak Aji dengan Kak Jessica. Perempuan yang pertama kali kutemui saat resepsi pernikahan Panji dengan rambut yang masih tergerai. Kini, kepalanya sudah terbalut hijab.
“Khadijah, kamu mau kue kacang buatan Nura?” kata Kak Aji menawari istrinya.
Sengaja, aku menyuguhkan kue kacang.
“Manggilnya Khadijah mulu kamu, ih.” Kak Jessica memprotes.
“Lah, Khadijah, kan, wanita mulia istri Nabi.”
“Iya, tapi kesannya itu aku tua banget dibanding kamu. Kita cuma beda lima tahun, ya.”
“Iya, iya. Mau lebih tua, mau tua banget juga yang penting aku cin-ta,”
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Mencintaimu ✓
EspiritualHanya dengan mencintai Tuhanku. Aku ikhlas menerimamu, ikhlas mencintaimu, dan ikhlas kehilanganmu. Namun bukankah ikhlas itu amatlah sulit untuk diraih? Sesulit menangkap buih di dalam lautan. Begitupun dengan keikhlasan cinta. Karena satu-satunya...