23. Balasan Surat ✓

91 12 0
                                    

"Kita akan dihadapkan dengan keputusan-keputusan yang bisa jadi mengubah hidup kita."

~Panji~

~~~•~~~

Nura

Hampir saja lupa dengan tujuanku datang ke sini. Saking asyiknya bersapa dengan Mbak Jihan, terlupakanlah niat awal. Gara-gara suasana hati sedang tidak terkondisi juga, sih. Bagaimana tidak, masa di hari spesial—setidaknya bagiku karena wisuda Panji—Mas Hasbi tidak bisa ikut. Pekerjaannya tidak bisa ditunda—nanti kliennya tidak jadi nikah—atau dialihkan ke yang lain.

Kening Panji berkerut saat aku menyodorkan  sekotak cokelat.

"Mubazir kalo Nura ngasih buket bunga." Mencoba menjelaskan kebingungannya. "Congrat, ya. Akhirnya, jadi sarjana." Aku tersenyum.

Satu bulan semenjak kepergian Ayah, tidak berlalu begitu saja. Seperti ada yang kurang di hati.  Terasa bunga matahariku tak utuh lagi. Namun, Ayah dulu sering berpesan untuk sabar dan tabah, dan ceria sebagaimana timun emas. Jadi, aku harus tetap banyak tersenyum, meski sedikit terpaksa.

"Buat aku mana, Ra." Aku lantas menengok ke sumber suara. Ternyata Kak Aji.

"Kak Aji wisuda juga?" tanyaku. "Nih, selamat ya udah lulus." Untung cokelatnya bawa dua. Tadinya melihat ada Jiban, aku ingin memberikannya baca anak lucu itu. Namun, biarlah, malu juga tidak memberikan apa pun ke Kak Aji.

Kak Aji mengajak kami berfoto bersama. Tiba-tiba dari pintu masuk gedung, datang segerombol orang menghampiri kami.

"Weish, yang udeh lulus, salut dah. Selamat, ye," kata Bang Jay. Aksen betawinya kental sekali. Aku tahu namanya karena dia juga suka ikut latihan panahan.

Mereka bersalaman dan saling berpelukan ala lelaki untuk memberikan selamat. Bukan hanya laki-laki, ada perempuannya juga. Mungkin itu yang pernah disebut Panji anggota Lembaga Dakwah Kampus. Ada Mbak Dina pula, dia membawa sebuket bunga.

~~~•~~~

Panji

Suasana wisuda semakin semarak dengan kedatangan sohib-sohib dari Lembaga Dakwah Kampus. Mereka pasti berat kehilangan satu anggota semenawan aku.

"Foto-foto enggak ngajak-ngajak antum, ya," kata Malik, salah satu temanku.

"Tenang saudara-saudara. Mari kita foto bersama. Mumpung memori kamera gue masih bisa nampung," seru Aji.

"Eh ... tahan-tahan. Wisuda kaga afdol kalo kaga ade buket bunga. Nah, kebetulan Dina bawa bunga, nih ... buat Bang Panji, apa Aa Aji?" Kali ini Jay berulah.

"Emang nikahan pake buket bunga. Huuuh," celetuk Malik.

Teman yang lain ikut menyoraki Jay, yang disoraki malah nyengir. Selalu ada saja tingkahnya dan itu sukses membuat kami semua tertawa. Hidup harus dibikin happy. Katanya.

Dina tampak tertunduk, pasti dia sangat malu, terlihat salah tingkah. Dia menyodorkan bunga itu padaku, tanpa mengatakan apa pun. Tak pelak, aku yang mendapatkan bunga pun ikut kaget. Jadi ingat sesuatu yang kubaca tadi pagi.

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang