Nura
Tamu macam apa yang tidak ingat waktu seperti ini. Katanya bakal bertandang selepas Isya, sekarang baru bada Magrib malah sudah datang. Aku sudah diteriaki Ibu seperti detik ini juga harus mengungsi dan menyelamatkan barang berharga karena terdampak banjir hanya untuk menjamu tamu. Aih, bagi Ibu yang bagai sang surya, menyinari dunia, urusan menjamu tamu itu bukan perkara hanya, tapi harus.
Untungnya di zaman modern ini, semua hal bisa didapatkan dengan mudah. Mau dijamu daging, tinggal beli. Dikasih minum teh atau susu, tinggal sedu. Tidak perlu menyembelih anak sapi atau memeras susu kambing untuk jamuan seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad. Namun, mungkin kalau keluargaku punya peternakan kambing, teknik itu masih digunakan. Pasti nanti aku yang disuruh Mbak Nara buat memeras susu.
Aku mengambil jilbab berwarna abu-abu dari lemari, warnanya senada dengan gamis yang kukenakan. Kemudian mengganti mukena yang masih terpakai dengannya. Karena ada tamu, makanya harus memakai jilbab lebar.
Pintu kamarku diketuk, itu pasti Ibu. Tapi tumben tidak bersuara.
Selesai memakai jilbab dan kaus kaki, aku langsung membuka pintu. Sedikit kaget, ternyata yang mengetuk pintu Mas Ardan. Kapan dia datang? Kenapa dia yang memanggilku. Bukan kenapa-kenapa, tapi sedikit risi saja bila pria—meski itu ipar karena yang namanya ipar itu bukan mahram—mendekati kamar perempuan.
"Mas Ardan, Kapan dateng? Kirain Ibu yang ngetuk," heranku.
"Ibu lagi sibuk di dapur dibantu Nara. Kamu disuruh cepet ke bawah," kata Mas Ardan. Dia tidak menatapku saat berbicara begitu pun denganku. Kita menyadari kalau tidak boleh terlalu lama berdua seperti ini. Jadi, dia langsung bergegas ke bawah. Dia itu lelaki sopan yang selalu menjaga diri dari wanita, salut aku dengannya.
Tujuanku langsung ke dapur. Semua masakan sudah matang tadi sebelum Magrib. Karena pulang sedikit terlambat dari tempat latihan memanah, aku hanya membantu membuat puding dan kue.
Ibu menata cangkir-cangkir yang sudah berisi teh hangat ke atas baki.
"Nura harus bantu apa, Bu?" tanyaku.
"Bantu mandorin," celetuk Mbak Nara yang sedang menata kue di piring. Aish, dia selalu galak.
"Nih, Nura suguhin tehnya, ya, ke ruang tamu. Enggak enak, takut keburu haus," perintah Ibu. Dia menyodorkan baki teh kepadaku.
Sepintas aku melihat tamu-tamu Ayah. Namun, harus tetap fokus pada baki yang kubawa. Salah melangkah, bisa-bisa tumpah tehnya.
Aku kira tamu Ayah teman-teman sebayanya. Ternyata tamunya berbeda-beda usia. Satu wanita yang aku perkirakan berusia 70 tahun-an, lelaki dan wanita yang sepertinya suami istri karena duduknya berdekatan, terlihat usianya lebih muda dari Ayah, mungkin seusia Ibu. Lalu ada satu lelaki muda yang aku perkirakan usianya tidak berbeda jauh dengan Panji.
Aku meletakkan cangkir ke atas meja sambil menunduk, malu diperhatikan tamu-tamu itu. Sejak mereka melihat aku membawa baki pun, perhatian mereka sudah tertuju padaku.
"Ini Nura. Anak bungsu saya," ujar Ayah. Sepertinya Ayah basa-basi memperkenalkanku kepada tamunya.
Aku tersenyum ramah, tapi senyumku pasti terlihat aneh. Jelaslah. Aku canggung. Termasuk anak rumahan yang jarang bersosialisasi, kini diperhatikan sana sini. Tak mau berlama-lama, aku langsung pamit ke belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Mencintaimu ✓
SpiritualHanya dengan mencintai Tuhanku. Aku ikhlas menerimamu, ikhlas mencintaimu, dan ikhlas kehilanganmu. Namun bukankah ikhlas itu amatlah sulit untuk diraih? Sesulit menangkap buih di dalam lautan. Begitupun dengan keikhlasan cinta. Karena satu-satunya...