10. Sebuah Simbol Keceriaan ✓

114 14 0
                                    

Nura

Selepas salat Subuh, Ayah mengajakku berolahraga dengan lari seputar kompleks. Di jam-jam segini jalanan masih sepi. Juga pastinya udara masih bersih dan segar karena belum banyak kendaraan bermotor yang berlalu lalang. Udara seperti inilah yang bagus untuk paru-paru, terutama untuk Ayah.

Selagi menungguku menali sepatu, Ayah berlari-lari di tempat di halaman depan sambil mengatur pernapasannya.

Ini pertama kalinya aku berolahraga memakai rok dan kerudung lebar. Namun, tidak perlu khawatir, sebab olahraganya hanya joging. Jadi, tidak perlu takut roknya akan membuat ribet. Palingan juga, di pertengahan nanti, jogingnya berubah menjadi jalan santai.

Sebelum kedua kakakku menikah, kita sering joging bersama. Seringnya aku, Mbak Nara dan Ayah yang lari-lari mengitari jalanan kompleks. Sedangkan Mbak Herra membantu Ibu memasak untuk sarapan. Sekarang mereka sudah memiliki rumah dan kehidupan masing-masing. Aku sering merindukan saat-saat bersama mereka. Hm, kambuh, deh, melownya.

Baru sekitar dua kilo meter kita menapaki aspal pekat itu, tapi Ayah sudah terlihat kelelahan. Akhirnya, kami memutuskan untuk berjalan santai. Benar, kan, dugaanku.

Udara semakin menghangat ketika matahari menampakkan diri. Kita melewati lapangan yang biasa dipakai bermain bola saat sore oleh anak-anak dan dipakai senam di hari Minggu oleh ibu-ibu kompleks. Lapangan yang dulu biasa aku dan Panji pakai untuk latihan bermain bulu tangkis, bersepeda dan olahraga lainnya. Yang entah mengapa, sampai sekarang belum membuahkan hasil.

Langkah Ayah memelan. "Kira-kira Ayah bisa gendong cucu-cucu Ayah enggak, ya?"

Aku mengikuti arah pandangan Ayah. Di sana ada seorang anak perempuan yang cantik sedang lari mengejar kucing. Diperkirakan anak itu baru bisa berjalan. Cara berjalannya belum seimbang. Masih terlihat sempoyongan.

"Bisa lah, Yah ... Ayah bisa gendong Nafi', nanti juga bisa gendong anak Mbak Nara juga," timpalku. Aku tidak tahu arah pembicaraan Ayah akan ke mana. Biasa, menebak-nebak itu bukan keahlianku.

"Terus anak kamu? Umur itu kita enggak tahu, Ra. Ayah udah tua, enggak tau masih bisa nyaksiin anak kamu apa enggak," ujar Ayah. Auranya santai sesantai penampilannya, tapi terdengar dalam. "Kamu belum minat nikah?" tanyanya.

"Belum ada laki-laki yang datengin Ayah, 'kan?"

"Kalo nanti ada yang dateng gimana?" Dia balik bertanya. Kutimpali dengan mengedikkan bahu.

"Kalo misalkan Panji melamar kamu gimana?"

Aku menautkan alis. Kenapa Ayah berkata seakan Panji benar-benar akan melamarku. Pasti itu efek pembicaraan tak bermutu tadi malam.

"Emang Panji mau ngelamar Nura, Yah?" pancingku.

Gantian Ayah yang mengedikkan bahu. "Kan misalkan.”

Aku tidak suka kata 'misalkan', karena itu sebuah ketidakpastian. Lebih baik yang pasti-pasti saja.

Sampai di rumah, Ayah mengambil duduk di kursi halaman. Ternyata Ibu sudah menyediakan satu piring pisang rebus dan koran pagi. Sudah kebiasaan setiap kami pulang joging. Paling sebentar lagi Ibu akan membawakan teh jahe hangat.

"Kok tumben agak lama pulangnya?" tanya Ibu membawakan minuman. Setelah tadi menengok ke luar untuk memastikan aku dan Ayah sudah pulang.

"Tadi kita santai jogingnya, Bu. Enggak balapan lagi. Ayah kalah sekarang kalo balapan lari sama Nura," jawabku.

Aku sendiri duduk di kursi kecil yang masih setia menemaniku dari zaman taman kanak-kanak. Kursi ini sengaja diletakkan di dekat bunga matahari. Aku suka menikmati sinar pagi dikelilingi bunga-bunga matahari. Berasa berjemur santai sama teman, tapi anti pencemaran suara. Hening dan damai.

"Baru sekali aja bangga. Kemarin-kemarin juga Nura mulu yang kalah dari Ayah," protes Ayah.

Aku nyengir kuda. Kan, ketahuan lagi payahnya seorang Nura.

"Aduh Ibu lupa. Ibu lagi ngisi air di bak mandi." Ibu buru-buru masuk rumah.

Ayah menghampiriku. Dia memetik daun matahari yang sudah kering.

"Ayah, sih ... kayanya Ayah salah kasih julukan, deh, ke Nura. Kenapa timun emas. Kan ucapan Ayah jadi doa. Coba lihat, Ayah kasih julukan Mbak Herra 'Srikandi'. Terus julukan itu terwujud. Pas sekolah Mbak Herra jadi atlet panahan. Prestasinya sampai nasional. Di rumah medalinya banyak banget. Hebat banget, 'kan?" Aku ikut memetiki daun kering.

"Terus Ayah kasih julukan Mbak Nara 'Dewi Sri'. Akhirnya terwujud juga. Mbak Nara kuliah ngambil jurusan pertanian. Tuh lihat satu halaman dikuasai Mbak Nara buat nanem sayuran hidroponik sama tabulampot."

Mbak Nara diberi julukan "Dewi Sri" yang artinya Dewi  padi. Sejak kuliah, Mbak Nara mempraktikkan ilmunya di halaman rumah sendiri. Pernah kami cekcok karena sudah tidak ada lahan lagi untuk menanam eksperimen buah kloningnya dan dia mau merampas lahan bunga matahari yang sudah aku klaim sejak kecil. Tentu saja aku tidak mau menyerahkannya semudah itu.

Berbeda dengan kedua kakakku yang menamatkan pendidikannya hingga sarjana, aku hanya lulus SMA. Bukan karena malas atau tidak diterima di universitas, tapi aku tidak mau membebani Ayah untuk membiayai kuliahku. Untuk biaya kuliah Mbak Nara saja, Ayah sering bekerja terlalu keras. Bahkan, bisa sehari semalam beliau di butik untuk menjahit. Belum lagi dia mulai sakit-sakitan. Mobilnya sampai dijual untuk biaya berobat.

Kedua kakakku juga menyuruh kuliah, untuk biayanya mereka yang akan menanggung, tapi aku menolak. Ah, pokoknya, aku tidak mau merepotkan siapa pun.

Lagi pula, aku sendiri bingung mau mengambil jurusan apa jika kuliah. Masih bingung juga punya minat bakat apa. Pokoknya aku tidak pernah kepikiran untuk kuliah.

"Lah, kalo timun emas apa coba maknanya. Nura enggak pinter olahraga. Enggak pinter pertanian. Cuma bisanya nanem bunga matahari doang." Aku masih membeo.

"Timun emas juga ada arti dan fungsinya, Ra," kata Ayah.

"Iya fungsinya timun emas itu dipotong-potong, terus dikasih cuka. Jadi acar, deh," ucapku meracau. Aku tertawa. Panji sering mengejekku seperti itu.

Ayah ikut tertawa. Dia duduk di kursi kecilku. Aku jongkok untuk memunguti daun-daun yang jatuh.

"Timun emas itu bentuk kesederhanaan. Kamu tahu cerita timun emas? Dia hidup dengan keterbatasan dan kesederhanaan dengan nenek yang mengasuhnya. Begitu juga kamu, kamu akan sabar dengan keterbatasan dan kesederhanaan hidup. Orang yang berhasil itu bukan hanya urusan prestasi dan urusan dunia saja, tapi hati yang lapang. Yang selalu mengingat akhirat."

Apakah aku pernah mengingat akhirat? Sepertinya belum banyak menabung amal. Atau malah belum mulai. Astagfirullah.

Dia terbatuk, "Timun emas juga simbol keceriaan. Coba lihat bunga matahari ini. Warnanya kuning. Sama kaya timun emas, 'kan?" tanya Ayah. Aku mengangguk.

"Begitulah simbol timun emas yang Ayah lihat dari kamu, keceriaan kamu terpancar seperti bunga ini ketika terkena sinar matahari pagi."

Kuamini setiap perkataan Ayah, harus selalu berprasangka baik pada diri sendiri. Mungkin saja aku punya keahlian memancing. Lain waktu kucoba. Aku akan meminta panji mengajariku memancing.

~~~•~~~



Jangan lupa tekan tombol bintangnya. :)

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang