51. Ikhlaskah? ✓

60 5 0
                                    


Nura

Mataku mengerjap. Aku meringis memegangi kepalaku yang terasa pening. Sekilas senyumku mengembang menyadari keberadaanku, tepat di ranjang kamar. Aku pasti baru saja tertidur sehabis pulang dari resepsi pernikahan Panji. Kemudian lupa membaca doa sebelum tidur, sehingga menjadikanku mengalami mimpi buruk.

Kudapati Ibu sedang duduk di tepi ranjang dan menatapku. Sejak kapan Ibu datang ke rumah? Dia masih memakai pakaian yang sama seperti saat menghadiri resepsi pernikahan Panji.

"Ibu," Aku memeluknya, "Nura tadi mimpi buruk, Bu." Aku tidak mau menceritakan apa isi dalam mimpiku. Karena katanya, mimpi buruk tidak perlu diceritakan kepada orang lain. Takutnya mimpi itu datang dari setan bukan dari Allah.

Aku merasakan bahuku basah. Apakah Ibu menangis? Aku melepaskan pelukan. "Kenapa Ibu nangis?" tanyaku.

Aneh? Tentu saja. Sikap Ibu sama seperti Eyang di dalam mimpi yang memelukku sambil menangis dan mengatakan bahwa Mas Hasbi sudah meninggal. Bukankah itu konyol. Jelas-jelas Mas Hasbi sedang dalam perjalanan ke Jogja dan mungkin sekarang ia sudah sampai, mengingat ini sudah pukul tiga sore.

"Kita ke Jogja sekarang, ya, Ra," ujarnya sendu.

"Mau apa, Bu? Kita mau nyusul Mas Hasbi, ya?" tanyaku. "Ayo, Nura punya kejutan buat Mas Hasbi. Nura juga mau nagih kejutan dari dia." Sungguh aku merasa senang saat Ibu mengajakku ke Jogja. Sebenarnya, sedikit merasa bingung dengan ajakan yang kesannya dadakan ini, tapi biarlah, yang penting aku bisa segera bertemu pria penuh kejutan itu.

Pandangan kami beralih ke pintu yang terbuka. Ratih muncul dari balik pintu. "Udah siap semua, Tih?" tanya Ibu kepadanya.

"Udah, Bu," jawabnya.

Ibu membantu bangun dan menuntunku untuk berjalan. Apa-apaan Ibu, aku seperti pasien pesakitan saja jalannya harus dituntun, padahal aku hanya merasa sakit kepala setelah mendapat mimpi buruk.

Di ruang tamu sudah berkumpul Eyang, Tante Yuli, Ayunda dan Om Adam. Tadi kata Ibu kami akan ke Jogja menggunakan pesawat agar cepat sampai, padahal aku ingin naik kereta, ular besi itu membuatku kecanduan, meski harus menahan sakit pinggang disebabkan terlalu lama duduk.

Aku mendapati Eyang yang terlihat lesu. "Eyang badannya masih pegel-pegel?" tanyaku. Teringat Eyang tadi pagi yang mengeluhkan kurang enak badan. Aku bergidik membayangkan ia harus melakukan perjalanan Jakarta-Yogyakarta dalam kondisi badan yang kurang fit. Aku saja meski dalam kondisi prima, merasakan letih dan pegal badan akibat terlalu lama di kereta.

"Enggak, Sayang. Sakitnya udah hilang." Eyang membelai pipiku. Terlihat sekali Eyang menahan tangis. Pertanyaanku membuatnya sesedih itukah? Mata Eyang pun terlihat sembab, entah apa penyebabnya.

"Ratih ikut Nura ke Jogja, kan?" tanyaku pada Ratih. Mungkin ini bisa menjadi momen untuk kami menyusuri Jogja setelah dulu waktu SMP tak bisa ke sana bersama.

"Enggak, ah. Kamu aja," jawabnya.

"Ayo ikut aja. Kita nanti naik bianglala. Kita bisa lihat sunset dari atas. Seru, deh, pokoknya" bujukku. Dia akan terpukau dengan keindahan sunset dari atas bianglala, apalagi gadis penyuka hitam itu penikmat senja sejati.

"Udah buruan naik. Nanti kamu malah ditinggal kalo kebanyakan ngomong," ujarnya.

"Ya udah. Dah, Ratih." Aku melambaikan tangan setelah masuk mobil dan mengucapkan salam.

Akhirnya aku kembali lagi ke Jogja. Ucapan Mas Hasbi benar, kalau kami akan datang lagi ke Jogja dalam waktu dekat. Aku sudah tidak sabar dengan kejutan dari suamiku itu. Tunggu aku, pria tak tertebak.

~~~•~~~

Satu benda yang menjadi pusat perhatianku saat kami sampai di rumah Bude Endah, bendera kuning. Rumahnya ramai dengan orang yang memakai baju koko sambil memegang buku kecil. Terdengar lantunan ayat suci dari dalam. Hatiku bergetar, udara seakan menjauh dan aku hampir kehabisan napas. Aku berjalan lemas memasuki rumah digandeng Ibu. Air mata Ibu sedari tadi terus mengalir di pipi. Namun, langsung ia seka saat aku melihatnya.

Tubuhku merasakan kaku luar biasa. Kakiku seakan menancap di tanah tepat di ambang pintu. Tubuh itu terbujur kaku. Wajahnya pucat dan bibirnya biru. Pelipisnya robek tak berbalut plester. Ya Allah, apakah ini kejutan yang ia katakan saat di telepon? Dia berhasil membuatku terkejut. Sungguh, aku benar-benar terkejut.

Eyang duduk di sisinya. Ia tidak bangun dan mencium tangan Eyang seperti biasanya. Ia tetap berbaring dengan mata tertutup. Eyang menangis sambil membelai kepala priaku itu.

"Ya Allah ... Hasbi!" seru Eyang menyayat hati siapa pun yang mendengarnya.

"Ibu, kenapa Mas Hasbi enggak bangun? Kita, kan, udah dateng ke sini," ujarku dengan sisa tenaga yang hampir habis.

Ibu tak menjawab, ia menuntunku untuk mendekat. Aku duduk tepat menghadap tubuh jangkungnya. Air mataku menetes tanpa isak tangis.

"Bercandanya enggak lucu, Mas. Nura enggak suka sama kejutannya." Suaraku bergetar, tanganku tak kalah gemetar saat akan meraih wajahnya. "Nura kira semuanya cuma mimpi, Mas."

"Mimpi Nura bahkan sampai bikin Nura nyeri kepala, tapi kenapa kenyataan ternyata semenyakitkan ini?" sambungku lirih.

"Jenazahnya harus segera dikebumikan sebelum malam, Bu," ujar seorang pria yang entah seperti apa wajahnya karena aku tidak berminat melihatnya. Mataku masih fokus menatap matanya yang tetap tak mau terbuka. Dia tidur dalam damai seperti Ayah beberapa bulan lalu. Aku seperti merasakan dejavu, menyaksikan orang yang kusayangi terbujur kaku dengan wajah memucat. Aku merasa terperangkap di alam mimpi tanpa tahu jalan keluarnya.

"Sekarang aja, Pak," titah Bude Endah. Aku mengenali suaranya, serak, hampir mirip dengan suara Eyang.

Beberapa orang memasang kain putih menutupi wajah Mas Hasbi tanpa menghiraukan keberadaanku sebagai istrinya. Berani-beraninya mereka menghalangi pandanganku pada wajah teduhnya yang mampu menenangkan hati. Lalu kenapa priaku itu pun bergeming dan tak melawan saat tubuhnya dijamah tanpa sopan santun? Apa dia tidak merasa risi. Aku tak percaya dengan apa yang ada di hadapanku. Secepat inikah ia meninggalkanku? Satu bulir air kembali turun dari mataku.

Apakah aku sudah tidak bisa lagi menatap wajah teduhnya? Dadaku kembali sesak. Di saat seperti ini tubuhku malah kembali mematung. Aku seakan tak berdaya untuk melawan serta menolak para lelaki itu untuk tidak menyentuh suamiku.

Bude Endah merangkul Eyang. Menenangkannya agar ikhlas melepas kepergian cucunya. Namun, bagaimana denganku? Akankah aku bisa ikhlas menerima kepergiannya untuk selamanya? Bukankah ikhlas itu sulit diraih? Sesulit menangkap buih di lautan luas. Apakah aku sanggup mengembangkan senyum sedangkan hatiku seakan mati rasa?

~~~•~~~

 


Huaaaaaaaaaaa 😭😭 aku nyesek sendiri.
Aku jadi nggak tega bikin Hasbi meninggal.

Jangan lupa vote dan komen ya. Bijak meninggalkan jejak.

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang