Thabina lagi lagi menggelangkan kepalanya. "Lo pikir orang itu adalah Arka. Lo salah!"
Gema mengangkat wajahnya, "Orang itu emang Arka, Arka yang ngebuat gue ada di posisi ini!"
"Lo pikir siapa yang ngebuat Arka ngelakuin itu, lo pikir siapa yang ada di belakang Arka dan minta cowok itu buat ngelakuin semua hal yang baik sama lo. Lo pikir siapa?"
Keheningan tercipta, hanya sebentar sebelum suara seseorang membuat Gema semakim terpaku pada kenyataan.
"Dia Bertha, She's my Shasa."
Mereka menolah ke arah pintu masuk ruangan, menatap pria yang mengenakan dengan sweather warna hitam polos.
Arka, laki laki tersebut berjalan pelan sampai langkahnya berhenti tepat di depan Gema. Arka menatap sinis, matanya menatap datar, tidak ada senyuman. Semuanya sirna. Siapapun yang membenci Shasa-nya ia pun akan ikut membenci orang itu. Tak peduli dia keluarganya, sahabatnya atau siapapun itu. Tidak ada yang boleh menyakiti Bertha, termasuk dirinya sendiri.
"Lo pikir buat apa gue ngelakuin hal hal yang sia sia buat orang yang berarti sama sekali buat gue?"
"Kenapa?" Hanya itu yang keluar dari bibir Gema. Gema menatap Arka dengan pandangan tidak mengerti.
"Udah cukup dramanya. Udah cukup gue harus pura pura baik baik aja, saat lo ngejelekin orang yang gue sayang. Udah cukup gue harus masang senyum, saat lo nunjukin rasa benci lo sama Bertha di depan gue. Udah cukup semuanya. Sekarang nggak ada lagi Arka yang lo kenal, enggak akan ada lagi persahabatan di antara kita. Cukup semua drama yang kalian buat di depan, karena kali ini gue nggak akan percaya sama siapapun, kecuali Bertha." Arka menjeda kalimatnya, matanya menatap Rayyan dan Gema bergilir. Lantas menatap Arah lain.
"Udah cukup persahabatan toxic di antara kita. Gue muak!"
"Lo➖"
Arka mengangguk bahkan saat Rayyan belum melengkapi kalimatnya. "Gue muak. Gue muak sama lo Ray, gue muak saat lo ngehalalin segara cara buat bisa jadi nomer satu. Bahkan sampai ngehancurin hati Bertha, orang yang gue sayang. Orang yang paling gue jaga hatinya, tapi lo dengan entengnya ngehancurin hati yang berthaun tahun gue jaga."
"Gue benci sama Lo Gemilang. Saat dengan susah payah gue ngabulin permintaan Bertha buat ngebuat lo lebih kuat. Tapi lo ngehancurin ekspetasi gue. Lo ngehancurin kepercayaan gue. Saat lo ngebenci orang yang membujuk gue buat bantu lo sampai ada di titik ini, lo benci dia cuman karna dia nolak lo dulu. Lo tahu kenapa Bertha nolak lo dulu?" Arka menatap Gema yang juga tengah menatapnya, namun dengan kebisuan. "Itu karena Bertha ingin lo bangkit, Bertha ingin lo ada di posisi ini ngejadiin patokan buat lo menjadi kuat. And see, rencananya ngebuat lo benci sama dia ngebuahin hasil. Nggak ada lagi gemilang cowok kutu buku yang lemah, sekarang hanya Gema, cowok yang kuat namun tempramental."
Arka menghela napas, menatap dari atas sampai bawah penampilan Gema yang sekarang. "Namun menurut gue lo tetep jadi gemintang yang lemah, namun bedanya lo jadi Gema dengan posisi yang lebih buruk dari pada Gemilang. Gema yang sekarang sangat buruk, saking buruknya untuk ngucapin terima kasih sama orang telah merubahnnya dia nggak bisa. Malah dia malah nunjukin kebencian sampai ada niat buat ngejatuhin orang yang ngebuat dia ada di posisi ini! Pengecut bukan?"
Arka melangkah mendekati Bertha yang masih setia menatap ke arah jendela. Menyentuh punggungnya, namun lagi lagi tak ada respon yang berarti darinya. Bertha hanya diam.
"Gue benci sama Vega. Tapi lebih benci lagi sama Althea. Lo sama, sama Vega, Gema. Gak tahu terima kasih! Sedangkan Althea. Gue benci karena kehadiran gadis itu, Shasa jadi kesulitan. Shasa udah ngusahain segala hal buat bikin dia pergi dan nyelematin dirinya sendiri. Tapi pada dasarnya Althea keras kepala, dia nggak ngedengetin Shasa dan semuanya menjadi semakin rumit."
"Kita nggak bisa ngelakuin apa apa. Karena Althea harus menjadi sasaran balas dendam, dari orang yang tersakiti dari masa lalu yang datang sekarang. Dan nikmati permainan-nya!" kata Arka dengan senyum miring yang menghiasi wajahnya.
🌻🌻🌻
Tanpa disadari mereka semua. Bertha menoleh, bahkan mendengar pertengkaran mereka.
Dan semuanya bermula dari dirinya. Ketidak bergunaan yang dimilikinya membuat semua orang tersakiti. Mata nya berkaca dengan pandangan yang masih terpusat ke depan.
Bahkan di saat titik terendah sekalipun, keluarganya tak pernah ada yang mendatanginya. Bahkan hanya untuk sekedar menjenguknya, mereka tak melakukan itu.
Nyatanya seberapa banyak usaha yang dia keluarkan untuk membantu orang lain, menyelamatkan kehidupan mereka, nyatanya dia sendiri yang selalu dianggap salah. Mereka tetap memandangnya sebelah mata. Seperti kebaikan tidak pernah hadir dalam hidup Bertha, begitu pula sebuah kepercayaan.
🌻🌻🌻
Althea mengerjap ngerjapkan matanya dengan pelan. Mempokuskan kekaaburan di matanya. Althea terdiam sebentar sebelum menyadari satu hal, tangan dan kakinya terikat. Pandangannya mengedar namun yang ia temukan hanya, jalanan yang lumayan sepi, dengan pingkiran yang penuh dengan bunga matahari. Dan tempat dirinya bersandar saat ini adalah, sebuah pohon yang sangat besar. Yang menbuat tidak ada yang dapat melihatnya karena tertutupi dahan.
Althea dapat menyimpulkan satu hal, Althea berada di luar ruangan.
Tiba tiba ingatan tentang yang terjadi semalam membuatnya tubuhnya bergetar kuat, saat Althea izin ke kamar mandi seseorang membungkam mulutnya dengan sapu tangan dari belakang. Namun bukan itu yang membuatnya ketakutan, tapi kalimat yang orang itu ucapkan saat rasa pusing mendera sebelum akhirnya pingsang. Orang itu berkata; "Mari akhiri permainan ini, saatnya beristirahat."
KAMU SEDANG MEMBACA
GENESIS [ Completed ]
Ficção AdolescenteDia tidak pernah meminta untuk di lahirkan, jika untuk di benci. Dia tidak pernah meminta untuk di berikan napas, jika hadirnya adalah sebuah kesalahan. Dia tidak pernah meminta untuk bisa menapaki bumi, jika hadirnya adalah bentuk sebuah kehancuran...