36 | Bertha?

929 85 0
                                    

Terkadang keluarga terbaik adalah mereka yang dipersatukan Tuhan  menggunakan potongan potongan hati tak terduga.

~o0o~

T

habina mendengus kesal saat tak menemukan Bertha di mana mana. Tangannya terkepal kuat. Sialan.

Bertha mengambil ponsel di saku rok sekolah yang dia kenalkan. Mengetik sesuatu di sana sebelum menempelkan ponsel dmtersebut di telinga.

"Iya bi."

"Lo lagi sama Bertha gak, El?"

"Gue nggak ke sekolah hari ini Bi. Gue juga belum ketemu dia."

"Bertha gak ada. Gue udah cari cari bahkan kerumahnya, tapi nggak ada siapa siapa!"

"Lo serius?"

"Apa gue pernah gak serius. Gue udah telepon Pamela, Vino, Bara, Arka bahkan Audi. Tapi mereka bilang nggak lagi sama Bertha. Perasaan gue gak enak El!"

"Kita cari sekarang!"

Sambungan telepon dimatikan sepihak oleh Axel. Thabina menggenggam ponselnya erat. Thabina menatap jalan macet ibukota dengan pandangan cemas. 'Sekarang gue harus kemana?' katanya dalam hati.

🌻🌻🌻

Bertha membuka mata. Rasanya kepalanya pening bukan kepalang. Bertha hendak mengusap belakang kepalanya yang terasa ngilu, tapi tak bisa saat menyadati kedua tangannya diikat. Seketika bola matanya mengedar, saat sadar bahwa tempat ini asing dalam benaknya.

Bertha mengeraskan rahangnya kuat. Sialan. Dia kecolongan.

Bertha menajamkan indra pendengarannya saat mendengan draff langkah kaki yang semakin mendekat. Bertha menatap dingin seseorang yang kini menatapnya sambil menyeringai. Bertha menatap tajam orang dengan pakaian serba hitam tersebut.

"Wah wah wah... Princess udah bangun ternyata!"

Pandangannya teralih saat pada seorang gadis yang baru menampakan kakinya di dalam ruangan penuh debu tersebut. Gadis remaja yang sangat Bertha kenal seringainya. Jessika.

"Gak usah basa basi lepasin gue!"

Dengan congkaknya, Jessika menggeleng. Tangannya bersedekap angkuh, dengan dagu terangkat.

Bertha menggeram saat tak ada jawaban. "Mau lo apa?"

Jessika berjongkok di depan tubuh Bertha yang duduk di kursi dengan tangan dada kaki terikat. Tangan kanannya mencengkran dagu Bertha kuat. Giginya bergelutuh dengan tatapan kebencian yang begitu kentara. "Mau gue, lo menderita"

Jessika menggulung lengan baju Bertha dengan santai. Bertha menggerak gerakan tangan membuat Jessika menampar pipinya menuruhnya untuk diam.

"Lo tahu gue benci sama lo!" tekan Jessika mulai melukis tang Bertha dengan pisau kecil kesayangannya. Bertha hendak memberontak namun apalah daya saat Jessika menyuruh anak buahnya untuk menahan bahu Bertha.

"Gue tahu!" jawab Bertha saat jessika menulis kata Hate di lengan kanannya dengan lihai.

"Lo ngehancurin kebahagiaan gue!"

"Itu salah lo sendiri. Kenapa nggak bisa ngejaga sumber kebahagiaan lo!"

Jessika berdecih. "Karena lo Kak Elvan mati. Dan lo harus membayar mahal rasa sakit gue!"

"Gue nggak pernah ngebunuh siapapun!"

"Lo emang pembunuh."

"Gue bukan pembunuh!"

"Lo ngebunuh kakak lo!"

Bertha menatap Jessika dengan tajam. Rasa sakit yang diukur oleh Jessika ditangannya mendadak sirna. "Gue➖"

"Lo ngebunuh Nathan!"

Bertha menggeleng.

"Lo pembunuh mental seseorang! Lo pembunuh Linggar! Lo pembunuh Nathan! Lo pembunuh kak Elvan! Lo pembunuh pembunuh, pembun➖"

Srettt.

Bertha menggeram marah. Kedua tangannya di herakan dengan kuat, walau ikatannya tak terlepas. Pisau milik Jessika yang masih berada di  tangan kanan  Bertha menembus kulit, saat Bertha menggetakannya tangannya dengan kuat. Membuat pisau itu menghunus kulit tangan lumayan dalam.

"Gue bukan pembunuh! Sama sekali bukan!"

Jessika menyeringai menatap Bertha yang lepas kendali.

"Lo pembunuh! Dan pembunuh harus di bunuh kan?"

🌻🌻🌻

"Gimana lo udah nemuin Bertha bi?"

Thabina menghela napas lelah, lantas menggeleng.

Axel menunduk. "Ini udah hari ketiga, tapi dia gak muncul. Sebenarnya Bertha kemana?"

"Perasaan gue gak enak El! Bertha bukan pergi, tapi hilang. Bertha gak akan pernah pergi lama lama, tapi ini udah lewat tiga hari. Dan dia belum muncul."

Axel mengangguk. Lantai memegang bahu Thabina. "Sekarang lo pulang besok kita cari lagi."

Dengan terpaksa Thabina mengangguk.

🌻🌻🌻

Kenapa?

Althea menangis sambil memeluk sebuah bingkai poto yang telah disimpang lama dan di jaga dengan baik olehnya. Airmatanya mulai mengalir. Sakit.

Rayyan gak akan pernah suka sama lo Al, dia cuman suka sama Bertha! Cinta pertamanya.

Semuanya nampak berputar bak kaset rusak. Diamnya, perhatian, senyum tipisnya. Althea kira Rayyan juga mencintainya. Makanya Althea hanya terdiam, tanpa mengungkapkan. Sebabnya rasa terbalas jauh lebih penting dari srbuah status untuknya. Althea kira karena sama sama suka, tidak ada lagi istilah mengungkapkan perasaan. Saling ada satu sama lain itu jauh lebih cukup. Namun Althea salah. Rayyan hanya menganggapnya sekedar sahabat.

Sahabat.

Seharusnya Althea sadar dari awal tak seharusnya ada cinta diantara mereka. Tapi Althea tdak sepenuhnya salah bukan, Althea tidak mampu melambuhkan hatinya kepada siapa, itu jatuh dengan sendirinya. Bukan karena paksaan tapi karrna sebuah desiraan dan rasa nyaman saat didekatnya.

Althea menyadari satu hal. Cinta pertamanya tak sempurna.

GENESIS [ Completed ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang