Seandainya membisu adalah jalan terbaik. Maka biarkanlah pembuktian yang berbicara.
~o0o~
"Jadi kemarin lo sama Bertha bukan di Bali?"
Thabina mengangguk, pandangannya kembali tertuju pada handphone yang menyala.
"Kenapa lo gak bilang,"
Thabina memasukan ponselnya ke saku jaket yang dia pakai. Matanya menyapu sekitar sebelum badannya Thabina rebahkan menghadap langit langit kamar.
"Gak semua hal, harus lo tahu kan?" kata Thabina tanpa mengalihkan pandangannya dari langit langit kamar milik Pamela.
"Tapi seengganya, kalian bilang sama gue. Gue kan juga mau ikut liburan sama kalian."
"Kita gak liburan Mel."
Pamela mendengus kesal, sebelum akhirnya ikut membaringkan tubuhnya di samping tubuh Thabina. Pandangan ikut mengarah ke atas, menerawang kejadian demu kejadian yang mereka alami, kebersamaan yang mungkin masih sedikit ada kebohongan.
"Sebenarnya apa yang kalian sembunyiin dari gue."
Thabina terdiam untuk beberapa saat, sebelum akhirnya memiringkan posisinya membelakangi Pamela. "Gue gak nyembunyiin apa apa."
"Bertha."
Thabina terdiam, membiarkan Pamela bersuara.
"Lo mungkin gak nyembunyiin apa apa dari gue. Tapi Bertha, tolong kalau ada hal yang lo tahu kasih tahu gue. Kasih tahu gue biar gue ngerti apa yang Bertha rasain di hidupnya."
"Kayaknya gue gak berhak ngasih tahu kehidupan orang lain tanpa seizinnya, Mel."
"Lo nganggep gue sahabatkan. Gue tahu, gue kenal Bertha gak selama lo. Mungkin terhitung dari dua tahunan ini. Tapi tolong gue perlu tahu."
Thabina berbalik menghadap Pamela. "Terkadang banyak hal yang lebih baik gak lo ketahui, daripada tahu tapi gak bisa ngelakuin apa apa sama kayak gue, itu terlihat seperti gue gak berguna jadi sahabat."
🌻🌻🌻
Althea menatap hamparan danau yang nampak berwarna hijau. Entah apa yang membuat Althea berdiam diri di tempat ini, karena yang pasti Althea benar benar membutuhkan sebuah ketenangan. Ketenangan untuk hatinya, jiwa dan raga.
Semua yang di lewati sampai saat ini seperti sebuah potongan puzzle yang mulai bermunculan. Althea tidak mengerti, kertas langit malam yang ia kira hanya kertas biasa nampaknya selalu muncul di hadapannya akhir akhir ini. Entah apa yang terjadi namun yang pasti, sesuatu yang salah terjadi di sini.
Althea sama sekali tidak tahu dimana letak kesalahan yang mungkin sempat membuat orang lain sakit hati karenanya. Karena setahu Althea, Althea tidak pernanh membuat masalah, apa lagi dengar orang orang yang memang di kiranya untuk di hindari.
Semuanya mengalir seperti air. Surat langit malam yang terus menghampiri tanpa tahu siapa pengirimnya. Bunga mawar hitam yang selalu menghampirinya pun, entah milik siapa. Tapi setelah semua yang Vega beberkan tentang Bertha, apakah mungkin dia pelakunya.
Semua terror itu dimulai dari pertama kali ia masuk sekolah, Bertha nampak memperingatinya dari awal. Namun lagi lagi yang membuatnya tak mengerti adalah, memangnya ada apa? Karena pertanyaan itulah dia bertahan. Althea kira Bertha hanyalah melakukan sesuatu yang iseng terhadapnya, namun ternyata semuanya berlanjut sampai sekarang.
Althea ingin menceritakan permasalahan ini kepada teman temanya, tapi lagi lagi otaknya mengingatkan untuk mencari tahu kebenarannya, setidaknya siapa yang selama ini memberikan kertas yang menjadi amat memuakan untuknya.
Setelah dirasa bosan, Althea bangkit mulai meninggalkan danau dekat sekolah dengan langkah pelan. Pakaian pun belum Althea ganti karena terlarut dalam pemikiran hingga lupa waktu.
Sampai di jalan yang sepi, Althea mulai menyebrang. Namun lagi lagi sesuatu tak terduga kembali terjadi, dimana mobil sedan berwarna hitam melaju cepat kearahnya. Althea tidak tahu apa yang terjadi kepadanya, namun tiba tiba raganya teramat sulit untuk di gerakan, setidaknya untuk berlari menghindar. Namun lagi lagi otaknya tiba tiba blank sampai yang dia lakukan hanya berdiri kaku di tengah jalan, membiarkan nasib buruk yang sebentar lagi akan singgah terhadapnya. Hanya satu yang Althea lakukan saat ini, Berdoa kepada tuhan agar dia mampu selamat.
Matanya menutup saat matanya menangkat mobil yang tinggal beberapa senti lagi menabrak kerahnya. Namun lagi lagi dia harus bersyukur, karena tiba tiba seseorang berlari dan memeluknya dari samping, membuat tubh kami berdua terjatuh di antara rumput sisi jalan.
Orang yang menyelamatkannya berdiri membersihkan debu yang menempel di setelan yang dia kenakan.
Althea menghela napas lega, matanya berbalik melihat siapa yang menyelamatkannya. Matanya menelisik menatap seseorang berpakaian serba hitam yang sudah berdiri tegak siap untuk pergi.
Althea yang melihat pergerakn itu segera berdiri, tangannya dengan sigap menahan tangan orang itu yang ternyata tingginya hampir sepantaran dengannya.
Orang itu menoleh, dan lagi lagi Althea di buat terkejut dengan kenyataan bahwa mata orang itu menghipnotisnya. Bola mata berwarna biru Shappire itu membuatnya terpana. Namun sangat di sayangkan, wajahnya tidak terlihat selain terhalang masker berwarna hitam yang dia kenakan dahinya pun tertutup poni, sehingga bisa di pastikan dari postur dan wajahnya bahwa orang itu adalah seorang gadis.
"Makasih." akhirnya hanya kalimat itu yang mampu keluar dari bibir mungil Althea.
Gadis itu tak merespon lewat kata, tapi dari gerak geriknya yang menganggukan kepala. Itu Althea artikan sebagai kata 'Iya'.
|GENESIS : Jumat, 30 Oktober 2020|
KAMU SEDANG MEMBACA
GENESIS [ Completed ]
Teen FictionDia tidak pernah meminta untuk di lahirkan, jika untuk di benci. Dia tidak pernah meminta untuk di berikan napas, jika hadirnya adalah sebuah kesalahan. Dia tidak pernah meminta untuk bisa menapaki bumi, jika hadirnya adalah bentuk sebuah kehancuran...