30 | Ineffable.

831 86 0
                                    

Kamu dapat mengatasi apa pun, jika dan hanya jika kamu mencintai sesuatu.

~o0o~

"Jadi?"

Althea menghela napas. "Awalnya gue kira. Itu cuman kerjaan orang iseng aja. Semakin hari ke hari. Semuanya semakin menakutkan buat gue. Gue gak tahu apa yang harus gue lakuin."

Rayyan menghela napas. "Jadi semuanya bermula saat ulang tahu lo?"

Althea hanya mengangguk sebagai jawaban. "Gue awalnya gak mau percaya. Tapi dari semua yang gue tangkap juga gue lihat. Cuman satu orang yang ada di kepala gue. Tentang pelakunya."

"Siapa?" Serempak Rayyan, Arka, Vega dan Gema bertanya.

Althea menundukan pandangannya. Kedua tangannya bertaut. "Bertha."

"Kenapa lo bisa yakin kalau itu Bertha."

Althea mendongkang menatap Arka. "Dimulai dari bunga mawar hitam, itu bunga kesukaan di kan? Kertas langit malam, juga, kematian linggar, juga peringatan peringatan yang selaku dia bilang ke gue saat kita ketemu. Cuman dia satu satunya orang yang nunjukin rasa gak suka sama gue sejak awal."

"Apa lo yakin?"

"Gue gak pernah seyakin ini, walaupun ada sedikit rasa ragu. Tapi lo sendiri tahukan apa yang Bertha ucapin waktu lo nolongin gue di toilet waktu itu."

Mereka semua terdiam. Althea menunduk dengan tatapan lemah. "Gue capek, gue ketakutan, sialnya setiap malam kotak itu selalu ada di sekitar gue. Gue gak tahu salah gue apa?"

Vega kembali memeluk Althea yang sudah terisak.

"kalian gak akan pernah tahu. Bagaimana rasanya ketakutan sebelum tidur. Kalaian gak tahu hampir beberapa kali gur menerin kaca rumah yang gue tinggali akibat ada orang itu. Mereka sering ngelempirin batu ke kaca jendela rumah gue. Apalagi ada darah. Itu bikin gue ketakutan."

"Gue akan bicara sama Bertha!"

"Ray,"

Rayyan menoleh, menatap Althea sekilas. "Kita harus nyelesaikan masalah ini secepatnya. Ini udah keterlaluan."

🌻🌻🌻

"Ber, ini kenapa lagi."

Thabina menatap cemas Bertha. Tangannya dengan lihai membersihkan beberap luka yang sudah membiru di beberapa bagian wajah yang terekpos.

Bertha hanya tersenyum tipis. Tangannya terulur menyentuh perut tanpa mereka sadari.

Alvino menaruh air putih dengan roti parian rasa coklat yang sengaja di belinya. Matanya melotot tajam saat melihat tangan Bertha yang sudah sedikit lebam.

"Tangan lo kenapa?"

Thabina dengan sigap memeriksa tangan Bertha. Membuat sang empu meringis karena lukanya sedikut tertekan oleh lengan Thabina.

"Makanya kalau latihan tinju itu ingat waktu. Jangan terlalu memporsir tubuh lo. Lo juga butuh istirahat."

Bertha hanya mengangguk tanpa merespon. Matanya melirik Pamela yang sedari tadi pokus terhadap ponsel yang di genggamnya tanpa sekalipun menyautibperbincangan mereka.

"Lo lagi ngehapus apa?"

Pamela tidak mendenger, membuat Thabina geram lantas memukul tangannya keras. Membuat sang empu mengaduh karena sakit.

"Apaan sih Bi, main pukul pukul aja. Sakit tahu."

Thabina mendelik. "Makanya kalu ditanya jawab. Mulut lo udah gak ber fungsi sebagaimana mestinya ya?"

Pamela hanya mangut mangut mendengar jawaban yang sedikit mencubit hatinya. "Dia bilang apa Vin?"

Vino menatap Pamela. "Thabina bilang lo lagi ngapain pokus amat sama ponsel."

Pamela ber-oh ria. Lantas kembali pokus ke tujuan utamanya. "Gue lagi ngehapus poto Rayyan di ponsel gue, ngeblok nomer, line sama Instagram-nya. Mau move on gue. Capek suka sama orang yang gak peka."

Vino tergelak. "Akhirnya lo nyadar juga, Mel. Kemarin kemana aja. Suka kok sama kutu buku. Mending suka sama gue. Selain ketua geng, gue juga keren."

"Dih," Thabina menyauti dengan berdecih.

"Pede lo kurangin sedikit. Sekarang keren lo udah tersaingi sama Axel. Jadi yang jelek diam aja."

"Siapa bilang. Sebelum ada Axel. Vino udah tersaingi kali. Bara juga ganteng. Bahkan lebih cool dari pada si Alvino ini."

Thabina dan Pamela bertos ria.

Vino mengerucut sebal. Matanya menilik Bertha yang sedari tadi terdiam. Entah kenapa, beberapa hari ini hatinya was was mengingat Bertha. Ada ketakutan tersendiri saat melihat Bertha terluka.

Thabina menyelesaikan mengobati Bertha dengan teliti.

"Lo ada masalah?"

Bertha menggeleng. Ada yang salah, pikir Thabina.

🌻🌻🌻

Rayyan menatap Bertha yang sedang menelungkapkan kepalanya di atas meja. Thabina sudah menatap dirinya tajam namun dirinya hiraukan.

"Bertha kitabpelu bicara."

Tidak ada sahutan. Thabina menatap Rayyan dengan tatapan nyalang. Beberapa menit yang lalu Bertha baru saja tertidur. Vino dan Axel sedang pergi ke kantin untuk mengisi perut. Thabina menilik Pamela seolah menyuruhnya mengusir Rayyan. Pamela awalnya menggeleng keras, namun pada akhirnya Pamela menatap Rayyan dengan tatapan tak kalah tajam.

"Lo bisa pergi gak sih. Bertah baru aja tidur."

Rayyan menggeleng.

"Gue bilang Bertha lagi tidur. Kalau gak penting penting amat lebih baik lo pergi. Ganggu tau gak."

"Gue gak akam pergi sebelum Bertha berhenti. Berhenti lakuin hal konyol dan ngancem Althea lewat cara kotor lo itu. Biarin dia tenang.  Berhenti ngancurin kehidupan orang lain lagi."

Pamela hendak menjawab, tapi ucapannya di dahului oleh suara Thabina. "Tahu apa lo? Lo gak tahu apa apa. Ufah gue bilang berhenti ikut campur."

Rayyan menggeram saat telunjuk Thabina menunjuk tepat di depan wajahnya. "Gue gak akam ikut campur kalau Bertha gak ganggu Althea. Bahkan kalian."

"Bertha? Kita? Kita gak pernah ngeganggu Althea. Dia sendiri yang masuk dalam permainan ini."

"Permainan gak sehat maksud lo!"

Thabina menggeram siap menumpahkan emosinya. Sebelum, seseorang mencekal tangannya.

Bertha berdiri di depan Thabina menghadap Rayyan.

"Gue udah sering peringatan ini sama Althea. Pergi dari sekolah ini kalai perlu pergi dari kota ini. Tapi dia tetap tinggal kan? Jadi nikmatin permainan ini."

GENESIS [ Completed ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang