Hanya karena aku cukup kuat menangani rasa sakit. Bukan berarti aku pantas mendapatkannya, kan?
~o0o~
"Al gue nemuin ini di bawa bangku lo. Sorry karena lancang baca isinya."
Althea mengangkat alisnya bingung. Tangannya terulur meraih kertas yang di sodorkan Vega. Meneliti dengan seksama, hanya kertas yang sama dengan yang datang akhir akhir ini kepadanya, kertas berlambang langit malam.
Kertas lipat itu perlahan terbuka.
I'm coming soon ...
A12BX
Althea meremas kertas itu dengan kasar. Pandangannya menyapu sekitar, sebelum akhirnya membuang kertas yang semakin hari semakin memuakan bagi Althea.
Althea menghela napas, sebelum menenggelamkan wajah di antara lipatan tangan di atas meja.
Vega menatap Althea dengan pemandangan yang sulit di artikan. "Sebenarnya ada apa Al, li bisa cerita ke gue kalau emang lo, ada masalah."
Althea menggeleng masih dengan posisi yang sama, membiarkan Vega mengelus punggungnya lembut.
Althea menegakan tubuhnya menatap Vega dengan wajah murung. "Vega, aku boleh tanya gak?"
Vega menatap Althea, sebelum akhirnya mengangguk. "Tanya apa?"
"Ini tentang Bertha."
Althea mendengar dengan jelas, dengusan yang Vega keluarkan saat nama Bertha keluar dari mulutnya. Raut wajah yang berubah membuat Althea semakin dilanda penasaran.
Vega menatap Althea malas. "Lo mau tahu apa?"
"Tentang kehidupan dia."
Vega terdiam tak membalas.
"Maksud aku, apa yang kamu tahu tentang dia."
"Namanya Shanaya Bertha Olesia. Gue gak tahu apa yang ngebuat dia benci banget sama namanya, tapi dia selalu marah kalau ada orang yang manggil dia Shanaya atau Olesia. Dia selalu bilang dia bertha, hm... Atau semacam I'm Bertha, just Bertha. Dia itu anak bungsu dari keluarga Olesia, dia punya dua kakak cowok dan satu kakak cewek. Tapi yang gue denger His first brother is dead, gue gak tahu pastinya tapi yang gue denger penyebabnya adalah dia sendiri." jeda Vega, menarik napas sebentar.
Althea nampak terkejut, dengan bola mata yang melebar. Tak percaya. "Seriously."
Vega mengangguk mantap. "Yeah, as you can hear. Itu terjadi saat kakak yang gue tahu namanya Nathan, ngejemput dia ke sekolah waktu hujan deras. Tapi yang gue tahu Nathan gak sendirian, dia sama temenya tapi gue gak tahu dia siapa."
"Kapan itu terjadi?"
"Sekitar tiga tahun lalu, saat kami kelas satu Smp."
Althea mengeryitkan keningnya bingung. "Kenapa kamu bisa tahu."
"Lo lupa, di Brianna Smp dan Sma itu sama. Gue sama Bertha hampir ngabisin empat tahun sama sama di sini. Bukan cuman gue, Arka, Rayyan dan Gema pun sama. Dan apa lo gak lihat seberapa usahanya dia buat jadi nomer satu, lo pikir karena apa, karena dia kalah tiga tahun berturut turut dari Bertha. Lo bayangin dari kelas satu Smp, bahkan sampai sekarang Rayyanbelum bisa ngalahin dia."
"She is Bertha, she's so smart, mungkin karena itu juga dia jadi kayak penguasa sekolah. Walau dia tukang bully tapi dia kesayangan guru. Dia udah nyumbang banyak piala buat sekolah."
"Bertha itu suka banget sama langit malam. Dia suka bunga Blackrose, bahkan anak anak sekolah tahu, enggak semuanya juga sih, gimana cintanya dia sama mawar hitam itu. Lo tahu Aldebara, kelas Ipa-B?" tanya Vega.
Althea hanya menganggukan kepala.
"Dia itu kayak Stalker, tapi ini cuman opini gue. Gue gak tahu bener atau enggaknya, in my opinion he's fall in love to Bertha. Dilihat dari gerak geriknya selama ini."
"Lo tahu Snowball milik dia?"
Althea menggeleng, "Gue gak tahu, gue gak pernah lihat dia bawa barang kayak gituan."
"Lo inget waktu Bertha marah besar sama Selena?" Vega menatap Althea dengan pandangan bertanya.
"Iya, yang waktu ninju white boart, right?"
"Iya lo bener, itu salah satu barang yang dia jaga."
"Gue cuman mau bilang, mending lo jangan ikut campur sama apapun yang dilakuin Bertha. Karena lo gak akan tahu hal apa yang bakal Bertha jadiin senjata buat ngegertak lo."
🌻🌻🌻
"Hello!"
Pamela menguap lebar, menempelkan telephone di dekat telinga. Tidur nyenyak yang sempat singgah, terganggu oleh dering telephone sesrorang yang entah siapa.
Mata yang masih setengah tertutup, menandakan bahwa sang empu masih mengantuk berat. Pamela mendengus saat tak ada respon dari si penelephone.
"Mel, lo bisa jemput gue."
Pamela menggaruk punggungnya yang tak gatal, bibirnya menggerucu kesal. "Lo siapa sih, udah ganggu nyuruh lagi." cibirnya tanpa tahu siapa si penelephone.
"Ini gue Mel, Thabina."
"Hah, Thabina." matanya perlahan mengerjap, dengan cepat mengambil handphone yang di taruh di atas telinga. Menatap nama sang penelephone, dan benar kontak Thabina yang pertama kali Pamela lihat saat handphone nya menyala.
"Ada apa Bi," Tanyanya dengan posisi yang telah berubah menjadi duduk.
"Jemput gue." jawab Thabina singkat.
"Dimana?"
"Bandara."
"Sama Bertha."
"Nggak, gue sendiri."
Pamela mengeryitkan dahi bingung. "Lho, bukannya lo di Bali sama Bertha ya, Bi?"
"Nanti, gue jelasin. Jemput gue sekarang, jangan lama."
🌻🌻🌻
"Aku pulang dulu ya, kak. Cepat sembuh."
Bertha menggenggam erat lengan laki laki yang matanya masih setia menutup. Tubuh yang semakin mengurus, dengan warna kulit yang memucat.
Hanya ada mereka berdua di ruangan yang serba putih ini. Bertha yang masih setia menunggu harapan yang akan tiba, dan orang yang masih berbaring menunggu kapan waktunya berhenti atau bertahan tapi dalam keadaan terus terpejap.
Bertha mulai berdiri, berjalan dengan pelan mendekati pintu setelah melepas genggaman tangan mereka.
"Tolong cepat bangun kak, jelasin ke mereka kalau itu bukan salah aku."
|GENESIS : Sabtu, 24 Oktober 2020|
KAMU SEDANG MEMBACA
GENESIS [ Completed ]
Teen FictionDia tidak pernah meminta untuk di lahirkan, jika untuk di benci. Dia tidak pernah meminta untuk di berikan napas, jika hadirnya adalah sebuah kesalahan. Dia tidak pernah meminta untuk bisa menapaki bumi, jika hadirnya adalah bentuk sebuah kehancuran...