Nabil mengerjapkan matanya, berusaha menyusuaikan penglihatan yang nampak buram. Nabil menatap sekitar dengan pandangan bingun, ini bukan rumahnya. Nabil tak mengenal halaman penuh bunga yang serba berwarna putih ini.
Netranya terpaku pada seorang gadis yang memunggungi, beberapa meter darinya. Rambut panjang itu tergerai indah-- walau terpotong acak. Menutupi daerah punggung yang dibalut pakaian berwarna putih jika dilihat dari belakang.
Entah apa yang ada dipikiran Nabil saat ini, saat langkahnya membawa Nabil mendekati gadis yang nampak tak asing di penglihatannya.
Tangannya terulur, menyentuh pundah gadis itu. Nabil meneleliti penampilan gadis tersebut dari samping, sebelum melihat wajah putih polos yang tersenyum lebar mengedahkan kepalanya menatap matahari.
Nabil memeluk erat, saat gadis yang berdiruli di sebelahnya merupakan salah satu orang terdekatnya. Pelukan itu mengerat, disertai dengan tangan nabil yang mengelus punggung gadis itu lembut. Sesekali Nabil mencium kening Gadis itu sayang, sambil berkali kali mengucapkan kata maaf.
"Maaf. Apa kabar, kamu baik baik aja kan? Kenapa berdiri di sini? Kamu kesini sendiri?" ucapan beruntun yang di katakan Nabil tak mendapat balasan, gadis itu hanya menatap Nabil tulus dengan senyuman yang menghiasi wajahnya.
"Naya." Nabil memegang kedua pundak adiknya, saat tiba tiba ada perasaan aneh yang seperti menikam jantungnya. Hatinya tiba tiba merasa gelisah. "Kamu... Enggak papa kan?... Nay?!" Nabil mengguncang pundak Naya kuat saat Naya hanya terus terdiam.
"Sekarang Kakak udah pulang. Kakak siap buat ngakuin semuanya. Ayo kita pulang, Kakak akan bicara sama Papa, soal kak Nathan." jelas Nabil, dirinya hendak membawa Naya pergi dengan mencekal tangan Naya, namun Shanaya hanya berdiri kaku... Sebelum melepas pegangan tangan itu pelan.
"Aku... Lagi nunggu seseorang..."
Nabil semakin dibuat bingung mendengar jawaban Naya, yang terdengar asing di telinganya. Selama beberapa tahun merasa berpisah, namun sedari dulu jarak itu tak pernah terbentang. Namun... Nabil rasa bahkan Jarak bukan lagi sebuah penghalang.
"Aku sayang Kakak."
"Kakak juga sayang kamu, Nay. Ayo pulang, kakak bawa banyak hadiah buat kamu. Kamu mau jalan jalan kan sama Kakak. Kita akan ngehabisin waktu sama sama."
Lagi lagi Shanaya melepaskan cekalan tangan Nabil dengan pelan. "Jaga diri kakak... Baik baik ya..."
"Nay, kamu bilang apasih."
"kamu enggak mau pulang sama kakak?!"
Naya berbalik, menunggangi Nabil. "Rumahku sekarang disini."
Nabil melangkah mendekat, berdiri di depan Naya. Menatap tepat Netra seindah biru laut yang nampak teduh dilihatnya. "Kamu diusir sama Papa? Kalau iya. Ayo kakak siap ngakuin kesalahan kakak ke Papa. Kakak akan jujur dan ngungkapin semuanya, bukan kamu yang ngebuat kak Nathan pergi. Bukan kamu penyebab kecelakaan itu, tapi kakak. Kakak akan jujur sama Papa. Papa pasti ngerti. Kamu enggak salah... Jadi ayo pulang—"
Perkataan Nabil terpotong, saat tiba tiba Shanaya memeluknya erat. "Semuanya... Telah berakhir kak. Jangan merasa bersalah... Kakak tahu kan aku sayang banget sama kakak... Hiduplah dengan kebahagian... Aku sayang kalian semua."
Nabil melepaskan pelukan itu, kakinya melangkah mundur. "Maksud kamu?"
"Aku bahagia disini. Tempatku disini..."
"Nay!"
Shanaya tersenyum hangat, tak terpengaruh dengan Kakaknya yang mulai menunjukan emosinya. "Pulanglah kak... Tempatmu bukan disini."
KAMU SEDANG MEMBACA
GENESIS [ Completed ]
Ficção AdolescenteDia tidak pernah meminta untuk di lahirkan, jika untuk di benci. Dia tidak pernah meminta untuk di berikan napas, jika hadirnya adalah sebuah kesalahan. Dia tidak pernah meminta untuk bisa menapaki bumi, jika hadirnya adalah bentuk sebuah kehancuran...