40 | Ill

1.1K 100 0
                                    

Ketika kamu ingin menyerah.
Ingat mengapa kamu bertahan begitu lama sejak awal.

🍃

Brak ...

Axel menendang pintu hitam yang berada di bangunan tua yang jauh dari perkotaan di belakangnya ada Arka, Vino dan Thabina.

Mereka berempat berjalan dengan langkah pelan sampai suara yang cukup teriakan terdengar di lantai dua. Mereka dengan cepat berlari dengan langkah yang berusaha mereka pelankan.

"Gue bakal pukul orang yang dengan sialnya nyulik Bertha." kata Thabina dengan emosi yang dari tadi telah membara, apalagi saat Vega memberitahu dimana tempat orang orang itu menculik Bertha.

"Apa ini gak terlalu jahat?"

"Apa yang terlalu jahat Vin, ini emang bener bener harus kita lakuin buat orang yang nindas kita.

"Tapi gue gak tega Jess!"

"Kenapa?"

"Gue suka sama Bertha, gue sayang sama dia."

"Iya, lo cinta sama dia. Sampai lo ngebuang gue."

Thabina mengepalkan tangannya, tanpa banyak bicara kakinya menendang pintu itu dengan keras. Membuat kedua orang berbeda jenis yang berada di dalam mempokuskan pandangan kepadanya.

"Ouh, tamu gue udah datang? Perlu gue sapa?" Jessika cewek itu berkata dengan nada menyindir. Ingat betul apa yang Thabina lakukan untuk mempermalukannya waktu itu di kantin sekolah.

"Gue gak suka basa basi dimana Bertha!"

Jessika menjentikan jarinya yang berwarna biru muda, sebelum mengibaskan tangannya sambik tertawa mengejek. "Udah mati membusuk kayaknya."

"Sial, lo➖"

Perkataannya terpotong saat Arka berlari dengan cepat semakin memasuki ruangan itu. Arka terduduk dengan kaki melemas, saat netranya menatap Bertha yang berbaring dengan penuh luka.

Arka mengangkat kepala Bertha dan menyimpannya di paha. Tangan kanannya menepuk pipi Bertha yang dingin.

"Sha, wake up!"

🌻🌻🌻

Malam semakin larut, hujan deras menyapa di sepanjang kota. Tapi itu bukan untuk Thabina yang di landa kecemasan. Punggungnya bersandar di kursi tunggu, dengan tangan yang menyatu merapalkan doa kepada tuhan.

Wajahnya yang terlihat pucat tak ia hiraukan, walaupun berkali kali Vino menegurnya untuk istirahat. Tapi pertanyaannya, siapa yang mampu terlelap di saat keadaan genting sedang terjadi. Terlebih Bertha adalah orang terdekat untuk Thabina, sahabatnya bahkan mungkin kedekatannya bisa dibilang sodara. Takan ada yang baik baik saja, saat salah satu dari mereka dalam bahaya.

Hubungan persahabatan yang sudah bisa dihitung hampir seumur hidup menghirup udara, nyatanya membuat mereka berdua layaknya anak kembar. Mereka memang terlihat seperti orang yang saling menjauh, tapi nyatanya batin mereka dekat.

Langkah kaki yang berjalan cepat, dengan suara napas yang tak beraturan membuat Thabina mengalihkan pandangan.

Pamela berjalan menghampiri Thabina, lalu menyimpan kedua tangannya di atas bahu Thabina yang kini menurun. Tidak ada ketenangan yang biasa selalu menghiasi diri seorang Thabina, tapi sekarang ketenangan itu sirna➖dan Pamela merasakannya.

"Bertha➖"

Belum sempat Pamela menyesaikan kalimatnya, gelengan lemah Thabina terlebih dahulu menyapa.

Saat Pamela ingin bertanya lagi, Thabina membuang muka. Membuat dia mengerti, bukan saatnya.

Suara pintu terbuka, membuat semua orang yang ada di sana berdiri menghampiri dokter yang menatap mereka lalu membuka kacamata yang terpasang, sebelum memulai pembicaraan.

"Apa dari kalian ada keluarga pasien?" Tanya dokter, dengan airmuka yang sulit diartikan.

Thabina orang yang mengangkat terlebih dahulu tangannya, "Saya keluarganya."

"Bisa ikut keruangan saya?"

"Baik."

🌻🌻🌻

"Gimana keadaannya dok?"

Dokter itu menatap Thabina yang ditemani oleh seorang lelaki di sebelahnya, Arka.

"Saya tidak bisa mengatakan jika kondisi pasien baik baik saja untuk saat ini, karena ini bisa di bilang buruk."

"Setelah saya mengobati luka luka yang di tubuh pasien, yang ada di tangan dan perut. Saya juga menemukan luka lama di bagian perut yang telah mengering, dan ini tidak bisa di bilang sedikit. Dan saya juga mendapatkan informasi dari suster yang membantu mengganti pakaian pasien, suster itu mengatakan bahwa di belakang tubuh pasien➖tepatnya punggung, terdapat bekas luka yang memanjang yang membekas, seperti bekas cambukan."

Thabina tanpa sadar menutup mulutnya, menahan tangis. Tatapan yang menunjukan ketidakpercayaan.

"Yang sayang khawatirkan adalah, pasien tidak merespon rasa sakit. Dimana banyaknya sayatan yang ada ditubuhnya, pasien merespon seperti ini bukan apa apa. Saya akan memperoses masalah ini dan melakukan test, saya takut➖"

"Takut apa?" Thabina menyela dengan cepat.

"Pasien mengalami Self-injury."

"Self-injury?"

"Self-injury dilakukan untuk melampiaskan atau mengatasi emosi berlebih yang tengah dihadapi, misalnya stres, marah, cemas, benci pada diri sendiri, sedih, kesepian, putus asa, mati rasa, atau rasa bersalah. Bisa juga sebagai cara untuk mengalihkan perhatian dari pikiran yang mengganggu. Orang yang biasanya terkena Self-injury memiliki kebiasaan menyakiti dirinya sendiri, seperti; menyayat lengan, membentur kepala ketembok dan lain lain. Tapi ini hanya perkiraan saya saja, karena banyaknya bekas luka di tubuh pasien."

GENESIS [ Completed ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang