Lebih banyak yang dikatakan dalam kata yang tak terucapkan.
~o0o~
"Terus kenapa lo keliatan takut sama Axel." tanya Vega.
Althea menatap Vega dalam. "Lo tahu kenapa gue bisa seyakin ini. Itu karena Bertha mengekui sendiri Axel pacarnya. Sepertinya dia tahu Axel adalah salah satu ketakutan terbesar gue."
Rayyan menatap Althea dengan tatapan tak percaya. Matanya menyorot penuh tuntutan. "Kenapa lo takut sama Axel."
Althea menunduk sambil memainkan jarinya. "Dulu aku dan Axel berteman dekat. Bisa disebut kami sahabat dari kecil. Kita selalu bersama sama. Tapi semuanya berubah saat Axel tiba tiba berubah. Dia banyak mengerang, tiba tiba marah marah gak jelas, emosi sulit terkendali, dia seperti kehilangan jiwanya. Entah karena apa." althea menjeda ucapannya, setelah menghela napas sejenak.
"Aku gak tahu namanya apa. Tapi yang aku tahu malam itu Axel datang ke rumah aku cuman untuk marah marah sama ngebanting apapun yang ada di dekat dia. Dia gila. Bahkan yang terparah, dia nyiksa aku dan nyaris ngebunuh aku. Beruntungnya waktu itu kedua orang aku datang. Kejadian itu membekas buat aku."
Vega menggenggam tangan Althea dengan erat berusaha menguatkan. "setelah kejadian itu Axel hilang entah kemana. Aku gak pernah liat dia lagi. Dan ini baru pertama kali makanya aku takut banget awalnya."
Rayyan mengusap wajahnya kasar. Matanya menatap datar seseorang yang dengan tenangnya berbaring santai di atas tempat tidurnya.
"Mau ngapain lo kesini?"
"Main." jawab Axel tanpa membuka mata. Tubuhnya terlentang, dengan kedua kaki yang menjuntal ke lantai.
"Udah sekian lama ngilang. Dan lo baru balik hari ini."
Axel membuka mata. "Gue selalu ada disini. Lo nya aja yang enggak tahu."
"Semuanya berubah!" kata Rayyan membuat Axel yang tadinya menatap atap kamar, menjadi menatap Rayyan dari samping. "Gue tahu!"
"Lo tahu. Tapi lo pergi."
Axel kembali menatap ke depan. "Gak mungkin kan gue nenangin orang lain. Sedangkan diri gue sendiri gak tenang. Gak mungkin juga kan gue jadi tempat tujuan orang lain, sedangkan diri gue sendiri udah kehilangan rumah sejak lama. Gue juga gak tahu harus nyari tempat 'pulang' kemana."
Rayyan membaringkan tubuhnya di samping Axel. Sepupunya. Matanya menatap langit langit kamar sebelum matanya perlahan terpejap. Bukan tertidur tetapi hanya menutup mata.
"Gue tertekan."
"Gue juga." Axel membalas dengan santai.
"Kenapa lo gak pernah ngalah?"
"Buat apa?" Axel balik bertanya.
"Seengganya buat ngurangin beban gue."
"Gue gak harus selalu mikirin perasaan orang lain. Sedangkan orang lain sendiri gak ada yang mikirin perasan gue. Jadi pertanyaannya buat apa?"
"Apa lo tetep gak nganggep gue sepupu lo."
Axel mendudukan tubuhnya. Tangannya mengusap rambutnya kebelakang. "Masalah nganggep atau enggak, harusnya lo tanyain itu sama diri lo sendiri. Hidup ini kompetisi, lo akan tetep kalah jika lo gak ngerti ngedapatin sesuatu 'yang bukan lo inginkan' sebenarnya buat siapa?"
"Lo harus ngedapatin apa yang bener bener lo inginkan. Ini bukan tentang orang lain, ini tentang diri kita sendiri. Lo gak akan pernah puas walaupun lo ngalahin kepintaran Bertha hanya untuk papa lo. Lo emang bakal seneng. Tapi seneng secara pujian atau gak was was lagi biar gak di kekang. Tapi berbeda sama hati lo. Gak ada kepuasan sama sekali. Yang ada hanya kekosongan."
Rayyan membuka mata. Netranya menatap Axel yang kini bersandar pada kepala kasur, tapi jiwanya melayang jauh.
"Lo gak akan pernah ngerti." guman Rayyan dengan lirih. Walaupun Axel masih dapat mendengar ucapan itu.
Tanpa sadar Axel mengangguk. "Gue emang gak ngerti karena gue bukan lo."
Keduanya terdiam. Larut dalam bayangan kehidupan masing masing yang diinginkan. Walaupun nyatanya jauh kata 'nyata'.
"Sekarang apa tujuan lo." tanpa sadar kalimat itu yang meluncur dari mulut Rayyan.
Axel mengangkat wajahnya. Balas memandang netra coklat gelap yang menatapnya.
"Bertha." jawabnya tanpa ragu.
Rayyan tak bergeming.
"Kebahagian Bertha. Kebahagiaan dua sekarang adalah tujuan utama gue. Jangan tanya kenapa. Karena dia jauh lebih berharga dari kedua orangtua gue, keluarga gue, bahkan mungkin Bertha lebih berharga dari diri gue sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
GENESIS [ Completed ]
Teen FictionDia tidak pernah meminta untuk di lahirkan, jika untuk di benci. Dia tidak pernah meminta untuk di berikan napas, jika hadirnya adalah sebuah kesalahan. Dia tidak pernah meminta untuk bisa menapaki bumi, jika hadirnya adalah bentuk sebuah kehancuran...