Tidak ada orang yang benar benar kuat di hidup ini. Setiap orang merasakan kesedihan, tetapi mereka terkadang pura pura tersenyum.
~o0o~
"Sebenarnya lo mau apa?"
Netra coklat tersebut mengedar, kemudian menunduk.
"Kalau gak ada yang mau diomongin gue pergi."
Ucapan laki laki tersebut membuat gadis bernetra coklat tersebut mengangkat wajahnya. Matanya menatap wajah anak laki laki remaja yang beberapa hari ini selalu menghiasi harinya.
"Arka. Sebenarnya aku ..."
Getaran ponsel membuat perhatian laki laki tersebut teralihkan. "Sebentar," kata laki laki tersebut setelah melihat nama sang penelepon, lalu mulai mengangkat yanpa menunggu persetujuan Bertha.
"Kaka...."
Vega menajamkan pendengarannya saat suara yang terdengar tak asing memasuki indra penderannya.
Raut wajah Arka seketika mengeras saat mendengar suara yang sedikut merintih dari sang penelepon.
"I need you."
"Aku ke sana sekarang."
Arka langsung mematikan sambungan telepon tersebut. Raut wajah yang awalnya menampilkan raut datar berubah menjadi khawatir. "Gue harus pergi."
"Tapi aku ..."
Ucapan Vega menggantung diudara saat Arka sudah berlari Pergi tanpa mendengarkan jawaban Vega.
"... Belum selesai bicara."
*
"Arka bisa bantu aku."
Vega menampilkan raut cemas. Saat tak ada jawaban dari sambungan telepon.
"Aku sakit nggak ada siapapun di rumahku." katanya lagi.
"Maaf. Tapi Shasa juga lagi sakit. Gue gak bisa ninggalin dia. Lo bisa minta tolong sama Rayyan atau Gema."
*
"Arka lo kemana aja sih. Aku udah nunggu di cafe hampir dua jam. Tapi kamu nggak dateng dateng?"
Tak ada jawaban.
"Arka kamu masih di sanakan?"
"Maaf Ve, gue gak bisa dateng. Besok aja kalau lo mau dicara, di sekolah."
"Kenapa?"
"Shasa dateng, dia nggak mau aku tinggalin."
*
"Ka sebenarnya aku suka sama kamu. Kamu mau nggak jadi pacar aku."
Arka terdiam dengan raut wajah sok, saat kalimat yang tak pernah terbayang keluar dari mulut Vega.
"Aku gak tahu kapan rasa itu ada. Karena yang aku tahu, aku udah suka sama kamu dari awal kita bertemu, menjadi teman sekelas dan sampai sekarang. Jadi..."
Vega mengambil tangan kanan Arka untuk di genggam. "Kamu mau kan jadi pacar aku?"
Tanpa suara. Arka melepas cekalan Vega. "Maaf Ve, tapi gue gak bisa. Maaf kalo terdengar kasar, gue gak suka sama lo."
"Apa kamu suka sama orang lain?"
Arka mengangguk satu kali. Hal itu membuat Vega mengalami patah hati untuk pertama kali.
"Kalau kamu gak bisa nerima aku, bisa nggak kamu jadiin aku sahabat kamu?"
"Tentu aja. Lo, gue, Rayyan, Gema dan Althea memang sahabatan."
"Boleh ak--gue peluk lo sebagai seorang sahabat?"
Arka merentangkankan kedua tangannya menyetujui permintaan Vega. Vega menghambur memeluk Arka. 'Nggak pernah ada sahabat dalam cinta.'
***
"GUE BEGINI KARENA LO. KARENA LO YANG SELALU NOLAK GUE. LO NOLAK GUE DEMI CEWEK GAK BENER KAYAK BERTHA! Sekarang gue tanya, apa baiknya sih Bertha buat lo?"
Semua orang terdiam bahkan Pamela.
"BAHKAN DIMATA GUE DIA GAK LEBIH DARI SEKEDAR SAM---"
PLAK...
Vega memegang pipinya yang memanas. Netranya memandang Arka yang menamparnya, dan untuk pertama kalinya Arka menampilkan raut kebencian terhadap Vega.
Semua orang menatap terkejut termasuk ketiga teman Vega yang lainnya. Pamela hanya tersenyum miring. Itu salah satu alasan kenapa dari awal Pamela tidak pernah berurusan dengan Arka. Arka adalah salah satu kesayangan Bertha, tanpa orang orang sadari. Itu juga menjadi salah satu alasan kenapa Arka tetap biasa saja, walau pun teman temannya menjelek jelekan Bertha di depannya, atau menunjukan kebencian dan ketidaksukaanya terhadap Bertha. Semua asumsi mereka tak pernah membuat seorang Bertha tampak jelek dimatanya. Justru karena itu, karena mereka tak mengenal Bertha. Mereka tak mengenal Bertha jauh seperti dirinya.
"Lo nampar gue cuman karena dia?" tanya Vega dengan tatapan penuh luka. "Sebenarnya seberapa besar arti Bertha di hidup lo? Kenapa dia sepenting ini buat lo?"
Vega dapat melihat mata Arka yang memerah, rahang mengeras, kedua tangan terkepal dengan urat urat yang menonjol. Kali ini Vega akui, Arka benar benar menyeramkan.
"Lo tanya seberapa besar pengaruh Bertha buat gue? Lo tahu bahkan dia hidup gue. Dia jauh lebih dulu nemenin gue, daripada kalian. Dia jauh lebih dulu ngerangkul gue, daripada kalian. Gue bahkan siap kalo harus ninggalin dunia buat dia. Lo tahu dia orang pertama yang meluk gue saat gue sakit, dia orang pertama yang nangis saat gue luka, dia orang pertama yang dengerin semua keluh kesan gue saat kalian sibuk sama dunia kalian sendiri." Arka menjeda perkataannya. Kepala menunduk dengan nafas yang terhembus pelan. "Lo masih mau tau seberapa penting dia buat gue?"
Semua orang menatap tidak percaya. Mendadak suasana sang tadinya mulai sedikit ricuh, kembali hening.
Vega tersenyum miring. Althea menunduk merasakan bersalah dirangkul oleh Gema. Dan Rayyan yang senantiasa terdiam membeku.
Arka menatap Vega, tepat pada bagian mata. "Lo mau tahu kan? Bahkan jika gue harus di suruh memilih antara Bertha dan kalian berempat, sahabat gue. Gue akan memilih pergi, ninggalin kalian."
Arka pergi dari sana membelah kerumana dengan tatapan tajam. Namun langkahnya tiba tiba kembali terhenti saat tiba tiba...
"ITU ALASAN UTAMA GUE BENCI SAMA BERTHA. SEBERAPA PUN GUE BERUSAHA BUAT SELALU ADA BUAT LO, LO AKAN TETAP NUTUP MATA. JADI, KALAU GUE GAK BISA MILIKIN LO, BERTHA PUN NGGAK AKAN PERNAH BISA!"
KAMU SEDANG MEMBACA
GENESIS [ Completed ]
Fiksi RemajaDia tidak pernah meminta untuk di lahirkan, jika untuk di benci. Dia tidak pernah meminta untuk di berikan napas, jika hadirnya adalah sebuah kesalahan. Dia tidak pernah meminta untuk bisa menapaki bumi, jika hadirnya adalah bentuk sebuah kehancuran...