Thabina berlari dengan cepat menelusuri gedung rumah sakit tempatnya berpijak. Tangannya terkepal kuat, saat Arianna mengatakan omong kosong kepadanya saat di tengah mencari keberadaan Bertha yang menghilang. Thabina tidak hanya sendiri, tetapi di belakangnya, Pamela, Arka, Axel dan Vino.
Thabina menatap satu persatu pintu, mencari tempat yang Arianna maksud. Tetapi belum sempat Thabina memastikan, Arianna keluar dari ruangan yang terbuka lebar. Menubruk punggung dengan menampilkan raut suram.
Arianna tidak menoleh menatap Thabina, tapi dirinya lebih memilih membuang muka. Berjalan menjauh dengan langkah linglung membuat kelima orang yang memperhatikannya menatapnya bingung.
Thabina melangkah dengan cepat, memasuki ruangan tempat Arianna meninggalkan tempat yang terdengar gaduh. Thabina mengenal suara orang yang berteriak itu.
Napas Thabina tercekat saat sampai di di depan pintu. Langkahnya tiba tiba terhenti dengan tubuh yang mulai bergetar. Tanpa terasa airmata ikut mengalir dari seorang yang terbilang tidak pernah menangis. Thabina memang merupakan sosok kuat, namun tidak saat orang yang disayang terluka, Thabina menjadi sosok terlemah.
"Bi, Kena➖" perkataan Pamela mengambang diudara, apa yang dirasakan Thabina juga terasa olehnya sendiri.
"Mel, bukan Bertha kan?" kata Vino dengan nada suara tidak yakin.
Thabina langsung berlari, menghiraukan semua orang yang da di sana. Pokusnya hanya satu, tubuh Bertha yang berbujur kaku.
"Bertha!"
"Ber, bangun. Lo enggak mungkin ninggalin gue kan?"
"Dok➖"
Dokter yang sudah memberi obat penenang pada Alpha yang mengamuk, menatap satu persatu mata yang menatapnya dengan tatapan penuh harap.
"Maaf, pasien sudah meninggal di tempat. Dimana dua peluru itu menembus tepat pada organ jantung."
🌻🌻🌻
Thabina berjalan dengan langkah cepat. tangannya terkepal kuat, namun air mata tidak berhenti mengalir di pipinya.
Amarah ya ng tertahan sejak tadi semakin membludak saat di depannya berdiri sepasang suami istri yang tengah tersenyum bahagia.
"Kalian bahagia bukan?"
Elsi menoleh lantas tersenyum senang. "Kamu Thabina kan, putri pertama Adhitama?"
Thabina tak mengindahkan perkataan Elsi, tatapan tertuju pada Naka yang hanya terdiam. "Tentu kalian bahagia bukan, putri kalian tercinta akhirnya sembuh." Cemooh Thabina dengan airmata yang membanjiri wajahnya.
"Kamu kenapa?"
Thabina menghapus airmatanya dengan kasar. Thabina mengambil langkah, berdiri tepat di depan Elsi dan Naka yang menatapnya bingung.
"Saya cuman mau tanya satu hal, apa yang ngebuat kalian benci sama sahabat saya? Apa yang ngebuat kalian benci sama Bertha?"
"Kamu kenapa Thabina?" Naka bertanya dengan nada yang tenang, namun tidak dengan perasaannya.
"SAYA CUMAN NANYA, APA YANG NGEBUAT KALIAN BENCI SAMA BERTHA! KENAPA KALIAN ENGGAK BISA JAWAB!"
Elsi membuang muka, "Lebih baik kamu pergi Thabina, kami tidak ingin membahas dia di saat hari bahagia kami!"
KAMU SEDANG MEMBACA
GENESIS [ Completed ]
Teen FictionDia tidak pernah meminta untuk di lahirkan, jika untuk di benci. Dia tidak pernah meminta untuk di berikan napas, jika hadirnya adalah sebuah kesalahan. Dia tidak pernah meminta untuk bisa menapaki bumi, jika hadirnya adalah bentuk sebuah kehancuran...