46 | The Truth.

1.5K 110 1
                                    

"Gue gak tahu..."

Bertha menatap langit biru di balik kaca jendela rumah sakit. Tangannya menyentuh kaca, seolah tangan kecil itu ingin menggapai matahari yang menyorot tajam di pagi hari.

Netra biru gelap itu terus terpaku pada kegiataannya memperhatikan sang fajar, walau sekali kali mengerjap, karena peka terhadap rangsang.

Bertha seolah sendirian diruangan yang nyatanya ramai. Tatapan tatapan tajam yang tertuju padanya, nyatanya tak mengganggunya. Bertha hanya terpaku, pada kenyataan bahwa harapan nya semakin tipis. Setelah waktu itu usai, maka Bertha akan tenggelam. Karena nyatanya tidak akan ada lagi harapan atau asa, karena nyatanya semua akan menghilang, termakan waktu dan nantinya akan terlupakan.

Semuanya hanya tentang waktu.

"Ber, tolong! Kalau lo tahu sesuatu tentang keberadaan Althea, please kasih tahu gue?"

Benar, Althea menghilang sejak dua hari setelah mengenjungi Bertha. Rayyan dan Gema tidak pernah lelah mencari, atau bahkan membujuk Bertha yang terlihat selalu tenang, ketenangan yang menenggelankan. Karena nyatanya seberapa banyak mereka mengeluarkan suara nyatanya tak ada tanggapan. Bertha hanya diam, pokus pada pusat pikirannya.

Lagi dan lagi, Rayyan harus menelan ludahnya. Karena nyatanya dia tak menemukan jawaban.

"Kalau si Althea hilang, lapor polisi. Bukan malah nge introgasi Bertha yang nyatanya nggak tahu apa apa!" Pamela menatap jengah ke arah kedua orang yang tidak henti hentinya merecoki sahabatnya yang nampak tak punya kekuatan untuk melakukan apapun, dan itu sukses membuat Pamela jengah dibuatnya.

"Lebih baik kalian pergi, kalian nggak di harapin ada di sini?" Thabina menyela dengan raut datar yang terlewat santai. Kedua tangannya bersedekap dada, sambil bersandar.

Rayyan dan Gema tak menanggapi. Pokus keduanya hanya kepada Bertha, yang terlihat menyedihkan. Dengan tangan yang membentuk pola abstrak di kaca, namun matanya menatap kosong.

"Ber, gue tahu lo tahu sesuatu kan?" Rayyan masih berusaha untuk membujuk, walau hasilnya tetap nol besar.

"Bertha, dengan kediaman lo kayak gini gue anggap kalau lo pelakunya, pelaku yang nyulik Althea!" kata Gema dengan raut muka lelah, teman dekatnya tak ada, dan itu cukup membuatnya kacau balau.

"Atas dasar apa lo minta sahabat gue nyulik sahabat lo!" sambar Pamela dengan raut wajah tak terima.

"Gue ngomong kayak gini, karena gue punya bukti. Bukan omong kosong!" Gema kembali menyela dengan raut wajah yang mulai memerah.

"Bukti, bukti apa maksud lo?"

"Bukti kalau selama ini orang yang selalu nerror Althea itu Bertha. Bukti kalau dia orang yang selalu ngeganggu sahabat gue."

"Lo nggak bisa nyalahin orang sembarangan!"

"Oh ya, terus bunga blackrose itu yang di gemari banget sama sahabat lo itu cuman kebetulan, kertas origami langit malam juga sebuah kebetulan? Gue nggak akan bilang gini, kalau sahabat tercinta lo itu,  nggak ngusik Althea. Bahkan Bertha ngeganggu Althea di mulai kepindahan Althea. Dia nyuruh Althea pergi dari kota ini, tanpa alasan yang jelas! Itu udah cukup, kalau Bertha bener bener pelakunya!" tandas Gema dengan wajah yang memerah, serta telapak tangan yang terkepal kuat.

"Lo nggak bisa nyalahin orang seenaknya. Lo enggak bisa nyangka kalau pelaku tersebut emang Bertha, selagi belum ada bukti yang kuat." ketus Pamela, masih tak terima. "Lo tahu lagian orang yang suka sama bunga mawar hitam itu banyak, bukan cuman Bertha!"

Rayyan dan Gema terdiam.

Pamela memutar bola matanya malas atas keterdiaman kedua orang yang mengganggu ketenangan di ruangan yang sahabatnya tempati. Pamela menoleh menatap punggung Bertha dengan tatapan yang tidak bisa di artikan. "Lagian lo bisa lihat, sahabat gue lagi enggak Berdaya."

"Bertha emang lagi enggak berdaya, tapi dia punya lo berdua!"

"Maksud lo?" Thabina menyela, saat menyadati ucapan Gema seperti akan menyindirnya.

"Bertha emang lagi enggak berdaya, tapi pikirannya nggak mati, otak liciknya masih berjalan. Dan dia punya lo berdua buat jadi kakinya, ngelakuin apapun yang di ingin, dan kalian yang ngejalanin!" sinis Gema.

Plak...

Thabina menyorot Gema dengan tatapan geram, tangan bekas menamparnya terkepal kuat. "Gue nggak nyangka ternyata lo sepicik itu!"

"Gue➖"

Thabina menunjuk muka Gema dengan air mukanya yang semakin mendatar. "Harusnya lo mikir, siapa yang ngebuat lo bisa ada di sini. Siapa yang ngebuat lo punya banyak temen, walau lo tempramental. Lo enggak akan ada disini kalau bukan karena Bertha!"

Gema mengangkat alisnya bingung, bahkan Gema sempat menepis tangan Rayyan tanpa disadari. "Maksud lo?"

"LO PIKIR SIAPA YANG MAU TEMENAN SAMA COWOK CUPU KUTU BUKU NGGAK GUNA KAYAK LO, LO PIKIR SIAPA YANG NEMENIN LO SAAT LO DIJAUHIN SATU SEKOLAH KARENA BERPENAMPILAN MENJIJIKAN LAYAKNYA SAMPAH!" Thabina menghela napas panjang, guna menimalisir emosi yang tertahan di tenggorokannya.

"Itu bukan karena➖"

"ITU KARENA BERTHA! Siapa yang ngelindungin lo saat satu sekolah ngebully lo? Siapa yang nemenin lo saat lo di asingkan di bangku paling pojok? Siapa orang nolongin lo saat lo dalam masalah? Siapa yang selalu ada buat lo waktu lo kesepian, SIAPA? JAWAB?"

Gema terdiam, mulutnya mendadak kaku tanpa suara. Berniat menyanggah, namun kata itu hanya tersangkut di tenggorokan.

"LO PIKIR ORANG ITU RAYYAN, ALTHEA, VEGA ATAU SAHABAT LO YANG LAINNYA? enggak Gemilang, bukan mereka." Thabina menggeleng gelengkan kepalanya. "Bukan mereka, bukan mereka yang ada di titik terendah lo! Bukan mereka yang bikin lo ada di titik tertinggi saat ini. Bukan mereka!"

Gema masih terdiam meresapi setiap kata yang keluar dari mulut Thabina benar benar menghantam kuat hatinya. Karean semuanya yang Thabina katakan benar adanya, bukan mereka yang menemani masa tersulitnya. Bukan, bukan mereka. "Itu Arka." jawabnya pelan, sangat pelan.

GENESIS [ Completed ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang