Dia mengajarkanku cara untuk mencintai, tetapi tidak cara berhenti.
~o0o~
Bertha berjalan keluar dari area sekolah. Kedua tangannya terkepal kuat. Walaupun seandainya benar itu ulahnya, tidak ada orang yang terima jika di salahkan.Bertha berdiri tepat di halte yang sedang sepi. Matanya menerang jauh peristiwa yang terjadi tadi. Tidak, bukan salahnya. Dari awal, ini memang bukan salahnya.
Tiba tiba seseorang telah berdiri di hadapannya . Seseorang dengan pakaian kasual yang menatapnya menyeringai. Bertha hendak menghiraukan, tapi lagi lagi terhenti saat tangan orang tersebut menyentuh pundak kanannya. Bertha menatap tangan itu tajam, lantas menghempasnya kuat.
Orang itu semakin tersenyum lebar melihat respon Bertha.
"Setelah beberapa minggu terakhir nggak ketemu. Lo tetep sama, nggak pernah berubah. Lo masih tetep pecundang."
Berttha menggeram, telunjuknya menunjuk tepat di wajah Jesika. Ingat Jessika, orang yang dia labrak waktu di kantin? Ya, itu dia.
Bertha hendak berkata. Namun tak kalah cepat dengan seseoramg yang tiba tiba memukul belakang kepalanya dengan kelas. Bertha tidak tahu benda apa itu, tapi itu mampu membuat pemandangan Bertha berkunang kunang. Bertha mematap Jessika yang semakin tersenyum menang, sebelum kesadarannya diambil alih.
Jessika mendekatkan wajahnya ke arah Bertha yang beberapa menit lalu barusaja tersungkur menubruk aspal halte. Membisikan kata dengan pelan, walaupun Jessika tahu Bertha benar benar telah pingsan.
"Lo tahu, permainan sebenarnya baru aja di mulai."
Jessika menegakan tubuhnya. Senyum simpul ia layangkan pada seorang laki laki perpakaian serba hitam yang berdiri sambil memegang tongkat baseball di tangan kanannya.
🌻🌻🌻
"Sekrang apa rencana lo, audi?"
Audi tersenyum miring saat selena membisikan sesuatu di sebelah telinga kiri. Pandangannya tertuju pada Pamela yang mengangkat tinggi tangan kanan yang menggenggam ponsel.
Mereka berdua ikut berkerumun menatap dengan pandangan takjub.
"Lo akan tahu itu sebentar lagi." jawab Audi tanpa menatap Selena.
"Gue gak sabar."
Audi menoleh menatap Selena yang menampilkan raut muka antusias dengan senyum misterius.
"Yang pasti bakal mengejutkan lo, Selen!"
🌻🌻🌻
"Lo mau kerja sama gue?"
Vega menatap audi yang berdiri tak jauh di teman belakang sekolah. Vega menilik setiap inci, memastikan bahwa mereka benar benar hanya berdua.
"Kenapa lo ngajak gue. Gue lebih suka main sendiri."
Audi menatap Vega dengan datar. "Bukannya lebih cepat kalau di kerjakan bersama."
"Lo benci sama Bertha."
"Enggak. Selen sepupu gue. Dia benci sama Bertha. Gue bakal ada di belakang lo. Dan lo akan ngedapatin apa yang sebenarnya lo mau, jika kerjasama sama gue."
"Apa jaminannya?"
"Gue sahabat Arka dari kecil, juga Shasa. Gue akan ngebuat Arka benci sama Shasa. Dan ngebuat dia jadi milik lo."
"Lo➖"
"Gue tahu lo suka sama Arka. Da gue bisa ngewujudin impian lo buat jadi nyata."
"Gue mau kerjasama sama lo. Tapi lo harus ngewujudin itu." kata Vega tegas, setelah berpikir cukup lama.
"Apa alasan lo benci sama Bertha sampai sedalam ini. Bahkan ngelibatin Althea buat ikut benci sama Bertha."
"Gue gak akan pernah benci sama dia. Kalau di gak ngerebut semua yang gue punya."
"Dia ngerebut apa dari lo?"
"Dia ngerebut Arka dari gue. Bukan cuman Arka, Rayyan dan Gema pun kayak ada di pihak mereka. Gue tahu ini salah, tapi gue tetap akan ngrbuat mereka benci sama Bertha. Termasuk matahin persahabatn Arka dan Bertha."
"Lo tahu?"
"Lo pikir gue bodoh. Gue tahu Shasa-nya Arka itu adalah Bertha. Gue suka bahkan cinta sama Arka. Gue tahu semua hal tentang Arka. Bahkan apartemen yang di tinggali sekarang, gue tahu disana banyak poto Bertha yang terpajang. Semua isi barang berharga Arka adalah tentang Bertha. Atau orang yang Arka sebuat Shasa."
"Lo penguntit?"
"Gue bisa ngelakuin apapun lebih dari seorang penguntit jika ini tentang Arka."
"Apa Arka suka sama lo?"
*
Pamela tersenyum puas, saat audia yang dia setel telah tetdengar oleh semua orang. Netranya memandang Vega yang membulatkan matanya dengan tatapan tak percaya.
"Vega, lo ..." Althea menutup mulutnya tak percaya. Orang yang dia percaya, termasuk salah satu orang yang menerrornya.
Vega terdiam, masih mencerna semuanya.
"Udahlah Vega. Akuin aja. Toh semua orang udah tahu gimana busuknya terlebih terhadap orang orang sahabat tersayang lo." cibir Pamela sambil memutar mutar ponselnya.
"Kenapa lo lakuin ini Vega. Gue ketakutan, tapi ternyata orang yang gue percaya termasuk salah satu orang penyebab rasa takut itu hadir." Althea menggeleng dengan airmata yang kembali membasahi pipi.
Vega menunduk menyumbunyikan wajanya dengan rambut yang tak diikat. Vega takut ia mendapatkan tatapan tak percaya dari Arka, Rayyan dan Gema. Vega belum siap.
"Gue gak percaya lo ngelakuin ini. Ternyata orang yang gue percaya, orang yang selalu mampu ngebuat gue nyaman mampu ngelakuin hal sampah."
Vega mengangkat wajahnya saat kata kata yang terdengar tajam di telinganya, menyintil hatinya. Apalagi kalimat itu berasal dari mulut orang yang dia cintai. Arka.
"Lo bilang sayang sama gue, lo bilang cinta sama gue. Tapi lo malah mau ngehancurin orang yang gue sayang. Lo mau ngebuat dia jahat di mata gue. Sebenarnya apa yang ada di otak lo Vega?" Arka menatap Vega dengan rahang yang mengeras. Tidak ada yang namanya sahabat atau teman, jika itu menyangkut Shasa.
Airmata perlahan turun dari mata Vega. Vega menunduk dengan kepala yang terus menggeleng beberapa kali.
"GUE BEGINI KARENA LO. KARENA LO YANG SELALU NOLAK GUE. LO NOLAK GUE DEMI CEWEK GAK BENER KAYAK BERTHA! Sekarang gue tanya, apa baiknya sih Bertha buat lo?"
Semua orang terdiam bahkan Pamela.
"BAHKAN DIMATA GUE DIA GAK LEBIH DARI SEKEDAR SAM---"
PLAK...
KAMU SEDANG MEMBACA
GENESIS [ Completed ]
Ficção AdolescenteDia tidak pernah meminta untuk di lahirkan, jika untuk di benci. Dia tidak pernah meminta untuk di berikan napas, jika hadirnya adalah sebuah kesalahan. Dia tidak pernah meminta untuk bisa menapaki bumi, jika hadirnya adalah bentuk sebuah kehancuran...