37 | My Brother is Gone.

1K 89 0
                                    

"Gue bukan pembunuh."

Bertha menatap bengis ke arah jessika. Tangannya mengepal dengan kedua tangan yang masih teringat, di penuhi darah segar.

Jessik bersedekap dada. Mata menyorot tajam, tak gentar meski tatapan Bertha termasuk tatapan menakutkan. Cahaya yang hanya tersorot lampu remang remang tak membuat Jessika undur diri. Rasa sakit yang berada dipundak dan genggaman benar benar berhasil mengambil alih.

Mengiklaskan seseorang yang sangat berarti tidak mudah bukan? Apalagi diakhiri tanpa perpisahan, pergi bukan untuk kembali, pergi untuk selamanya, menghilang tanpa bisa digenggam. Memudar tanpa bisa di capai.

Jessika belum bisa menerima lantaran tak ada salam perpisahan. Kakaknya pergi tanpa pamit. Kakaknya pergi bersama rasa sakit, dan orang yang menyakiti harus dibuat tersakiti juga kan? Seperti hal nya pepatah yang selalu jessika dengar. Darah harus di bayar darah, nyawa harus di bayar nyawa.

Fashback on.

Jessika membuka pintu kamar berchat abu dengan pelan. Tatapan menggilir sekitar kamar, pokusnya berpusat pada seorang laki laki berkacama yang sedang duduk di meja belajar. Tumpukan buka novel lebih mendominan dari di kamar bernuansa putih itu.

Jessika melangkah dengan pelan, lantas mengejutkan laki laki itu dengan memeluknya dari belakang. Tanpa sengaja netranya menangkan poto seseorang yang familiar dalam ingatan. Tapi belum sempat jessika melihat dengan jelas, Elvan, kakak satu satunya Jessika menyembunyikannya dengan cepat di antara buku novel roman.

"Itu siapa kak, jangan di tutup Jess belum lihat!" tangan Jessika tanpa sadar merebut buku novel tersebut, membawanya ke belakang tanpa sempat di cegah oleh Elvan. Matanya menganga lebar saat buku tersebut terbuka dan menempilkan orang yang sangat Jessika kenal, teman seangkatannya➖

"Kamu gak sopan banget sih dek," Elvan merampas novel dari tangan jessika, lalu memasukan novel itu kedalam laci dengan cepat.

➖Shanaya, is she?

"Kakak suka sama dia?"

Elvan mengalihkan pandangan, "En-nggak."

"Jujur aja. Aku udah baca tadi." Jessika menahan tawa saat kata 'First love, always and forever.' terdapat di bagian bawah poto. Kakaknya memang sedikit alay, hahah.

"Kamu ini udah sana." Elvan mendorong tubu Jessika keluar dari kamarnya➖dengan wajah yang sedikit, memerah.

"Ciee..."

"Keluar sana!"

**

Hari ini tepat dua hari setelah Jessika memergoki kakaknya yang sedang menatap poto Bertha. Karena setelah hari itu, Jessika benar benar kehilangan kakak satu satunya.

Kakaknya meninggal bunuh diri entah apa alasannya.

Setelah pulang dari pemakaman, tempat istirahat terakhir Elvan. Jessika langsung mengurung dirinya di kamar Elvan, mengingat momen kebersamaan dari kecil yang membuat airmata mengalir tanpa diminta. Jessika benar benar belum siap kehilangan Elvan.

Jessika yang terduduk di atas kasur Elvan, tersentah saat matanya menangkat buku yang waktu itu kakaknya sembunyikan. Namun bukan itu yang menjadi pokusnya melainkan diary kecil berwarna hitam yang tersimpan di bawahnya.

Jessika mengambil diary tersebut, dan membacanya sampai kata➖

24 desember 20XX

Ini tentang dia... Seseorang bermata jernih yang berhasil membuatku jatuh cinta.

Aku kira kata First sight itu bohong. Karena aku berpikir cinta pandangan pertama itu bener gak ada, dulu first sight itu terdengar konyol buatku.

Tapi sekarang saat aku merasakan jangtungku yang berdetak sangat kencang ketika bertemu dia, pikirannya terpusat padanya. Mungkin ini terdengar konyol, tapi aku merasakannya.

Aku mencintainya, lebih dari apapun.
Aku selalu memperhatikannya, walaupun dari jauh. Aku selalu mengawasinya, bahkan saat dia terluka. Tapi sekali lagi aku tidak berani mendekat. Aku terlalu pengecut untuk melakukannya.

Sampai tiba tiba rasa ingin bersama itu ada.
Aku memberanikan diri mendekatinya, awalnya sedikit kesulitan karena dia tidak terlalu suka dengan orang baru, namun lama kelamaan kami sedikit dekat.

Setelah menurutku kami merasa dekat.
Aku memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaan ku padanya. Aku telah menyiapkannya.
Tapi ... Semua melenceng jauh dari perkiraanku. Ternyata dia telah menerima orang lain, namanya Rayyan.

Aku tidak tahu kenapa. Karena yang aku tahu mereka bermusuhan di sekolah. Tapi dibelakang itu semua mereka bersama. Dan itu sukses menghancurkan hatiku.

Aku kira dia dan aku memiliki rasa yang sama. Tapi ternyata aku salah. Saat aku benar benar tak bisa memilikinya.

Entah perasaanku atau bukan, hatiku terasa mati, jantungku tertusuk ribuan belati tak terlihat saat mereka berpelukan.

Saat itu yang ada di pikiranku hanya,
Mati adalah jalan pintas terbaik untuk mengakhiri segala rasa sakit.

Aku akan selalu menunggu meski di dunia yang berbeda; Shanaya Bertha Olesia.

Elvan.

Flashback off.

Yang Bertha tidak tahu adalah, saat Jessika mengusap Airmata yang tiba tiba mengalir. Jessika bersyukur lampu lampu yang ada di gudang ini remang, Jessika tidak mau terlihat lemah dihadapan orang yang bagai musuh abadi untuknya.

Tiba tiba Bertha mendengar langkah kaki seseorang memasuki ruangan itu. Bertha tidak bisa melihat jelas, jarena keaadan yang semakin menggelap.

"Udah saatnya Jess."

Seorang laki laki, itu yang Bertha tangkap dari suaranya.

"Iya, emang udah saatnya." Tangan Jessika mengetikan sesuatu di ponselnya, lantas menempelkan di telinga. Jessika pergi dari sana,

"Sekarang waktunya."

🌻🌻🌻

"Vega jawab gue, kalau lo tahu dimana Bertha kasih tahu gue sekarang." Thabina menatap tajam, "Gue tahu lo yang ngerencanain semua ini kan."

Vega menatap datar, tamu yang tak diindung berdiri di depan rumahnya. "Kalaupun gue tahu, gue akan ngsih tahu lo!"

"Lo➖"

Thabina menghempas tangan Vino menyentuh tangannya, tatapannya menyuruh untuk diam. "Terserah."

Thabina menatap Vega tajam. "Kalau lo bener bener pelakunya, gue akan sebar semua kebusukan lo. Itu sumpah gue."

Thabina melenggang pergi meninggalkan Vino yang masih menatap Vega dengan tatapan datar.

GENESIS [ Completed ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang