52 | EPILOGUE.

3.5K 193 31
                                    

"Lo gila!"

Bertha menyentak tangan gadis bersurai hitam yang berdiri di pagar pembatas lantai 10 rumah sakit swasta.

Gadis itu mengangkat wajahnya, airmata yang mengalir deras, surai yang berantakan menunjukan seberapa kacaunya gadis malang itu saat ini. Tangannya menghepas tangan Bertha tak kalah kasar, lalu berusaha naik kembali ke pembatas itu.

Bertha tak tinggal diam, dengan cepat dia kembali mencekal lengan kanan gadis itu dan menyeretnya mundur menjauh dari pembatas itu.

"Lepasin gue! Lepasin gue! Biarin gue mati..."

Bertha tak mengindahkan ucapan gadis itu, pokusnya menyeret gadis yang masih meronta itu menjauh.

"LEPASIN GUE!! ENGGAK USAH IKUT CAMPUR URUSAN GUE!!" gadis itu berteriak dengan suara seraknya. Tangan kirinya yang terbebas berusaha nelepaskan cekalan Bertha di tangan kanannya. Mata gadis itu menyorot lelah. "Lo enggak tahu gimana rasanya, lo enggak tahu gimana rasanya ditikam pelan pelan dari belakang. Gue pengen mati." ujarnya dengan suara yang parau.

"LEPASIN GUE!! GUE MAU MATI!! LEPASIN GUE—"

Plak.

"—lo,"

"LO PENGEN MATI?! ELO BENER BENER PENGEN MATI DISAAT DULU IBUMU BERUSAHA KERAS NGELAHIRIN LO SAMPAI RELA NYAWANYA MERENGGANG!!"

Gadis itu tergagu, airmatanya semakin mengalir deras melewati sebagian wajah yang basah. "Gue mohon, jangan ganggu gue. Pergi. Mama udah enggak ada, orang yang cintai banget udah pergi. Mama enggak mungkin pergi sendiri, gue mau ikut dia."

"gue harus ikut Mama. Mama pasti ketakutan sekatang." gadis itu segera bangkit, dengan langkah yang cepat dia berusaha menggapai pembatas itu tapi Bertha lagi lagi menggagalkan niatnya.

"LEPASIM GUE!! LEPASIN GUE!! ORANG YANG DAPAT BANYAK CINTA DARI ORANG TUANYA ENGGAK AKAN NGERTI GIMANA HANCURNYA GUE!! GUE KEHILANGAN MAMA, DAN PAPA YANG GUE PERCAYA BANGET PERGI SAMA SELINGKUHANNYA. GUE DIKHIANATI. ENGGAK ADA HAL YANG MESTI GUE JAGA LAGI. ORANG KAYAK ELO GAK AKAN PERNAH NGERTI, KEHIDUPAN APA YANG GUE JALANIN. BAHKAN KEMATIAN BAKAL LEBIH BAIK DARI SEGALANYA."

Bertha terkekeh sinis. "Kebahagian? Keluarga yang sayang sama gue? Gue bahkan ngerasain kematian setiap saatnya."

Bertha melepaskan cekalan tangannya, "Silahkan bunuh diri, dan terima kekecewaan dari tuhan dan ibu yang ngelahirin elo. Seorang ibu bahkan berusaha keras memberi anaknya kehidupan, gak ada yang lebih buruk dari elo, yang mau ngehancurin kehidupan yang ibu elo susun bahkan sebelum lo lahir."

Bertha melenggang pergi, kedua tangannya di tenggelamkan diantara saku celana.

Gadis itu terdiam kaku. Seperti tersadar dari hal nekat yang beberapa menit lalu berniat menghancurkan hidupnya.

"Thabina salah ya ma?"

....

Thabina membuka mata, membuat mata yang memerah itu terlihat jelas. Air mata yang telah mengering dengan lingkaran hitam di bawah mata nampak jelas di balik kacamata hitam yang di kenakannya.

Orang orang tidak akan pernah tahu, peristiwa itu. Bertha yang menyelamarkan dan menyadarkan Thabina dari rencana bunuh dirinya. Bertha yang memberitahunya sebuah pertemanan, Bertha yang membelanya dan melakukan hal apapun untuk Thabina. Mereka tidak akan pernah tahu, Bahwa Bertha benar benar menjadi sebagian hal penting yang Thabina punya. Dan saat Thabina kehilangan Bertha, tidak akan ada yang mampu menjelaskan seberapa hancur dunianya saat itu.

Thabina berusaha kuat untuk tak menjatuhkan air matanya di antara banyak nya orang berbaju hitam yang ikut berbela sungkawa menemaninya ke peristirahatan terakhir Bertha.

....

"Ber, kenapa elo ngebully Linggar. Maksud gue kenapa lo berusaha keras ngebuat dia keluar dari sekolah ini."

Bertha yang sebelumnya asyik membaca buku, menatap Thabina. Helaan napas panjang terdengar, sebelum bertha benar benar benar menatap netra Thabina.

"Alpha ngincer Linggar. Lo tahu kan sebelumnya Linggar berasal dari keluarga yang kaya, tapi keluarga mereka bangkrut. Alpha yang ngebuat perusahaan keluarga Linggar hancur."

Thabina menatap tak percaya. "Kenapa?"

"Karena ayah Linggar berusaha ngehancurin perusahaan milik Keluarga Alpha tepat ketika Alpha kehilangan segalanya. Ibu, ayah dan kakak yang kehilangan matanya. Ayah Linggar memamfaatkan keadaan itu untuk menumbangkan perusahaan milik Ayah Alpha."

"Gue enggak bisa ngelarang Alpha, tapi gue akan tetap berusaha ngebuat Alpha sadar bahwa yang dia lakuin itu salah."

...

Lamunan Thabina buyar, matanya menyorot tajam Althea yang berdiri beberapa langkah darinya.

"Ini semua gara gara elo. Kalau lo nurut Althea, kalau lo ngikutin apa yang Bertha bilang ini enggak akan pernah terjadi. Gue enggak akan kehilangan sahabat gue."

Althea menunduk dengan punggung yang bergetar. Pamela menatap Althea penuh permusuhan dengan wajah yang nyaris sepenuhnya merah, antara kesedihan dan kemarahan yang bercampur menjadi satu.

"Elo enggak akan pernah tahu seberapa berartinya Bertha buat gue. Buat Thabina, Axel, Arka dan Alpha. Elo enggak akan pernah tahu, karena elo enggak punya orang yang setulus Bertha."

Pamela membuang muka, saat cairan bening itu kembali mengalir. "PERGI!! PERGI!! ELO NGGAK PANTES ADA DI SINI!! PERGI—"

"Mel," Thabina menarik Pamela ke pelukannya. Tangannya mengusap punggung Pamela, sambil menatap Althea dengan tatapan tak bersahabat di balik kacamata hitamnya. "Elo bebas caci maki dia, atau ngelakuin hal apapun yang elo mau. Tapi jangan disini. Jangan ngemenganggu ketenangan Bertha, iklasin dia, biarin Bertha pergi dengan damai. Dan ngejemput kebahagiaan yang enggak dia dapatin di sini."

Thabina tersenyum tipis. Matanya menatap sendu, walau bibirnya berusaha menampilkan senyum terbaik. Gundukan tanah yang masih basah itu, adalah rumah baru Bertha. Dan Thabina tidak akan membiarkan seseorang menganggu ketenangan sahabat baiknya.

"Gue harap di masa depan, elo bener bener jadi saudara gue. Bertha. Sinar yang bahkan enggak akan mati di hati gue, meskipun gue mati."

....

Suara tangisan keras beserta benda pecah yang bersautan mengejutkan Ariana yang tertidur di kursi ruang tunggu. Ariana mengerjap, menatap kaca tembus pandang, sebelum tersadar dan berlari memasuki ruang rawat milik Alpha dengan tergesa.

Ariana menatap sosok Alpha yang terduduk di pojok ruangan dengan mencengkram rambutnya sendiri. Lingkaran hitam di bawah mata menghiasi daerah mata yang sebagian memerah karena terlalu banyak mengeluarkan tangisan.

"Al—"

"PERGI!!!"

"PERGI!!!"

Alpha mengambil benda yang yang ada di sekitarnya, dan membanting benda benda itu keras. Vas bunga, gelas yang terisi penuh dengan Air dan lainnya.

Ariana berusaha mendekat, Alpha yang menyadari keberadaan Ariana semakin menggila. Berteriak histeris, memanggil nama Bertha keras.

"PERGI!!!—"

Benda yang hendak Alpha lemparkan, terhenti diudara. Terlebih saat ponsel yang di pegangnya menyala, menampilkan poto Bertha yang tengah membantunya bekerja. Bertha yang menampilkan raut wajah serius di depan komputer dengan kacamata di wajahnya.

Airmata mengalir, Alpha memeluk ponsel itu kuat. "Bertha... Maaf... Jangan pergi..."

"PERGI!!!"

"JANGAN DIAMBIL!!! JANGAN AMBIL BERTHA!" Alpha berteriak histeris ketika beberapa suster menggerubungi dan mencekal lengannya. Ponsel yang menampilkan photo bertha di ambil membuat Alpha meronta keras. Sebelum suntikan obat bius menenggelamkan sadarnya. Alpha melihat Bertha tersenyum kearahnya, berdiri di samping Ariana.

GENESIS [ Completed ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang