Diam bukan berarti tak melakukan apa apa. Berdaya upaya ketika membisu juga adalah perbuatan.
~o0o~
Althea menatap pantulan dirinya di dalam cermin setelah membasuh muka dengan air westapel toilet. Tangannya yang basah mengusap dengan kasar hurup yang terpampang saat dirinya memasuki toilet. Pembunuh. It's not me. Althea bersumpah demi itu.
Helaan napas terdengar berat. Kedua tangannya terkepal tapi juga bergetar. Seandainya ada yang bisa mengambarkan rasa takutnya saat ini, mungkin Althea mampu setidaknya untuk bangkit. Namun sekarang semuanya semakin menjadi. Entah apa dan salah siapa Althea benar benar ketakutan.
Ia ingin bercerita tentang masalahnya tetapi entah kepada siapa. Kedua orangtuanya diluar kota. Teman temennya entahlah Althea takut membebani mereka.
Tiba tiba selintar pikirannya tertuju pada satu nama, Bertha. Semuanya masalahnya bermula saat pertama kali dirinya memasuki sekolah. Dan titik poinnya adalah Bertha yang menyuruhnya untuk meninggalkan sekolah ini. Bahkan memaksanya. Apakah orang itu Bertha. Yah, sepertinya Bertha. Karena cuman dia yang dari awal seperti memiliki masalah terhadapnya. Terlebih soal dirinya yang ikut campur saat tragedi di toilet.
Bertha adalah pelakunya.
Althea bergegas keluar dari toilet dengan tergesa. Dia harus berbicara dengan bertha. 'yah harus!' dia harus meluruskan semua masalah.
Saat di pertengahan jalan. Tepatnya dikolidor. Langkahnya terhenti saat tiba tiba ada seseorang yang menginjak depan sepatu putihnya. Althea menganggak pandangannya. Mata mereka bersitatap. Untuk sesaat Althea meresa, bahwa perkataan Bertha benar. Banyak kejutan untuknya dari tujuh hari kedepan.
Orang itu menyeringai. Kepalanya sedikit di condongkan ke depan. Di samping telinga Althea.
"Hi, Long time no see. Siap untuk memulai game, Althea?"
🌻🌻🌻
"Sebelumnya gue mohon perhatian kalian sebentar. Kita kedapatan kedatangan murid baru. Gue harap kalian semua bisa berteman dan menerima dia. Because, you know lah orangnya ganteng kok."
Pamela berdiri di depan kelas menjadi pusat perhatian anak anak kelas Ipa A. Senyum miringnya tersamar dengan senyum lebar yang terpasang palsu.
Pamela menatap satu persatu murid terlebih kepada Althea dan Rayyan. Tatapannya terhenti pada Bertha dan Thabina yang menatap datar dengan senyuman menyeringai. 'Lets game begin.'
"El."
Pamela berseru. Membuat seorang yang telah menunggu di luar pintu memasuki kelas. Langkah yang terdengar santai namun mampu membuat cewek cewek yang terkenal kutu buku berdebar.
Tubuh atletis dengan rahang tegas. Suatu hala yang tertangkap saat menatapnya sekali. Namun saat menatap dari dekat kulit putih mulusnya terlihat dengan jelas. He's look like a prince.
"Hai gue Axelion. Kalian boleh manggil gue Axel atau El terserah nyamannya kalian."
Laki laki yang mengaku bernama Axel itu tersenyum sopan. Membuat hampir hawa yang ada di kelas terhipnotis oleh senyum yang sebenarnya jauh dari kata tulus.
Tiba tiba terdengar decitan bangku yang tergeser. Semua perhatian tertoleh kepada Bertha yang nampak berdiri angkuh berjalan menghampiri Axel. Bertha mengenggan tangan Axel lalu tersenyum sekilas. Badannya berbalik menatap teman teman sekelas yang balik menatapnya.
"He's my boyfriend. So don't touch her. Oke, he'is mine."
Althea terperanjat. Apalagi saat senyum miring dan tatapan mata tajamnya terarah menatap Althea. Tepat.
Rayyan masih bergeming di tempatnya. Entah apa yang dia pikirkan, namun rahangnya tiba tiba mengeras.
Bertha hendak menarik tangan Axel keluar kelas. Sebelum otaknya mengingat sesuatu membuatnya berhenti tepat di depan pintu kelas yang terbuka lebar.
"Oh ya. For your information Rayyan."
Rayyan mengangkat wajahnya. Saat namanya tiba tiba di sebut dengan suara yang tidak terlalu besar namun masih terdengar tegas.
"Axel termasuk ke dalam anggota olimpiade kita. Lo mungkin tahu banget, Axel pinternya ngelebihin siapa? Bukannya dia jauh diatas lo ya?"
Tangan Rayyan mengepal. Kalimatvyang menurut orang biasa saja, namun bagai Cercaan Bertha untuknya.
"Dan janga lupa. Kita mulai belajar siang ini atau kalau enggak sore. Selamat menguatkan hati."
🌻🌻🌻
"Boleh gue duduk disini?"
Meja yang terisi oleh Arka, Rayyan, gema, Althea dan Vega. Mereka berlima mendongkang, Arka lebih dulu menyambunya dengan senyum ramah, sebelum mengangguk.
Rayyan menatap datar seseorang yang membawa nampan bersi makanan di atasnya tengah duduk santai sambil mulai memakan makanan yang barusaja di bawa.
Althea merasa kedua tangannya gemetar. Entahlah saat ini rasa takut di hatinya semakin bertambah. Apalagi Axel orang yang duduk tepat di depannya.
"Lo pacarnya Bertha ya?"
Perhatian mereka teralih pada Arka. Axel hanya menganggukan kepala santai. "She is a perfect girl. Orang bodoh aja yang pernah sia siain dia."
"Lo kayaknya kenal banget sama dia ya. Apa lo gak malu pacaran sama tukang buli kayak dia?" Gema tiba tiba menyaut dengan nada jengkel.
Axel mengidihkan bahu. Tanpa menyadari suasana di meja itu sedikit memanas. "Santai aja. Toh semua orang punya sisi buruk kok. Bedanya Bertha terang terangan sedangkan yang lainnya ditutupi dengan kebohongan."
Mata Axel menyipit seperti membaca nametag milik Vega. "I am Allright, kan? Vega."
Meras namanya disebut. Vega mengangkat wajahnya. Matanya menatap Axel santai lalu mengangguk membenarkan.
"Semua hal enggak bisa cuman liat cover aja. Kadang kadang cover suka nipu. Sampulnya bagus tapi isinya jelas, atau sebaliknya sampulnya jelek tapi isinya bagus."
"Lo ngomong gitu karena lo suka sama Bertha. Jelas nggak bakal tuh yang namanya menjelek jelekan."
Axel menyimpan sendoknya. Metanya menyorot Gema dengan tatapan menilai.
"Jangan menutupi seribu kebaikan hanya dengan satu penolakan. Harusnya lo inget siapa yang berdiri di samping lo saat lo masih cupu dan jauh dari kata good looking."
KAMU SEDANG MEMBACA
GENESIS [ Completed ]
Teen FictionDia tidak pernah meminta untuk di lahirkan, jika untuk di benci. Dia tidak pernah meminta untuk di berikan napas, jika hadirnya adalah sebuah kesalahan. Dia tidak pernah meminta untuk bisa menapaki bumi, jika hadirnya adalah bentuk sebuah kehancuran...