Gadis kecil dan ibunya terusir dari distrik 51. Mereka tidak lagi diizinkan untuk tinggal di sana dengan alasan apa pun. Orang-orang menganggap mereka sebagai bibit kedengkian yang ingin menghancurkan kepala distrik 51. Alasan kedua perempuan itu tak lagi dipedulikan. Perdebatan dengan membawa surat keterangan dokter tentang apa yang terjadi pada gadis kecil juga tak lagi diindahkan.
Mereka tak mau tahu. Mereka tak mau peduli. Mereka tak mau bersimpati.
"Nggak mungkin orang terhormat merkosa anak kecil. Paling anaknya yang goda-goda," kata orang yang satu. "Namanya orang khilaf kok dibesar-besarkan."
"Iya, betul. Nggak ada ceritanya orang merkosa anak sekecil itu. Paling cuma dibiat-buat biar minta ganti rugi," kata yang lain.
"Emang dasar sampah. Sudah untung jadi keluarga orang terhormat kok malah kayak gitu? Apa sebenarnya maunya?" kata yang lainnya lagi.
Bukannya membela korban, mereka malah makin menelanjangi, mengupas segala aib dan membongkar semua yang berusaha ditutupi ibu beranak itu. Tanpa ragu dan segan merek mengoyak setiap detail hidup Ibu dan Gadis, lalu mereka bagikan potongan bangkainya pada semua orang.
Tentu saja Ibu dan Gadis takkan bisa memenangkan perkara itu. Pihak lawan dibantu kekuatan yang luar biasa besar, uang.
Siapa yang berani melawan keagungan uang?
Desir angin dari gerakannya saja membuat orang terhipnotis. Bagaimana jika uang itu diterbangkan ke kantong-kantong kosong perangkat hukum distrik 51?
Sudah pasti segala yang diinginkan uang akan segera diberikan. Sudah sejak lama sekali manusia tunduk dengan patuh pada kekuasaan uang ini, kekuasaan tertinggi di bumi.
Mereka kalah. Persekusi dilakukan. Tak ada lagi tempat untuk keluarga dan persahabatan. Tak peduli orangtua dan sanak kerabat masih ada di sana, ibu beranak itu dibuang begitu saja. Mereka menggelandang di jalanan, berbekal segenggam uang dari dalam celengan ayam. Jika mereka harus naik kendaraan umum, maka uang untuk makan pun habis. Sedang di jalanan, air putih saja harus bayar.
Saat beruntung menemukan masjid, mereka minum banyak-banyak agar perut mereka penuh. Sayangnya, mereka tak bisa menginap karena menurut penjaga, masjid marmer yang licin dan berkilau itu untuk beribadah, bukan menampung gelandangan kotor seperti mereka.
Alis Gadis mengerut melihat betapa berbedanya kenyataan dengan yang tertulis di buku agama, masjid terbuka untuk musafir. Saat ia berusaha mengemukakannya, lelaki penjaga masjid itu menghardik, "Iya, musafir boleh. Pengemis nggak bolek, Dik. Nanti kalian ambil uang kotak amal, yang disalahkan itu saya."Gadis menarik baju ibunya. "Apa kita mau ambil uang kotak amal, Bu?"
Ibunya menggeleng sedih. Hatinya terluka lagi, tapi tak berdarah. Dia mengucapkan terima kasih, lalu kembali ke jalanan, mengukur kemalangan yang beruntun menyertainya. Kaki-kakinya yang dulu indah selalu diciumi suaminya kini lecet berdarah. Sandal bagus yang dipakainya sejak dari rumah mencabik tumit dan tepi telapak kakinya. Namun, kaki itu harus terus berjalan, seperti kaki anaknya, mencari penghidupan yang lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Runaway Girl (On Going)
Mystery / ThrillerJuan Butoijo menjadi yatim piatu setelah kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orangtuanya. Pada saat yang sama, dia mendapatkan luka pada wajahnya, luka yang membuatnya merass tidak menarik. Gadis-gadis hanya menginginkan hartanya saja. Memangnya...