Ibu dan anak itu sampai juga di ibu kota. Mereka kelelahan, mabuk perjalanan, dan sudah sangat muak dengan jalanan. Debu, suara kendaraan, panas terik matahari kemarau, jeritan supir yang mencari penumpang, hardikan klakson mobil yang sering kali hanya untuk menyapa pengemudi lain atau pamer kedahsyatan suara saja. Hingga mereka sampai ke stasiun kereta yang berhenti di stasiun ibu kota, banyak sekali keributan dan peristiwa yang telah mereka lalui. Semua ini membuat mereka lelah dan pening.
Berhari-hari di jalanan membuat mereka sangat merindukan rumah. Terkadang, mereka mengenang saat-saat indah ketika mereka masih ada di rumah, duduk berselonjor di depan televisi, menikmati obrolan badut-badut pemerintahan yang bertukar kata dengan kejam seolah sedang bertengkar, padahal di belakang layar mereka tertawa santai sambil membaca naskah peran.
Sungguh, bagi mereka, menonton berita yang mirip dengan adegan-adegan memuakkan pencitraan terhadap masyarakat itu jauh lebih menyenangkan daripada berada di tempat mereka saat ini. Namun, setiap mereka ingin mengeluh, tersumbatlah mulut mereka dengan kenyataan. Mereka masih jauh lebih beruntung daripada pengemis keterlaluan miskin yang kakinya buntung kedua-duanya. Pengemis itu tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah bosnya, mendapatkan yang sebanyak mungkin, bahkan jika harus dengan mencuri.
Ibu dan Gadis kecil duduk di kereta yang bergoyang-goyang dengan tempat duduk berlapis jok kulit palsu yang keras dan tidak nyaman. Ibu membelai kepala anak gadisnya dengan lembut, berharap anak itu segera tidur. Kupingnya sudah lelah mendengarkan keluhan demi keluhan.
"Sebentar lagi ya, Nak. Sebentar ... saja lagi," kata Ibu menenangkan anak gadisnya yang terlihat sudah sangat ingin menangis.
"Aku capek, Bu." Anak itu merengek.
Mereka memang tak lagi berjalan kaki, tapi berpindah-pindah kendaraan dengan penumpang bau dan berbagai macam suara yang tak nyaman di telinga membuat mereka hilang kesabaran. Es soda dalam plastik yang mereka bawa tidak bisa mendinginkan suasana hati yang gundah. Kegelisahan tetap membisikkan kegaduhan dalam hati mereka.
Gadis memandang ke luar jendela kereta, melihat orang-orang yang berjalan cepat atau duduk-duduk saja menunggu. Dia sangat merindukan rumah, tapi tak berani mengatakan apa-apa lagi pada ibunya. Dia khawatir membuat ibunya jadi lebih sedih dan lebih letih daripada sekarang.
"Di sana nanti kita di dalam rumah terus, Bu?" tawar Gadis kecil yang menggandeng tangan ibunya dengan patuh saat mereka turun dari kereta.
Ibu itu tersenyum, lalu mengusap keringat yang meluncur turun dari dahinya setelah berusaha keluar dari jejalan manusia yang tak mau mengalah saat turun dari keret. "Iya, Nak. Keluarga kita itu baik," katanya dengan nada pasti yang meyakinkan. "Dia selalu Ibu tolong sejak sekolah. Sekarang sudah sukses dia banguj bisnis sama istrinya. Selama di rumah kita, dia baik banget. Dia bantu Ibu cuci piring sama nyapu walau laki-laki. Ayahmu sayang sama dia."
Gadis kecil tersenyum sendiri, membayangkan memiliki keluarga baru tempat dia menceritakan kisah kehidupannya. Gadis sangat suka bercerita. Biasanya, dia selalu menceritakan dongeng karangannya sendiri pada ayahnya. Sudah sangat lama dia tidak bercerita. Dia sendiri tidak yakin masih ingat salah satu dongeng yang pernah dia ceritakan. Masa-masa sedih dan lelah membuatnya tak pernah lagi memikirkan tentang dongeng. Dia juga tak punya lagi boneka yang selalu menemaninya membuat dongeng baru. Saat ibunya memanggil taksi untuk mereka, Gadis bertanya dalam hati, apa dia boleh meminta boneka baru pada ibunya? Namun, dia menahan pertanyaan itu du tenggorokan. Dia sadar benar kalau uang yang dipakai untuk membelu boneka akan lebih baik jika digunakan untuk makan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Runaway Girl (On Going)
Mystery / ThrillerJuan Butoijo menjadi yatim piatu setelah kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orangtuanya. Pada saat yang sama, dia mendapatkan luka pada wajahnya, luka yang membuatnya merass tidak menarik. Gadis-gadis hanya menginginkan hartanya saja. Memangnya...