24. Ought To

898 188 14
                                    

Gadis kembali ke barak tempat dia dan teman-temannya tidur dengan cepat. Dia sendiri heran, bagaimana bisa dia kembali lebih cepat ke ruangan itu? Kenapa saat pergi mereka harus melewati jalan memutar, bahkan naik lift agar sampai ke kantornya? Kenapa saat turun dia hanya perlu menuruni satu tangga saja?

Perlahan, Gadis naik ke tempat tidurnya dan menaikkan selimut sampai ke dagu. Dia menatap gelapnya langit-langit, membayangkan lagi betapa hangat bibir lelaki itu menyentuhnya. Saat memejam, dia merasa tangan lelaki itu masih memegang tengkuknya, meremas bagian belakang kepalanya seolah bagian itu memang luar biasa menggoda.

Gadis tersenyum sambil memejamkan mata. Dia merasa tubuhnya meronta, mengharap lagi sentuhan yang tadi dirasakannya. Sambil menggigit lengan bajunya, Gadis mengubah posisi tidur menyamping agar tidak lagi melihat langit-langit bisu kamar ini. Dia berharap bisa menemukan lagi lelaki itu lain kali, menciumnya atau mungkin lebih.

"Datanglah dalam mimpi," bisik gadis itu pada diri sendiri. "Aku akan sangat berterima kasih."

Tidak. Dia tidak bermimpi. Dia tidak memikirkan apa pun lain selain rasa bahagia yang tiba-tiba menyusup masuk ke dalam jiwa. Gadis sudah susah payah membayangkan lelaki tampan dengan kesedihan dan luka pada wajahnya, tapi ternyata yang terbentuk pada mimpinya hanyalah guratan merah muda pada wajah lelaki itu. Dia tidak bisa membentuk wajah lelaki itu. 

Aneh!

Guratan merah muda pada wajah lelaki itu membentuk jalan penuh magma di depannya, membuatnya bingung harus lari ke mana. Di kanan kirinya hanya ada kegelapan. Di depannya hanya ada kebingungan. Dia tidak bisa mundur karena jalanan di belakangnya menghilang, tapi dia juga tidak memiliki kekuatan untuk maju.

Panas dari magma itu terus menguar, memanaskan kepalanya hingga tidak bisa berpikir. Perlahan dia berusaha untuk berjalan, tapi sepasang suami istri yang telah meninggal dimakan setan itu muncul kembali dalam mimpi itu. Mereka melayang dan tersenyum padanya, menertawakannya. 

"Coba kamu mati juga," kata perempuan cantik itu sebelum berpaling pada suaminya dan terbang meninggalkannya.

Dia benar. 

Kalau Gadis mati, tentu dia bisa terbang mengelilingi tempat ini, mencari tempat terbaik untuk berlindung. 

Tapi, bagaimana caranya mati?

Gadis terus berpikir dan berpikir sampai akhirnya dia menemukan cara untuk mati. Dia ingin melompat ke magma itu dan membiarkan tubuhnya terbakar. Mungkin dengan begitu dia bisa terbang mencapai tempat yang jauh. Tapi, apa artinya bisa mencapai tempat ynag jauh kalau akhirnya dia mati?

Gadis mundur selangkah, lalu saat dia memutuskan akan melompati semua ratakan di jalan akibat magma itu, seseorang memegang badannya. Ada yang memanggil namanya. Tangan-tangan lain menariknya, mendorong, dan mencubitinya. 

Gadis terbangun dengan jeritan melengking dari mulutnya. Dia meronta dan mengejang, berusaha menendang apa saja di sekitarnya agar bisa terlepas dari jeratan tangan-tangan itu. 

Lalu, dia membuka mata. 

Tangan-tangan itu bukan tangan terbang, bukan juga zombie yang keluar dari dalam tanah. Tangan-tangan itu milik teman-temannya dan pengawas yang berusaha membangunkannya. 

Dia tersengal melihat mereka semua. Dia menatap mereka satu per satu sambil meraba kehidupan yang ada di depannya, meyakinkan diri sendiri kalau yang dilihatnya kali ini nyata, bukan mimpi. 

Ini memang bukan mimpi.

Matahari sudah masuk lewat jendela besar di bagian atas dinding. Semua orang sudah memakai pakaian mereka dan mengelilinginya. Pandangan mereka semua sama, bingung. 

The Runaway Girl (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang