06 : familier

202 43 0
                                    


Dua manusia dipertemukan itu sudah biasa, dua insan yang di hadapkan namun perasaannya bertabrakan dan bertepuk sebelah tangan juga sudah biasa. Semesta sering kali menyaksikan kisah pedih bagai elegi itu tiap tahun, bulan, hari bahkan tiap detik. Dan mungkin aku salah satu diantara ribuan manusia payah dalam urusan perasaan.



Kata orang-orang jatuh cinta untuk pertama kalinya itu menyenangkan. Coret, itu tak berlaku untukku. Rasanya pahit, lebih dari jamu yang sering di buatkan nenek sewaktu kecil. Jamu itu obat, beda halnya dengan cinta. Bagiku itu racun, candu dan mematikan. Sekali lengah kamu kalah.




Diam-diam sudut mata dan sudut bibirku merasa getir dengan kisah cinta yang ku alami. Namun di lain sisi, aku mempecundangi diriku. Hidup tidak harus soal cinta pada orang asing yang baru ditemui kemudian di kagumi, masih ada banyak hal lain yang bisa membuat bahagia, masih ada banyak hal lain yang di sebut cita-cita.




"Gak boleh cinta-cintaan masih piyik," Gumamku membuang bola kertas berisi coretan rumah dan tulisan tidak jelas layaknya benang kusut ke dalam tong sampah. Aku keluar dari kamar mandi, menemui Jiyoon dan Soeun yang menungguku diluar. Rencananya kami hari ini akan pergi ke mall, melihat etalase toko yang dipenuhi es krim, skincare atau apalah itu yang di sukai anak perempuan.




"Loh kok ada...." Kagetku melihat sosok Jake dan Jay berdiri tak jauh dari posisi Jiyoon dan Soeun. Apa mereka juga menungguku?



"Pit, aku lupa bilang kalau yang ngajakin ke mall itu sebenernya Jake sama Jay. Hehe sorry jadinya kamu kaget ngeliat mereka berdua di sini."



"Ayo deh otw, taksi online yang gue pesen udah ada di depan." Jake mendahului. Menarik pundak Jay supaya mengikuti langkahnya.



Jake dan Jay bukan cowok yang pandai bersosialisasi dengan perempuan sebenarnya, tapi karena setengah jiwa ku dan Jiyoon punya sifat anak laki-laki atau sering disebut tomboi, makanya kami lekas akrab. Untuk sekarang aku sudah mengurangi sifat anak laki-laki. Walau kadang jika duduk di ruang makan salah satu kaki ku masih naik ke atas kursi, masih suka main bola bersama Sunoo dan masih jarang memakai rok jika di rumah. Ya, setidaknya aku beradaptasi dengan dunia perempuan yang sesungguhnya.










Lampu-lampu terang di atas langit-langit terpantul cerah di hamparan marmer lantai dua mall, sejak memasuki area perbelanjaan kami disambut wangi khas berbeda dari tiap inci tempat ini. Jiyoon mengusulkan makan lebih dulu, namun pendapat Jake mengubah keputusan langkah kaki kami.




"Makan!" Soeun kembali meminta penuh penekanan. Melihat deretan makanan di etalase toko sayang sekali rasanya jika dilewatkan. Kedua kaki Jay dan Jake mengerem mendadak. Terdengar dengusan pelan dari mereka, frustasi karena mungkin ini pertama kalinya mereka ke mall bersama anak perempuan.




"Aduh kita pisah aja deh, nanti ketemu di restoran mana gitu." Aku yang pusing jadi berbicara keras tanpa sengaja, sekaligus cemberut sejak tujuan kami tak satu arah, satu haluan.



"It's good idea, gue sama Jay ke store kalian ke resto atau manalah terserah. Asal jangan pulang duluan, you guys bertiga nih tanggung jawab kita." Jake menunjuk dirinya dan Jay diakhir kalimat. Aku mengangguk-angguk saja, terserahlah apa kata Jake, yang penting mereka setuju dengan usulanku.



Aku, Jiyoon dan Soeun segera putar balik pergi mencari makanan ringan dan duduk santai di sana sampai makanan kami habis. Kemudian berlanjut pergi ke drug store untuk sekadar melihat jajaran botol skincare yang di pajang. Membaca setiap tulisan kecil pada botol, aku sedikit tergiur dengan apa yang di tawarkan. Namun di sisi lain, uang di dompetku menolak di tukar dengan benda berisi 100ml cairan yang dioles ke wajah setiap malamnya.



"Jiyoon udah dapet?" Tanya Soeun menenteng satu paper bag berukuran sedang di lengannya.



"Udah! Pita kamu beli apa?" Suara Jiyoon kentara gembira.



"Enggak, aku masih ada di rumah. Kesini kan cuma nganter kalian beli," Jawabku tersenyum simpul. Ah tidak apa-apa kok, hatiku biasa mengalami hal ini. Merasa iri juga tidak baik, aku memilih merelakan sesuatu yang di dapat oleh orang lain. Mungkin bukan takdirku.



"Eh yaudah kalau gitu. Ini Jake udah ngasih tau kita ketemu di lobi aja." Soeun mengunci layar ponselnya begitu menerima pesan dari Jake.



"Yeu tanggung jawab pala botak, masa dia duluan ke lobi." Jiyoon mengomel ketika kami berjalan keluar area toko, berjalan cepat meninggalkan lantai tiga dan menekan pintu lift untuk pergi ke lantai utama. Aku sedikit menertawakan kekesalan Jiyoon, ia terlihat lucu saat berlagak marah dan galak.



"Adek!" Refleks aku berteriak begitu pintu lift terbuka, ada Sunoo yang berdiri menunggu ibu dan ayah membayar bill makanan di kasir. Jadi aku tidak diajak makan nih? Jiyoon dan Soeun menyadari keberadaan keluarga ku juga, aku pamit ke mereka dari pada harus merepotkan Jake atau Jay yang harus mampir ke rumah untuk mengantarku pulang.




"Bye! Aku titip salam buat Jay sama Jake ya, bilang aja aku balik sama ayahku."



Sunoo menghampiriku dengan wajah semringahnya. Satu tote bag besar ditenteng secara hati-hati. Aku penasaran dengan apa yang dibeli Sunoo. Rupanya itu makanan yang akan di sajikan nanti malam.



"Abis kemana aja kak, diajak makan bareng aja sok-sokan nolak."



"Ya aku ngiranya Sunoo cuma makan sama ibu, kan itu udah biasa. Gatau kalau ada ayah juga. Kenapa gak bilang coba? Sekarang  asik nih makannya sendirian," Tuturku setengah merajuk. Sunoo menyodorkan cup ice tea padaku. Lihat, dia sangat tahu bagaimana menghentikan cicitanku.



"Itu temen-temen kakak ngeliat ke sini." Sunoo menunjuk ke depan dengan dagunya, aku memutar tubuh empat puluh lima derajat, netraku sontak diberi pemandangan Jiyoon, Soeun, Jay dan Jake yang melambaikan tangannya. Aku membalasnya—segera melambaikan tangan sebelum akhirnya ibu dan ayah memanggil kami berdua menuruni eskalator untuk pergi ke parking place di basement.











pov off.



Dua manusia yang hampir berkepala empat itu terasa familiar bagi Jay. Entah kapan dan dimana ia agaknya pernah bertemu dan bertegur sapa dengan kedua orang tua Gempita. Tentu sebelum Jay datang ke rumah Gempita dan di sambut senyum ibunya yang ramah.




"Gue kaya pernah ketemu dan ngobrol sama orang tuanya Pita deh," Gumam Jay tak sadar.



"Iya pernah ketemu sama ngobrol kok,  kan kita pernah jenguk Gempita terus ada ibunya di sana." Jake membalas gumaman kecil Jay, terdengar lumayan jelas di telinga kanannya.




Jay tidak membalas. Mobil taksi yang Jake pesan sudah sampai di depan mall, kebetulan mereka satu arah. Jadi sekalian menghemat uang.



   

Dekap ; JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang