19 : dalang

110 30 0
                                    

Kabar buruk. Hari ini aku dikeluarkan dari ekstrakurikuler fotografi, alasan yang sama sekali tidak masuk akal. Orang yang menjabat sebagai bendahara bilang senior harus punya kamera pribadi masing-masing, sementara aku memang tidak punya benda penangkap citra tersebut. Badmood, aku mengaduk-aduk jus jambu merah yang ku pesan bersama Jiyoon.



Tak ada niat menjamah makanan berupa dimsum yang tersaji di atas meja kantin. Padahal itu sudah di pesankan khusus oleh Soeun. Mendadak Soeun pergi ke aula mengurus acara lomba musiknya, jadi Soeun menyerahkan semua bagiannya pada kami. Jiyoon memintaku untuk ikut memakan dimsum, sesekali juga ia menyodorkannya di depan mulutku.




"Sebel banget deh aku, duit dari mana coba beli kamera." Setengah mendengus akhirnya aku memasukkan dimsum ke dalam mulut, mengunyahnya pelan tanpa suara. Memang nasib beruntung belum bisa ku dekap secara erat, ia akan tetap merenggangkan diri lalu pergi tanpa pamit berarti.




"Keluar aja, Pit. Gabung ke PMR yuk." Jiyoon mengandalkan keadaan untuk mempromosikan ekstrakurikuler yang sedang ia jalani selama setahun kebelakang. Tidak ada bayangan bisa mengurus orang sakit secara telaten, kepalaku menggeleng cepat. Emosi naik turun, agak pemarah, bisa-bisa orang yang sakit semakin sakit.



"Aku kena mulu kalau ada razia orang miskin," Keluhku tanpa sengaja. Ini perasaan sedih paling mendalam jika sudah menyangkut status sosial.


"Hush.... Pita, what are you talking about? don't play around."


Aku tertawa pelan, menyelipkan kata maaf pada Jiyoon dan diriku sendiri. Kami melanjutkan acara makan khidmat, tanpa ada obrolan karena makan sembari mengobrol itu tidak baik. Aku mengedarkan pandangan, sejauh mata memandang sungguh terlihat menyenangkan jika tidak ada sosok Sunghoon di sini.



Sunghoon sibuk berlatih paskibra untuk lomba. Semua sibuk berlatih, kecuali aku. Jiyoon juga berlatih untuk lombanya, sekarang diberi durasi dua puluh menit untuk istirahat. Sekuat apapun yang terlihat, aku tetap anak perempuan ayah yang lemah. Bahu konkret yang katanya sekuat baja itu saat tersenggol nyatanya akan goyah.



Jiyoon melirik jam di pergelangan tanganku, waktunya istirahatnya telah habis. Ia harus beranjak dari tempat yang damai ini untuk technical meeting. Aku memberi ucapan semangat untuknya, selang beberapa puluh detik, punggung Jiyoon tertelan punggung-punggung manusia lain.



"Pit, kamu sendirian aja nih yang lain kemana?"


"They are busy. Aku mah wasted," Jawabku merespon pertanyaan Jake. Pemuda itu duduk di sebelahku, buliran keringat dari keningnya menjelaskan betapa terkurasnya tenaga Jake kali ini. Jake menopang dagu, diam seribu bahasa sejak aku menunjukkan diri sebagai orang terbuang.



"Pit, aku denger-denger kamu punya masalah sama Jihan."



"What? Enggak tuh! Siapa yang bilang kaya gitu?"


"Banyak, Pit. Gatau siapa yang bilang duluan. Aku juga barusan tau dari anak kelas sepuluh yang ngobrol di tribun lapangan basket. Kebetulan kan deket sama mereka, I didn't hear it on purpose."


Mendengar penuturan Jake aku mengetuk dahi menggunakan telunjuk. Aku anak baik-baik mana mungkin mencari masalah tanpa memikirkan imbasnya. Lalu, Jihan? Aku dan adik kelas berlesung pipi itu baik-baik saja.



"Jay yang lebih banyak denger cerita mereka, soalnya dia pemain cadangan. Coba deh kita ke Jay nya langsung, kita bakal bantu beresin masalah kamu," Lanjut Jake menepuk bahuku. Ku kira konfliknya separah itu sampai-sampai Jake ikut menyalurkan dukungan. Tetap tenang, Jake mengajak ku pergi ke lorong di dekat pintu belakang sekolah.



Di sinilah aku, mengabsen satu persatu di antara mereka. Panik ku menyerang seketika. Jungwon yang memegang kunci solusi di sini, ia yang tahu siapa dalang di balik prasangka salah Sunoo padaku. Kabar angin itu mungkin mengakibatkan diriku terdengar sangat jahat di telinga Sunoo, maka kecewanya menjulang tinggi. Namun, kenapa ia sepercaya itu pada orang lain di banding aku, kakaknya sendiri.



Aku menatap Sunoo dalam. Berharap ia masih mau menaruh rasa percaya padaku. Jihan berdiam diri, duduk di salah satu kursi yang bisa di tempati. Selama ini hubungan ku dan Jihan tidak lebih dari seorang kakak-adik kelas. Jihan menyapaku hangat setelah bergabung di deretan meja dan kursi baru yang masih belum terpakai, raut wajahnya merasa bersalah padaku. Hah apa sih yang sebenarnya terjadi. Lalu di mana Jay dan Jungwon?



"Pit, aku gabisa lama-lama nih. Sorry." Mengerti Jake bukan orang yang suka mencampuri masalah orang lain, aku memberinya izin pergi dari sini. Toh, Jake memang di sibukkan dengan persiapan lomba.



Usai kepergian Jake, dari balik punggung terdengar suara menolak dari seorang perempuan, Jungwon terdengar terus memaksa temannya itu bergerak maju sebelum di seret menggunakan tenaga dalam. Semuanya terkejut, baik aku, Sunoo dan Jihan, kami tak menyangka Jaehee adalah orang yang menimbulkan masalah ini.


Jay menaruh sisa sticky note berwarna abu-abu, tulisan buku Jaehee yang tulisan tangannya lumayan mirip. Jaehee salah satu teman baik Jihan sejak sekolah dasar, sampai sekarang mereka bersama. Dan Jaehee agaknya merasa muak dengan keberuntungan yang terus di dapatkan Jihan.



"Jaehee, aku gak nyangka kalau kamu yang nyebarin berita kak Pita nampar dan bully aku. Kenapa, Hee? Kak Pita sama aku pernah ada salah sama kamu?" Tanya Juhan bangkit berdiri menantang Jaehee.



"Oh jadi kamu," Gumamku kecil. Impresi pertama yang ku berikan padanya tidak salah, benar Jaehee bukan orang yang sangat baik bagi sekitarnya. Sunoo memandangku bingung, aku paham kenapa Sunoo marah. Ya karena ia tidak suka tindak main tangan dan perundungan.



"Gue benci banget lu deket-deket sama Sunoo meskipun sebagai temen. Dan kak Pita, please berhenti dari semuanya. Stop temenan sama kak Heeseung, kak Sunghoon, kak Soeun dan segelintir anak populer lainnya demi popularitas!"



"Hey, shut up your freaking mouth."



Terkejut. Napasku hampir tak bisa bekerja leluasa, Jay setengah berteriak di hadapan kami. Berteriak karena Jaehee memang menyalakan api emosi kami semua, emosi yang bercampur rasa tak percaya. Bahu Jaehee naik, bergetar takut karena Jay. Aku menghela napas, lebih baik membuat garis selesai di sini.



Aku membawa Jay pergi dari sana, setengah menyeret dan mengatakan banyak kalimat permohonan supaya Jay bisa menahan emosi buruknya. Jujur aku takut Jay ikut menyemburkan amarahnya padaku. Emosi sesaat pasti akan merembet kemana-mana.



"Jay, keep calm. Tahan emosi kamu."


"Pit, dia udah nyangka kamu sejauh itu. Belum lagi ancaman-ancaman itu, kalau di laporin ke pihak berwajib juga dia kena. Siapa coba yang nyuruh dia ngelakuin ini ke kamu?" Masih berapi-api, Jay memelankan suaranya saat berbicara denganku. Namun, ku lihat tangannya masih terkepal gemas di posisi.



"Gak apa-apa, dia gak ada kerjaan makanya neror-neror. Aku anggep masalahnya udah selesai." Aku menepuk pelan bahu Jay beberapa kali, menatapnya lembut. Jay sepakat jika ia hanya akan membantu sampai aku mengatakan masalah ini selesai.



"Makasih banyak udah selalu bantuin aku, Jay."


Dekap ; JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang