kantin : 23

109 26 0
                                    

Aku melongokkan kepala melewati bahu Sunoo yang berjalan di sampingku, kami masih berjalan menelusuri lorong antara lobi dan ruang aula bersama Ni-ki. Sekitar lima menit lamanya, Ni-ki menjelaskan bahwa ketua ekstrakurikuler fotografi sama sekali tak memberi pernyataan bahwa senior harus memiliki kamera atau ia harus keluar jika tidak punya. Lalu kenapa orang yang menjabat sebagai bendahara bilang demikian?



Anggap aku terlalu cepat mengambil keputusan karena emosi yang tak stabil tempo hari itu, sehingga menyebabkan aku sama sekali tak berani bertanya pada ketua ekstrakurikuler secara langsung kenapa menerapkan peraturan semacam itu.




"Berarti ada kemungkinan kak Pita bisa balik ke fotografi." Ni-ki mengakhiri ceritanya. Ni-ki salah satu anak fotografi juga, mungkin ia mencari tahu kenapa aku bisa keluar tanpa alasan yang jelas.



"Kak Pita udah di ajak kak Sunghoon buat masuk paskib sih, Ki."



Tergambar kentara raut terkejut Ni-ki mendengar penuturan Sunoo, soal tawaran Sunghoon masih ku pikir dalam kepala. Selama ini aku belum memiliki pengalaman dalam pasukan baris-berbaris. Opsi kembali ke ekstrakurikuler fotografi lebih besar persentasenya.



"Baru ngajak doang kok, belum tentu juga kan kakak mau. Yaudah deh nanti coba ngobrol sama Jay, siapa tau bisa bantu juga. Makasih ya Ni-ki atas infonya." Aku tersenyum lalu melambaikan tangan ke mereka yang akan segera memasuki kelas. Aku berjalan lebih cepat menuju anak tangga, walau masih sepi, di beberapa anak tangga telah di duduki siswa lain. Setengah malu aku mengucapkan permisi pada mereka, sisanya merutuk dalam hati kenapa duduk di anak tangga yang jelas digunakan untuk berlalu-lalang orang-orang.



Melihat bagian kelas MIPA dari jarak lumayan jauh aku di suguhi pemandangan Jake dan Sunghoon yang memperebutkan sesuatu, selembar kertas lusuh di angkat tinggi oleh Jake. Masih dalam kondisi tertawa renyah, ia kabur membawa kertas tersebut. Dua orang teman lain bersekongkol dengan Jake yang penasaran dengan isi kertas, mereka menahan Sunghoon yang berteriak menahan Jake membaca tulisan dalam kertas.



"Ada banyak pintu yang sudah ku ketuk. Pintu rumah, pintu kayu, pintu besi bahkan pintu taubat, tapi kenapa aku belum bisa mengetuk pintu hatimu."


Suara tawa masih terdengar dari Jake dan dua temannya. Sunghoon terlihat menahan emosi dan malu di saat bersamaan. Aku sengaja memelankan langkah sejak firasat dalam jiwa mengatakan adegan di depan sana cukup rusuh. Kemeja serta rambut hitam Sunghoon pagi-pagi sudah berantakan.



"Ini beneran yang nulis lu? Sumpah, Hoon? Ngga nyangka gue!"



"Jake anj*ng, lu berdua juga. Arghh lepasin!" Sunghoon meronta lebih hebat dalam cengkraman kedua temannya.



Aku ragu untuk melewati mereka, aku salah naik tangga. Harusnya lewat tangga satunya lagi, jadi tidak perlu melewati kelas anak MIPA. Bergelut pusing dalam pikiran, tubuh tinggi yang menggendong tas hitam berjalan di sampingku.




"Hai, asik nih ada kemajuan jam segini udah nyampe sekolah." Aku melirik Heeseung yang berjalan di sampingku dengan jarak 5cm, ku lirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, masih pagi dan Heeseung hampir sampai ke depan kelas. Biasanya Heeseung mampir ke kelas lain atau kantin lebih dulu.



"Iya nih, males di kantin yang ada gue tubir mulu sama si Soojin. Sepupu durhaka emang dia, pengen banget gue ulek itu mulut biar gak sembarangan kalau ngomongin gue di depan temen-temennya," Balas Heeseung di sertai senyuman khas, hingga lontaran kekesalan mengubah ekspresi wajahnya dalam beberapa detik saja.



"Kayaknya dari kelas satu kalian ribut mulu, emang gak dimarahin sama ortu kalian ya?"


"Kita kalau depan keluarga besar mah akur-akur aja, Gem. Lagian keluarga gue bukan keluarga yang kaya yang uwu-uwu di televisi itu. Ngobrol ya secukupnya, tolong-menolong ya seperlunya gitu deh."


Aku mengangguk. Watak Heeseung dan Soojin mencerminkan kepribadianku dan Sunoo dulu, sampai sekarang juga masih sedikit. Heeseung kembali menceritakan betapa terkuras tenaganya demi memperpanjang rasa sabar. Dan pagi ini aku bisa selamat dengan mudah dari Sunghoon. Emosinya memuncak, Sunghoon masuk ke dalam kelas mendahului Jake. Pagi ini aku dan Heeseung hanya menyapa Jake.











Jay menarik sedotan dari tangan Jake paksa, hari ini menu makan kami terasa berbeda. Jay kesal bukan karena makanannya tidak enak, melainkan ia lebih suka makanan rasa gurih di banding rasa pedas. Kali ini menu yang tersaji ada telur balado, sambal goreng tempe sampai ikan berbumbu kecap pedas menempati tempat makan portabel kami. Hiperbolanya, segelas air mineral langsung tandas terkuras lewat sedotan karena Jay tidak tahan makan pedas.



"Kan udah gue bilang lu beli makanan yang lain aja," Ujar Sunghoon melihat Jay. Kasihan tidak kasihan, Jay juga sempat ngeyel, tegar tengkuk. Beginilah konsekuensi yang ia terima.



Meninggalkan Jay yang masih memburakan emosi, aku menatap ikan berbalut kecap di tempat makanku. Daging ikan segar itu menakutkan batinku, sejak lima menit lalu aku hanya mampu menelan telur dan sambal goreng tempe. Hari ini menu makan di protes sebagian murid. Katanya terlalu murah jika di banding biaya mahal yang di keluarkan untuk uang bulanan tahun ini.



"Pit, kok ikannya ga dimakan?" Heeseung bertanya penuh kebingungan.



"Enggak suka ikan," Jawabku. Jiyoon melirik, hanya Jiyoon dan Soeun yang tahu kenapa aku tidak menyukai ikan. Waktu kecil aku hampir mati karena tak sengaja menelan ikan bersama durinya. Itu hal paling menakutkan bagiku, sampai sekarang. Jika di hadapkan dengan ikan, nyawaku bagai di ambang pintu antara hidup dan mati.



"Mau tukeran, Pit?" Jiyoon segera menawarkan bantuan.



"Eh gak usah tukeran, ini ikannya buat kamu aja semua." Aku mengoper ikan mati berbalut bumbu pedas itu ke tempat makan Jiyoon. Sedetik, baru kusadari tatapan menelisik yang di lemparkan Sunghoon. Ku kira dia tahu kalau tulang ikan pernah membuka gerbang kematian untukku, tentu cerita itu bergulir dari mulut Sunoo.



Usai makan, bel pun mungkin akan segera berbunyi. Alarm otomatis tanpa pengaturan itu terngiang nyaring di gendang telinga, suara Sunoo dan Ni-ki menguasai penjuru kantin hari ini. Belum lagi teriakan Jungwon yang minta mereka berdua berhenti dari acara berlari. Aku menatap sekeliling gemas bercampur malu, dua orang anak laki-laki tak mau berhenti meneriakkan namaku.



"Rame banget kaya trio macan," Celetuk Jake mengomentari ketiga adik kelasnya.



"Urgent, kak! Duh!"



"Gak usah di kasih tau gue bilang! Ember!" Jungwon tergopoh dalam larinya. Ia terus menyela pembicaraan Sunoo dan Ni-ki. Mengerjap bingung, aku segera meminta penjelasan pada Sunoo. Apa Jungwon punya rahasia?



"Eh lho? Nanti lagi aja deh, nanti Sunoo kasih tau pas di rumah. Kalau bahas di sini ntar makin ribut. Y-yaudah kalo gitu duluan ya kakak kakak sekalian." Sunoo kikuk, lengan kanannya menarik Ni-ki menjauh dari meja kami. Baru sampai di hadapanku tapi, sekarang mereka bertiga langsung kabur. Ada apa sih ini?



"Makin membingungkan aja tingkah adek kalian," Gumam Heeseung menatap aku dan Jay bergantian.



"Iya aneh sama aja kaya kakak-kakaknya." Sunghoon membalas pelan. Masih bisa ku dengar karena jarak kami lumayan dekat, aku mengedarkan pandangan. Tidak mau terpancing emosi akibat perkataan Sunghoon.

Dekap ; JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang