meratapi ranap : 44

42 14 9
                                        

Pada pijakan-pijakan rapuh bentala, ada suara tangis yang riuh, tapi tetap berteman baik bersama pedih dan hening. Belum puas ia mengadu suara tangis bersama kekasihnya semalam, sekarang ia menangis sendiri pagi-pagi di dalam kamar yang bukan miliknya.




Gempita memejamkan matanya cepat, genangan air di sudut mata minta dibuang secepatnya. Akan Gempita lakukan walau itu berdampak buruk bagi matanya yang sekarang telah keruh pandangan dan sebentar lagi pasti kembali meninggalkan bekas merah layaknya bengkak sehabis di pukul orang mentah-mentah.





Semalam ia pergi dari rumah Heeseung tanpa pamit pada sang tuan rumah, tapi sayang sekali ia tak di ijinkan pergi oleh satpam yang berjaga. Wajar toh sudah malam, mana mungkin perempuan pergi sendirian selarut ini. Hasilnya Gempita terjebak menangis layaknya anak kecil yang hilang lalu ditemukan oleh penjaga keamanan pusat perbelanjaan. Pasti ada perihal buruk yang terjadi saat makan malam, karena risau pak satpam menelepon Heeseung. Laki-laki itu tentu panik sebab tak menemukan Gempita di kamar tamu yang sudah di sediakan prakala.




Heeseung paham apa yang Gempita rasakan. Ia juga menyesal, beribu maaf sempat terlontar dari mulut Heeseung kala ia mengantar Gempita masuk ke kamar untuk istirahat. Sayang sekali, kata maaf darinya tak memiliki dampak signifikan untuk goresan yang mencelus ke hati lembutnya. Heeseung tertindas pedas oleh ekpektasinya sendiri pun karena reaksi kedua orangtuanya. Seharusnya makan malam yang perdana ini di jadikan gerbang pembuka untuk kebahagiaan yang kekal bersama Gempita.




Predestinasi berujar lain, keinginan dua insan itu tidak di restui oleh Tuhan. Mungkin memang sampai di sini saja? Entah Heeseung juga bingung. Malam kemarin menjadi tambahan memori buruk dalam hidupnya, ia tidak mau hidup seperti seekor burung yang kehilangan sebagian sayap, tidak bisa terbang, tidak bisa melihat alam secara leluasa, tidak bisa merasa udara yang membelai saat ia terbang di angkasa.





Pak satpam semalam menjadi saksi keduanya menangis keras membelah suara gerimis, hampir mengalahkan suara air yang menabrak atap berbahan baja ringan ruangan pribadi milik pak Yahya. Ia belum pernah melihat Heeseung se-rapuh malam kemarin, sekeras apapun Gempita meminta pergi, laki-laki itu menahannya. Entah bermaksud akan menyakiti lebih dalam atau justru akan mengobati setidaknya sampai Gempita berada di titik aman.




Gempita menghapus air matanya sendiri, apa ia harus menandaskan kisah cintanya dengan pria pemilik senyum manis bernama Heeseung Tirta Darma? Apa Heeseung sengaja melakukan ini?



Pikiran buruk langsung menyerang, sampai Gempita lupa kalau latar belakang keluarganya tak di senangi oleh kelurga Heeseung. Kentara mereka orang terpandang, strata sosial yang melekat sejak dulu selalu sama dan tidak pernah mengalami kemunduran. Lalu Gempita mau datang merusak status sosial seorang Heeseung di masa depan?



"Gempita, Bude manggil nyuruh kamu sarapan. Kamu wes bangun opo belum?"




Suara Beomgyu terdengar keras dari luar, dua kali ketukan pintu yang bersahutan mengalihkan atensi Gempita dalam beberapa puluh detik saja. Pemudi itu pergi bersama Heeseung, ke rumah Beomgyu teman karibnya. Gempita sempat dengar juga kalau mereka masih ada hubungan keluarga, walau keturunan nya berdistansi lumayan jauh.




"Tirta udah nunggu, ayo kalo udah bangun cepet nyusul ya!" Beomgyu melihat pintu kamar milik mbaknya yang sudah kosong sebulan yang lalu dengan tatapan nanar. Untung ada satu kamar kosong di rumahnya, bude pasti enggan berbagi kamar. Sementara Heeseung tidur di kamar Beomgyu, pemuda itu sih bisa tidur di mana saja. Tapi Heeseung mengajaknya begadang main game di ruang tengah, jadilah pukul satu mereka ketiduran di sofa.




Dekap ; JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang