20 : celaka

155 31 0
                                    

Apa jika rumah sepi, maka kebahagiaan akan lenyap dan mati? Mungkin sekarang yang sedang aku alami. Setiap inci ruang di rumah ini diam membisu, hanya mampu menggemakan suara perhatian yang jarang terdengar di kedua daun telinga. Hari bertambah, kami semakin sibuk dengan rutinitas masing-masing. Menyapa di ruang makan berakhir melambai saat malam di meja makan juga.



Ayah pulang hampir tengah malam, paling awal saat jarum pendek di dinding lurus dengan angka sembilan. Aku sibuk dengan tugas kelompok, sementara Sunoo sibuk kegiatan Paskibra bersama Sunghoon. Entah apa yang menyebabkan Sunoo mengikuti ekstrakurikuler Paskibra, padahal dulunya ia selalu ikut PMR. Aku sempat menduga Sunoo termakan ucapan Sunghoon.



Aku dan Sunghoon memang merenggang, tapi tidak dengan mereka berdua. Mana mungkin aku melarang Sunghoon berkawan baik dengan Sunoo. Hasilnya sekarang Sunoo sering pulang bersama Sunghoon, kalau tidak pasti diantar oleh Ni-ki sampai depan gang.



"Kak Pit! Ngelamun aja. Ditanyain mana tisu yang kemarin di beli juga." Sunoo dan tatapan tajamnya menyapa pandangan mataku untuk pertama kalinya setelah berhasil mengalihkan fokus. Sunoo baru keluar dari kamar mandi, rambutnya setengah basah karena mencuci wajah, ia bersiap melakukan rutinitas malamnya.



"O-oh itu di lemari yang paling atas, ambil aja. Lupa ngisi ke tempatnya," Balasku. Sunoo segera pergi ke lemari kecil di pojok ruang keluarga. Di sana ada banyak peralatan rumah, dari peralatan mandi sampai pembersih pakaian dan dapur.


Menghela napas pelan aku sekalian menyalakan data seluler di ponsel. Tak begitu lama, panggilan dari Jiyoon masuk memenuhi layar, menghentikan aksi berselancarku di media sosial. Dalam benak, hari ini aku berharap menjadi hari yang menyenangkan tanpa bantuan dari siapapun. Namun, aku tak bisa, dan agaknya Tuhan tahu betul mana yang terbaik untukku.


Pelan tapi pasti aku mengangkat panggilan, baru tersambung pada detik ke satu, ku dengar suara panik Jiyoon di seberang sana. Di tengah kegaduhan orang-orang dan sirine mobil. Mengernyit bingung, aku menolehkan kepala melihat jam di dinding. Sudah jam sepuluh malam, dan Jiyoon masih berada di luar rumah? Aneh.



"Pit, I'll tell you something but maybe it's gonna be a bad news."


"Apa?" Singkatku jadi ikut panik mendengar penuturan Jiyoon.


"Ini ayah kamu.... Nabrak orang di deket perumahan aku."


Itu benar-benar kabar buruk. Aku menelan saliva susah payah. Mendengar informasi yang Jiyoon sampaikan membuat napasku tak berfungsi normal, seperti lupa cara bernapas dari hidung, akupun bernapas dari mulut. Mengernyit panik bertanya sekarang bagaimana keadaan ayahku.


Semakin buruk. Hal yang dikatakan Jiyoon makin menyerang kepalaku, mendobrak ribuan kalimat negatif, memaksaku menderaikan bulir air dari sudut mata. Ponsel yang ku pegang bebannya makin berat, pasti puluhan orang di sana ikut menghakimi ayahku. Jangan-jangan ayahku hancur babak belur.



"Ayah... Gak mungkin...." Aku menggelengkan kepalaku ragu. Sampai Sunoo keluar dari kamar buru-buru menyerahkan ponsel dan memperlihatkan kilas berita yang di sebarkan oleh teman satu kelasnya. Aku sangat tahu bagaimana perasaan Sunoo saat ini, ia merasa di serang sampai hancur berkeping secara tiba-tiba.



"Aku kira ini berita hoax." Sunoo tidak berkata banyak. Melihat keadaan yang mungkin semakin buruk, aku memikirkan bagaimana cara pergi menemui ayah. Malam-malam begini angkutan umum, bus berhenti beroperasi bahkan taksi jarang terlihat kecuali memang harus pesan lewat aplikasi daring.



"Om Jungkook telepon," Ujar Sunoo membuyarkan pikiran. Om Jungkook, adik dari ibu yang sekarang bekerja di perusahaan ternama di kota ini. Masih ada rasa benci yang mengitari hati bila mendengar nama itu, om Jungkook dulu hanya memanfaatkan kebaikan ibu kami. Dan sekarang ia bersenang-senang di atas lelah dan susah payahnya ibu mencari uang untuk biaya kuliahnya di luar negeri.



"Angkat aja," Singkatku. Selanjutnya ku dengar kalimat janji yang keluar dari mulut om Jungkook. Ia setengah sadar menghargai usaha ibuku lima tahun lalu, usaha ayahku yang juga membantu membayar seperempat uang pendidikan dengan jumlah yang tak kecil itu. Uang pensiunan kakek juga habis di gelontorkan untuk om Jungkook.



Om Jungkook bilang dia akan ke rumah kami, menyusul kami supaya aku dan Sunoo bisa melihat ayah di balik jeruji besi dingin. Jika ini mimpi, Tuhan, tolong segera bangunkan aku dari mimpi yang tak pernah aku inginkan ini. Mendengar paniknya Jiyoon saja membuat saraf di sekujur badan tegang, seakan berhenti bekerja.



Aku melihat Sunoo, ia pedih dalam diam. Dan mana mungkin aku membuatnya semakin jatuh dalam kubangan kekhawatiran. Mau mengatakan semua pasti akan baik-baik saja, apanya yang baik-baik saja? Nasib kami bahkan di ujung tanduk. Ayah bisa saja dapat hukuman penjara seumur hidup, ibu bisa tidak pulang karena terlalu sibuk dengan pekerjaan, lalu akhirnya aku dan Sunoo jadi anak terlantar. Menyedihkan.









Aku keluar dari mobil biru metalik milik om Jungkook, ragu aku menyusul langkah Sunoo dan om Jungkook yang terburu-buru. Sampai sebuah raga berparas cantik, dengan balutan kemeja kerja hitam dan rok span di atas lutut menghentikan langkahku. Om Jungkook dan Sunoo berhasil menjauh, meninggalkan aku yang terpaku di hadapan wanita ini.


"Saya nyesel udah bikin ayah kamu terbuai, lalu enggak sengaja nabrak anak kecil yang sedang menyebrang jalan. Tapi disisi lain saya puas melihat kamu menderita. Lihat luka di pelipis dan siku saya, itu juga karena ayah kamu."



Tergagap. Aku sama sekali tak bisa berpikir jernih mencerna semua kata-katanya terasa menelan batuan kasar di permukaan bumi. Wanita ini sepertinya wanita yang sangat dekat dengan ayah saat di kantor, tidak diragukan, bahkan wanita ini pulang larut bersama ayah. Tatapan tak berdosa sedikit tajam darinya ku balas dengan tatapan nyalang penuh amarah. Apa dia orang suruhan?



Menyusul om Jungkook dan Sunoo, aku di sambut tangisan dari ayah dan Sunoo yang pecah. Jam besuk katanya telah berakhir, tapi polisi sangat baik hati memberi waktu tiga menit untuk menangis bersama dalam rengkuhan. Sunoo sangat hancur malam itu, senyum manisnya pudar di ganti tangis sendu. Tak bisa melihat pemandangan itu, aku menunduk dalam. Kemudian mendongak karena ayah menyebut namaku begitu keras, di bawa pergi oleh polisi, ayahku tak terlihat oleh tembok lorong yang menghalangi.



"Ayah!!" Ini persis bagai adegan menyedihkan di drama, tenagaku terkuras sejak mendengar berita penabrakan, semakin tandas ketika ayah di seret polisi ke tempat memilukan. Om Jungkook menarikku dalam pelukannya juga, sementara waktu aku ingin pergi dari sini. Aku benci adegan ini dalam hidupku.



"Gak mungkin, ini pasti mimpi," Gumamku mengelak dari peristiwa pelik ini. Menghapus air mata, aku keluar dari rengkuhan om Jungkook. Berlari dari tempat ini segera dan mencari jawaban yang ku ingin temukan.



"Pita!" Suara om Jungkook mendominasi indra dengar. Semua bayangan mimpi itu berakhir, ini benar-benar fenomena nyata dalam hidupku. Aku yakin om Jungkook bisa membantu kami, membayar pengacara dan sebagainya. Namun, ayah terbukti bersalah, barang bukti dan banyak saksi mata yang mengelilingi ayah sewaktu kejadian. Bagaimana aku melanjutkan hidup yang sudah setengah jalan hancur begini?


Kata ibu, anak harus menjaga nama baik orangtuanya. Ku tambahkan lagi bahwa, orangtua juga harus menjaga nama baik anaknya. Sekarang namaku dan nama Sunoo kotor, bagiku ini hal buruk. Teman-teman kami pasti akan menjauh, kan?







Dekap ; JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang