insan dan perasaan : 24

102 23 0
                                    


klik bintang dulu yuk
sebagai dukungan supaya
work ini tetep bisa lanjut








"Jay emang rame, tapi kadang diemnya jadi sesuatu yang berharga. Kamu tau kenapa?

Diemnya Jay karena terus mengingat nama Tuhannya."


Entah sudah berapa lama kami singgah di kantin, menghabiskan roti isi selai cokelat yang dipegang masing-masing tangan. Aku dan Jake pagi ini tanpa sengaja membawa Jay dalam topik pembicaraan kami, selain aku yang kagum dengan pemuda itu, Jake juga nampak kagum dengan sosoknya. Siapa sih yang tidak kenal pemuda jangkung dengan paras tampan yang kerap dipanggil Jay? Sebagian dari mereka pasti akan mengatakan Jay adalah orang yang baik. Mutlak dan tidak bisa disanggah oleh kalimat apapun.


Mendengar penuturan Jake barusan, aku sontak bergeming. Beberapa detik kunyahan roti di mulutku berhenti. Ada sesak yang menyelip di dasar hati, aku juga merasa bangga pada Jay. Pemuda itu, sungguh, seperti mampu mengubah poin-poin negatif dalam hidup merotasi menjadi positif dengan mudah. Bayangkan, aku diam memikirkan masalah, sementara diamnya Jay terus mengingat Tuhannya. Mungkin Jay juga memohon ampun serta perlindungan setiap detiknya.



"Jay gak pernah cerita sesuatu gitu ke kamu, Jake?" Tanyaku. Mungkin sesuatu yang ku maksud itu merupakan cerita keluhan dalam hidupnya selama ini. Jake lebih banyak menghabiskan waktu bermain bersama Jay dibandingkan aku, siapa tahu Jake menjadi tempat bercerita Jay.



"Ah itu aku cuma nanya aja, iya atau engga. Kalaupun iya aku gak akan nanya apa masalahnya," Lanjutku mengoreksi pertanyaan. Takut dibilang lancang mengorek privasi terlalu dalam.


"Ada banyak cerita sih, Pit. Tiap hari Jay hampir cerita kejadian yang dia alami di hari-harinya. Katanya makin kesini makin pusing. Udah cuma itu aja,  gue mikirnya dia bukan tipe orang yang suka cerita secara rinci."


Mendengarnya, aku hanya mampu mengangguk kecil. Selama ini aku tidak pernah bertanya bagaimana Jay menggunakan waktunya, apa ia bahagia dengan apa yang ia dapatkan? Jay itu memang pendiam jika sedang sendirian, berisik saat ada orang yang mengusik teritorialnya. Heeseung misalnya, pemuda pemilik senyum tiga jari itu kerap mengajak Jay mengobrol. Alih-alih terganggu, Jay merasa senang di ajak berbicara lebih dulu. Namun jika sudah mengusik masuk ke ranah pribadi, Jay tidak segan marah pada siapa saja.


Suasana kantin sekolah makin lama makin ramai. Ruangan semi terbuka ini akan selalu sama, dibisiki banyak teriakan dan pembicaraan setiap sudutnya. Pembicaraan yang paling mencolok tentunya topik yang membahas keburukan orang lain dan sekarang samar-samar bisa ku dengar salah satu dari adik kelas di belakang punggungku, ia tak sengaja menyebutkan namaku. Kedua manik mata Jake yang ada di depanku menyorot tajam. Jake pasti mendengarnya juga, ia sedang memperingati gerombolan adik kelas di belakangku.



"Oh, Pit. Jiyoon sama Soeun kayaknya jarang deket ya?"


"Uhm?" Aku kikuk, paham Jake mengalihkan atensi tapi semua pikiranku tak bisa langsung masuk pada kalimat tanya Jake.


Memang sejak kabar ayah menabrak orang hingga korban tewas di tempat beberapa dari temanku menjaga jarak, termasuk Soeun. Entah apa yang sebenarnya terjadi, aku dan Jiyoon belum sempat menanyakan secara langsung. Ditambah kami sudah tidak satu kelas lagi. Soeun begitu renggang denganku, dekat dengan Jiyoon pun jika sedang ada urusan krusial. Aku bingung mau menjawab apa.

"Jake!"

"Apa manggil-manggil, kangen?"

"Dih enek!!"

Sunghoon hampir mengulurkan tangan, menyatakan kekesalan dalam bentuk geplakan di atas bahu Jake. Namun batal setelah netranya melihat presensiku. Senyum samarnya menyapaku secara gamblang, Sunghoon langsung menarik kursi di sebelahku. Seperti yang sudah pernah aku katakan pada Jay beberapa hari lalu, aku dan Sunghoon memang masih berteman. Tapi aku masih merasa enggan lebih dekat dengan Sunghoon, sejak aku tahu dia (mulai) memiliki rasa suka padaku. Aku takut perasaannya terlalu jauh.


"Jay mana, Pit?" Tanya Sunghoon menolehkan kepala cukup lama menatapku dari samping, bisa dibayangkan betapa teduhnya tatapan seorang Sunghoon Temaram Bumi saat menatap sang lawan bicara. Apalagi orang itu bisa dikategorikan orang yang istimewa. Bukannya aku gede rasa, percaya diri, tapi ini yang sedang terjadi secara aktual beberapa minggu kebelakang.


"Oh itu, waktu aku berangkat Jay belum keliatan. Mungkin sekarang lagi sama Heeseung dikelas," Balasku. Aku belum membuka ponsel lagi pagi ini. Sunghoon mengangguk paham, lalu ia mengobrol pasal presentasi yang akan mereka lakukan hari ini.


Aku mengizinkan mereka berdebat, menyelesaikan soalan siapa yang akan menyampaikan materi. Sesuatu yang tidak mereka ingin terjadi, pengisi materi tidak berangkat hari ini. Sunghoon sebagai moderator presentasi berusaha membujuk Jake.


Menjauh dari urusan mereka, terngiang kembali pernyataan Sunoo malam kemarin. Malam itu, ponsel Sunoo rusuh sekali karena menerima panggilan grup bersama Jungwon dan Ni-ki. Sebagai informasi, mereka bertiga menamai dirinya sebagai trio kece. Masalah yang dibahas malam itu adalah masalahku yang hengkang dari fotografi karena alasan yang kurang jelas tertulis di norma ekstrakurikuler fotografi.



Sayang sekali, ketika pagi ini aku meminta masuk ekstrakurikuler kembali pada si ketua fotografi. Dia justru marah dan mengatakan bahwa aku yang meninggalkan tanggung jawab tempo hari lalu, tanggung jawab yang mana? Aku bahkan tidak di amanati apapun, oleh siapapun. Dan hasilnya, beberapa detik setelah aku dan Jake sampai dikantin, aku mendapat notifikasi bahwa aku telah di keluarkan secara permanen dari obrolan grup. Serius, menurutku fotografi satu-satunya ekstrakurikuler yang rancu keberadaan normanya.



Trio kece menambahkan ada yang sengaja merencanakan hal ini, Ni-ki orang yang paling ngotot dan yakin Jaehee menjadi dalang yang memerintah sekretaris fotografi supaya mau menghilangkan namaku dalam daftar ekstrakurikuler. Ni-ki menduga bersama bukti, sayang sekali itu berlangsung beberapa detik—mana sempat merekam suara atau mengambil video, dan Ni-ki baru menyadari setelah menganalisa poin-poin masalahku. Dan sekarang, Jaehee bersama temannya dibelakang sana sibuk tertawa. Tawanya terdengar seperti menertawakan kepayahanku.



"Udah yuk ke kelas," Ajakku menilik jam yang mulai menunjukkan menit-menit bel berbunyi. Dari pada telat masuk kelas karena pergi dari sini terlalu mendesak, bisa kena tatapan sinis guru nantinya.


"Cabut." Jake berucap, ia memberi kode supaya Sunghoon berjalan duluan bersamaku. Memang ya, semesta dan siapapun yang ada di dalamnya sedikit kurang sopan dalam hal perasaan. Mungkin sekarang hanya Jay yang mengerti bahwa aku dan Sunghoon benar-benar hanya ingin berteman baik, bukan mengatakan putusan balik. Toh, aku sudah membicarakan hal ini dengan Sunghoon semalam lewat pesan singkat. Itu pertama kalinya Sunghoon mengirim pesan bernada pilu. Sampai aku bingung harus menjawab apa. Untung Sunoo membantu membalas pesannya.





 Untung Sunoo membantu membalas pesannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.














Dekap ; JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang