rekognisi : 12

145 33 0
                                    





Suara laki-laki di seberang sana menganggu indra dengarku, sekali saja malam dingin begini Sunghoon tak menelepon mungkin dia akan mati di telan kepanikan. Bukan panik karena kondisiku, pasti ia dipaksa oleh sang mama untuk menelepon, menanyakan keadaan ku yang sudah dua hari sakit dan tak kunjung duduk di kursi kelas bersama Jiyoon.



Aku berbicara pelan, bosan di tanyai oleh Sunghoon yang hasilnya justru memancing debat pendek. Kepalaku pusing, jantungku berdetak lebih lambat sejak satu jam yang lalu, otot-otot tanganku lemah tak mampu menahan beban ponsel lebar milikku sendiri. Dokter umum hanya tahu masalah fisikku, bukan mentalku. Aku tidak terlalu mempermasalahkan orang rumah yang tidak terlalu peduli padaku, menganggapku sebagai anak normal seperti anak lainnya saja aku sudah senang dan bersyukur.  Aku juga bingung, selama ini aku kenapa?



"Apa lagi? Aku udah baikan, besok juga berangkat."



"Aku jemput harus mau ya? Atau mamaku yang sekalian kesana supaya kita bisa berangkat bareng?"



Ponselku tak sengaja jatuh ke lantai, panggilan masih menyala membiarkan Sunghoon mendengar debaman lewat speaker ponselnya. Aku mengambil ponsel susah payah, hampir ikut jatuh di atas lantai. Tanganku merasakan sensasi dingin berubah menjadi kesemutan, aku menaruh ponsel di nakas dan berbicara lebih dekat dengan mikrofon ponsel.



"Enggak perlu, Sunghoon. Aku dianter sama ayah besok, salamin ke mama kamu ya bilang juga aku udah baik-baik aja kok gak perlu khawatir berlebihan, cuma demam."



"Kamu jatuh? Barusan suara apa, hei kamu beneran udah ke dokter kan?" Tanya Sunghoon lagi, rasa penasaran cowok itu memuncak tinggi begitu semua hal yang ia tangkap aneh di kepala. Aku mengerjap, menahan getaran di tangan yang ku posisikan normal di samping tubuh. Bukannya senang di khawatirkan, aku merasa curiga Sunghoon punya maksud tertentu. Oh atau ia sedang duduk di sebelah sang mama, lalu mengeraskan speaker?



"Iyaaa beneran kok, tanganku kesemutan makanya hpku jatuh. Kamu tidur ya abis ini, soalnya aku juga mau istirahat."



"Hm oke, kamu banyakin makan sayur yang mengandung zat besi biar gak kesemutan gitu. Terus minum pil penambah darah, oke? Selamat malam, Aren." Sunghoon masih menunggu di seberang sana, ku ucapkan selamat malam sebagai penutup dialog kami malam ini. Berlanjut menekan gagang merah di layar ponsel.



Sunghoon tahu nama panggilan yang hanya di gunakan oleh orang tuaku, itu hal yang menyenangkan sebenarnya. Tapi menyedihkan juga saat aku sadar aku mendapatkan nya saat dia bahkan tak menginginkan ku, ia hanya butuh, aku hanya dimanfaatkan.



Aku kembali menarik diri ke atas kasur, membenarkan posisi selimut yang ku gunakan untuk defensif diri dari dingin. Langit-langit kamar berwarna putih polos ku pandangi sampai pikiranku terbang jauh pergi ke lautan emosiku sendiri. Aneh rasanya bila rasa sedih dan senang selalu muncul bergantian dalam jangka waktu dekat, mengaduk perasaaan. Melelahkan.



Kapan Sunghoon akan mengakhiri hubungan semu ini? Aku tidak nyaman dengan status hubungan kami, lebih baik aku dan Sunghoon memiliki status teman layaknya orang biasa. Semesta mengajarkanku cinta palsu sekarang ini, bodohnya aku membuka pintu itu lebar-lebar sejak awal. Hingga sampai sekarang tak bisa ku tutup karena cinta palsu itu datang bagai angin menerjang pintu kayu rumah kecil. Sudah pasti pintu kayu rumah kecil itu hancur terdobrak.



Derap langkah kaki di depan pintu kamar mengalihkan segala atensi, aku mengusap pelan air mata yang sempat terjatuh tanpa ku sadari. Entah siapa yang akan mengetuk pintu kamar, sepertinya dia akan mengingatkan meminum obat. Aku sudah meminumnya sebelum Sunghoon menelepon.



Dekap ; JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang