28 : malam pukul delapan

88 23 0
                                    

it contains 1800+ words please give appreciation 🥺🥺

Maaf untuk typo dan grammar yang error 🙏







Dua menit lalu, aku menolong anak kecil yang hampir terserempet motor yang melaju tanpa tahu norma. Entah datang dari mana, Jay ikut menarikku sampai kami bertiga jatuh terpental di atas trotoar. Meringis, siku kananku jadi korbannya. Sementara anak kecil perempuan dipelukanku menangis lumayan keras. Aku menoleh ke samping, Jay terbaring di atas trotoar, nahas pelipis kanannya mengeluarkan cairan merah.


Bergerak ringan tanpa mempedulikan sakit di sebagian badan, aku menenangkan tangisan si anak perempuan. Orang-orang menolong kami. Kasihan dua pasang insan yang berhasil menyelamatkan anak kecil itu, kata sebagian dari mereka.


"Kamu gak apa-apa?" Tanyaku memastikan keadaannya, tidak ada yang lecet kecuali sepatunya yang ku pikir tergores pembatas trotoar. Ia masih menangis, mungkin terlalu terkejut sejak ku tarik mundur tanpa aba. Ibunya kembali menyebrang sembari memasang air muka yang tak terbaca. Aku bangkit, ikut membenarkan posisi tas di punggung anak mungil ini.


"Kamu apain anak saya sampe nangis begini?!" Amuknya. Aku menahan napas, berdiri mematung ketika tangannya mengambil alih tangan putri kecilnya. Kukunya yang lumayan tajam sempat menggores ringan kulit tangan. Aneh, kenapa aku yang dimarahi?


"Bu, gimana sih harusnya ibu berterimakasih sama dia. Kalau gak ada dia mana mungkin anak ibu selamat, tuh barusan ada motor ngebut nerobos lampu merah. Ibu kalau nyebrang hati-hati, apalagi bawa anak kecil mending digandeng atau gak digendong," Ujar seseorang di balik punggungku. Itu suara yang sangat familier, suara Sunghoon.


Suasana didepan Tadika yang dekat dengan Apotek ramai seketika, aku cuma bisa diam sesekali menunduk tanda minta maaf. Si ibu kikuk, orang-orang berbisik menyalahkan. Mereka juga ikut membela, membenarkan kalimat yang keluar dari mulut Sunghoon.



Jay ditolong oleh Jake. Oke rupanya mereka sedang bermain disekitar sini. Si ibu meminta maaf sekaligus berterimakasih padaku, sementara putrinya benar-benar ia gendong erat dalam dekapan supaya kejadian ini tak terjadi lagi, supaya tangis putri kecilnya berhenti.



"Kalian beneran gak mau ke rumah sakit atau klinik? Puskesmas deh minimal?" Tanya bapak-bapak yang mendiami warung kopi tak jauh dari tempat kejadian perkara.



"Terimakasih, pak. Nanti bisa diobatin sendiri kok." Singkatku menjawab pertanyaan peduli yang di lontarkan, orang-orang yang sementara berkerumun akhirnya pergi meninggalkan kami.



"Jay...." Aku menyesal pergi tanpa pamit pada Sunoo malam ini, apalagi sepatu hitam yang masih tak terikat dengan benar membuatku hampir limbung di atas trotoar lebih dulu. Mau menolong orang lain saja aku masih ceroboh. Syukurlah Tuhan masih memberi pertolongan padaku lewat Jay untuk kesekian kalinya.


Namun sayang sekali, aku kembali dirundung rasa bersalah, rasa hutang budiku pada Jay memunpuk tinggi. Harus berapa kali lagi Jay membantuku tanpa diminta. Justru itu semakin menyesakkan dada, Jay bahkan tidak pernah meminta bantuan apapun padaku. Teman macam apa aku ini?


"Kalian gapapa kan?" Tanya Sunghoon menghampiri Jay lebih dekat.


"Gapapa gue," Jawab Jay otomatis mendapatkan amukan gemas dari Jake. Bagaimana ia bisa menjawab tidak kenapa-kenapa, kentara pelipisnya mengeluarkan cairan kental merah cukup banyak. Aku meminta Jake pergi ke apotek membeli cairan pembersih luka, sebab beberapa debu pasir ikut menempel di dahi Jay.


Malam, ketika jam mahal yang melingkar ditangan Jake menunjuk angka pukul delapan lebih delapan menit kami berada di depan apotek, duduk di anak tangga kedua dari lima anak tangga yang menghubungkan halaman paving dengan lantai keramik Apotek. Aku mengusulkan duduk diujung agar tak mengganggu orang yang berlalu-lalang membeli obat atau keperluan lain di Apotek ini.


Dekap ; JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang