lawat : 11

146 33 1
                                    

Menengok kebelakang betapa buruknya kualitas pengelolaan keuangan keluarga, aku jadi lebih menghitung-hitung jumlah pemasukan dan pengeluaran. Menabung menjadi usahaku selain menekan pengeluaran uang untuk sesuatu yang nonkrusial. Namun, untuk kali ini aku harus merelakan sebagian uangku untuk membeli buah-buahan di supermarket, aku di temani Jiyoon dan Jake sore ini. Kami mengganti pakaian di sekolah demi menghemat waktu, seragam kami masih di pakai untuk besok.




"Sini gue aja yang bawa, ini berat. Lagian tangan kanan kamu belum sembuh." Jake mengambil keranjang yang dipenuhi buah segar dari tanganku.



"It's not problem at all, Jake. Lagian Jiyoon kan bantuin aku bawa juga."


"Ada gue buat apa si, Pita? Udahlah santai aja kalau sama gue mah, mau kamu suruh naik ke gunung, menyelami lautan, menyebrangi samudra gue juga oke-oke aja kok."



Jake merangkai kata menjadi kalimat hiperbola, seperti biasa dia selalu bisa berbicara manis denganku. Jarang ada yang tahu sisi manis Jake yang satu ini, harusnya jika mereka tahu maka semua hati akan leleh di saat yang bersamaan. Lelehan itu bisa menjadi lautan lebar tak tertahan.



"Yaudah gih lu sana daki gunung, nyebrangin samudra."



"Sorry banget nih, kan gue ngomongnya ke Gempita." Jake tersenyum tengil, mengundang emosi benak Jiyoon. Aku tertawa kecil mencairkan suasana, kejadian seperti ini sering terjadi dalam lingkaran pertemanan kami.



"Sunghoon, ngapain lu nyempil kek cicak ha?" Jake menghentikan langkah, jajaran rak yang di isi camilan dan orang-orang yang ramai berdiri mengambil jajanan memuat tubuh tegap Sunghoon yang di balut hoodie warna hijau muda. Aku ikut menghentikan langkah, satu hasta dari posisi Jake berdiri. Bayang tubuhnya jatuh di depan retinaku, Sunghoon menampilkan ekspresi malu karena ketahuan membuntuti kami.



Sebelum kesini aku dan Jake mengajak Sunghoon ke super market, lalu menjenguk Jay di rumah sakit. Namun Sunghoon merespon secepat kilat melontarkan kata tolak tanpa memikirkan jawaban lebih dulu. Jay kan teman Sunghoon, mana mungkin juga Sunghoon menolak menjenguk Jay. Aku pikir Sunghoon masih kesal denganku.



Sunghoon kikuk, ia mendekat ke arah kami, lalu merebutku dari genggaman tangan Jiyoon. Bagi mereka Sunghoon merupakan pacar yang protektif dan begitu perhatian, keadaan konkret yang terjadi di balik punggung mereka adalah kami yang sering berdebat, bertengkar kecil dan Sunghoon yang sering meledek. Terdengar layaknya pertemanan lawan jenis sewaktu kecil.



Sempat terlintas dalam benak, jika aku bersama Jay kecil, apa teman-temanku sekarang tak pernah singgah menjadi bagian cerita hidupku? Aku pasti tidak akan menjalin pertemanan dengan Jake perkara bolpoin jatuh, tidak ada Jiyoon yang mengajakku berkenalan, Soeun juga mana mungkin mengenalku, aku bisa saja menjadi orang yang tak di kenal Sunghoon, orang yang sangat asing bagi Jay. Sekali lagi, aku merasa beruntung mereka ada di sini.



"Aduh jangan ngebucin dulu deh," Cibir Jiyoon menyingkir dari sisiku. Posisinya telah di ganti sepenuhnya oleh Sunghoon. Giliran Jake yang tertawa, menertawai wajah memelas Jiyoon. Tanpa rasa malu Sunghoon berjalan mendahului, terpaksa aku mengikuti langkahnya menuju kasir.















Aroma khas rumah sakit yang kental akan obat dan pembersih lantainya yang menyengat menyapa dinding indra penciuman, nuansa tenang datang dari bangunan rumah sakit bercat dominan putih. Aku terus merangsek, merasuk gedung bertingkat menggunakan kedua kaki yang menjelajahi lantai mencari keberadaan pintu ruang rawat yang Jay tempati. Katanya Jay ada di ruang VIP (Very important person).



Aku terus berjalan bersama Sunghoon dan Jiyoon di sampingku, Jake memimpin karena ia yang tahu dimana ruangan itu berada. Kemarin aku sudah menjenguk Jay, saat ia baru datang dan di tangani di ruang IGD. Lalu, pagi buta aku di suruh pulang oleh ibuku yang datang melihatku di infus selama beberapa jam di sebelah brankar yang di tempati Jay.



Aksi Jay boleh dikategorikan heroik, di saat yang lain lari tunggang-langgang ketakutan, hanya Jay yang tetap tinggal di sebelahku. Ia bahkan sangat rela memutar tubuhnya demi bisa melingkari tubuhku, melindunginya dari ancaman hukum alam. Itu pertama kalinya dalam hidupku, melihat seorang laki-laki tanpa basa-basi melakukan aksi. Selain ayah.



Rasa terimakasih ku begitu besar kali ini, kemarin malam aku hanya menangisi keadaan Jay yang setengah sadar. Tubuh Jay tidak kuat menahan semua sakit, ia juga sempat mengeluarkan semua cairan di dalam perutnya. Mungkin itu efek setelah di sengat lebah. Malam itu aku juga demam, tidak terlalu parah. Namun bagaimanapun daya kekuatan laki-laki dan perempuan itu berbeda, itu termasuk hal menyakitkan dalam hidupku.




Aku melangkah masuk, melihat tubuh Jay di balik selimut putih tebal rumah sakit. Jay terlihat sendirian, ruangan besar nan apik ini terasa sepi. Sebagian tangan kanan Jay masih bengkak, sementara di wajah sudah memulih, dasar hatiku tak mampu melihatnya seperti ini. Jake menyapa Jay lebih dulu, menaruh hampers yang ku bayar setengah harga demi menambah kesan berterimakasih.




"Jay, how's your day?" Sapaku duduk di kursi tunggal di sebelah ranjang besi yang Jay tempati. Sunghoon dan Jiyoon memilih berdiri sejenak, lalu duduk di sofa menonton televisi bergabung dengan Jake yang sudah mendapat izin menyalakan televisi.




"Not bad, thank you kalian dateng jenguk lagi. I'm so touched," Balas Jay melebarkan kedua sudut bibir ke atas, melengkungkan senyum manis tanda ia benar-benar bersyukur mendapati kami masuk ke ruangan ini. Jake dan Sunghoon menanggapi perkataan Jay senormalnya seorang teman akrab, jika Jiyoon mungkin ia juga merasa begitu sejak kami—aku, Jay dan Jiyoon tak jarang satu bingkai dalam kelompok pelajaran. Sedikit mencekam, aku bingung harus mengobrol apa dengan Jay.



"Pasti banyak tugas ya?" Tanya Jay memfokuskan titik pandangnya padaku. Aku menggelengkan kepala, sama sekali tidak ada tugas kecuali memang menulis materi untuk bahan ujian semester nantinya.



"Jake, Sunghoon nanti malem temenin gue di sini ya. Papah gue mau jemput. Kalian anter pulang Jiyoon sama Pita dulu aja sekarang," Pinta Jay menilik di balik punggungku, dimana ada Jake dan Sunghoon yang duduk menyandarkan diri pada sofa. Aku mengerutkan kening, pertama kali mendengar sepatah kata papah dari bibir Jay. Penasaran merayap padaku, sekali saja aku ingin melihat perawarakan papah Jay. Walau nantinya beliau akan marah sejak tahu Jay terbaring lemah di ranjang ini karenaku.



"Terus siapa yang jagain kamu?" Tanyaku.



"Aku udah gak apa-apa, Pit. Udah biasa sendirian juga, not a big problem lah."


Kedua mataku mengerjap kecil, ketika Jay mencetuskan kalimat diselip perasaan terluka dan kecewanya sontak keheningan makin menjadi di ruangan ini. Dehaman kecil setidaknya mencairkan suasana, Jake bangkit dan mengiyakan permintaan Jay. Aku masih ingin di sini.




"Aku pulangnya barengan sama Jay deh, Jake anter Jiyoon dulu aja. Aku sama Sunghoon di sini jagain Jay," Ujarku mengusulkan. Jay menggeleng tanda tidak setuju. Aku semakin takut jika ia benar-benar marah padaku.




"Pita kan besok masih sekolah. Makan, belajar, terus baca doa buat tidur. Jangan lupa senyum ke bintang dan bulan. Mereka nanti bakalan senyum balik ke kamu."



Aku menurut saja, selagi menghargai perasaan Sunghoon sebagai pacar pura-puraku. Kami berempat pamit pada Jay, tak lupa menyuruhnya istirahat sampai Jake dan Sunghoon kembali menemani. Kepalaku berputar sebab dejavu, menoleh ke Jay yang ternyata tersenyum memandang kepergian kami dari ruangan ini. Aku melambaikan tangan, ikut mengembangkan senyum. Selamat malam, cepat sembuh, Jay.




   

Dekap ; JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang