kini : 01

632 61 0
                                    

Arena point of view.



Cuaca kota ini kembali memanas seiring kalender menunjuk bulan-bulan yang mengalami kemarau. Ini bukan hari pertama masuk SMA, tapi masih bisa dihitung masuk minggu pertama setelah masa pengenalan sekolah. Impresi pertama sekolah ini sangat bagus dimata orang-orang, akreditasi tentu tidak diragukan lagi. Biaya yang dibayar cukup tinggi, namun sebanding dengan apa yang didapat.




Aku memasuki gerbang sekolah, berjalan gontai setelah berhasil keluar dari mobil ibu. Beginilah aku, manusia setengah sadar yang semangatnya belum terkumpul seutuhnya dalam tubuh. Orang-orang yang baru pertama kali melihatku pasti menyangka aku ini tidak niat hidup. Opini mereka sebagian ada benarnya.



Di sekolah ini, aku baru akrab dengan satu anak laki-laki bernama Jake. Dia lahir di Australia, tapi asli Indonesia. Otak dan ilmunya lebih bagus dari sampul majalah novel kesayanganku di rumah. Kami berteman karena dia tak sengaja menjatuhkan bolpoin hitam miliknya didekat mejaku sewaktu masa pengenalan sekolah, iya kami satu regu. Sayang sekali sekarang Jake ada di kelas eksakta IPA, sementara aku di eksakta IPS. Perbandingan yang begitu mencolok.




Masuk ke dalam kelas, aku disambut kursi yang sebagian masih kosong di sana-sini. Apa aku berangkat terlalu pagi? Aku menilai, memilih kursi mana yang cocok untuk ku huni selama satu tahun ke depan. Aku biasa duduk di tengah sebenarnya, tapi sekarang aku ingin duduk didekat jendela. Tidak peduli mataku akan kesusahan membaca teks di papan tulis.




"Hai, nama kamu Pita kan?" Aku menoleh, baru kuturunkan kursi di atas meja ke lantai dengan sempurna, lalu ada  perempuan seumuran yang mengajakku berkenalan. Parasnya cantik, senyumnya manis dan tubuhnya lebih tinggi dariku.



"Hai, iya aku Pita. Nama kamu siapa?" Balasku canggung.



"Namaku Jiyoon, salam kenal ya, Pita." Jiyoon langsung menarik telapak tanganku supaya berkenalan secara formal. Aku mengangguk antusias, ku pikir tidak buruk. Aku telah menemukan temanku sekarang.



Jiyoon meminta izin untuk satu meja denganku. Aku menyetujuinya karena kursi disebelah ku juga masih kosong. Jiyoon menaruh tasnya di atas meja kayu berwarna cokelat terang, kayunya masih bersih dan baru.



"Ke kantin yuk, aku belum sarapan," Ajak Jiyoon berdiri mendahului. Dari pada aku tidak ada kegiatan, hanya bengong melihat seisi kelas dan penghuninya yang mulai ramai. Aku menyetujui ajakan Jiyoon pergi ke kantin.




Lorong kelas sepuluh di sarati orang-orang yang kebingungan, beberapa dari mereka ingin pindah kelas. Pihak sekolah memberi keringanan satu minggu apakah mereka mau oper kelas atau tidak. Aku tidak berpikir pindah kelas, apalagi pindah jurusan. IPA terlalu keras untuk otakku yang lemah lembut ini.




Wangi khas kantin menguar memasuki indra penciumanku, terdengar percakapan kecil ditiap meja. Tangan kiri Jiyoon tak lepas dari jari-jariku, dengan lembut ia membawaku ke meja kosong kantin. Jiyoon mau pesan makanan dulu, meninggalkan aku dalam kesendirian di meja ini.



Aku hanya bisa memperhatikan, mau memainkan ponsel juga rasanya masih malu pada kakak kelas yang ada di sini. Anak kelas sepuluh kentara terlihat dimana-mana, seragam putih abu-abu yang berbeda dengan seragam kakak kelas lain menjadi tanda paling mencolok. Staf sekolah mengatakan seragam yang dibuat belum sampai, mungkin seminggu lagi baru akan dibagikan.



"Gempita! Woee sendirian aja."


Aku menoleh ke sumber suara, ada Jake dan tiga nasi bungkus di genggaman tangan besarnya. Satu di tangan kanan, dan dua di tangan kiri. Aku tersenyum kecil, aku pikir Jake akan melupakan ku begitu saja. Sejak tahu dia tipikal introvert seperti ku, ah pasti sulit menemukan teman baru. Sedikit tersanjung disapa Jake pagi ini, aku membalas sapaannya ramah.



"Sama temen kok, sekarang dia lagi pesen makan." Aku menjawab Jake, cowok itu mengangguk paham. Kemudian pamit pergi ke meja lain karena aku sudah ada yang menemani. Jake juga menawarkan nasi bungkusnya padaku, ku tolak karena sudah sarapan di rumah memakan makanan yang dibuat ibu.



Ku lihat Jake berjalan ke arah dua pemuda dengan saragam rapi, letaknya tak jauh dari posisi mejaku. Rupanya Jake telah mendapatkan teman baru, mereka berdua menawan tak ada bedanya dengan Jake. Jujur sih, menurutku Jake cowok ganteng yang ku tebak akan jadi most wanted atau setidaknya cowok yang populer karena pintar dan tampan di saat yang bersamaan.



"Pita, balik kelas aja yuk. Udah mau bel, aku makan ini pas istirahat pertama aja deh."



"Kamu enggak sakit perut kalau makannya ditunda?" Tanyaku memastikan, ku lirik jam tangan yang melingkar dilengan kiriku, masih ada waktu delapan menit kok. Jiyoon menggelengkan kepala, memberi kode supaya aku mengikuti kemauannya. Ya baiklah, aku juga tidak bisa memaksa. Siapa tahu Jiyoon tidak bisa makan cepat-cepat, takut tersedak.















Lanjut?

Dekap ; JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang